Kamis, Oktober 30, 2008

Menakar Kekuatan Netral Dalam Pilkada

Oleh :M.A. MAHMUD

Pemilu : Sekadar Panggung Politik
Sejak bulan April , kiranya udara politik daerah Sulawesi Utara semakin gerah. Hal ini dimulai dengan adanya sosialisasi sekaligus kampanye terselubung para kandidat calon pemimpin daerah (propinsi maupun kabupaten / kota) yang diusung oleh partai-partai politik (parpol) setempat. Parpol sebagai salah satu aktor di laga Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mulai mensosialisasikan program (atau janji) politiknya melalui juru kampanye (jurkam), dan terutama melalui para kandidat yang terusung.

Jika para jurkam lebih berorientasi terhadap kepentingan kelompok (baca: parpol), maka kandidat selain membawa misi-misi tersebut pun berkepentingan secara pribadi, yakni untuk meloloskan obsesi (jika tidak bisa disebut sebagai ambisi) politis yang –bisa jadi- sarat dengan kepentingan ego-pragmatis lainnya (perut, pikiran, popularitas, dan sebagainya). Atau pun kepentingan-kepentingan lain yang lebih bersifat humanis, altruistik (untuk kesejahteraan umamat) yang terlandasi oleh inspirasi/ suara hati nurani. Mereka mengkampanyekan semua program dengan berbagai strategi dan cara yang bisa menjadikan mereka ‘kelihatan’ layaknya pemimpin berkualitas, sang Mesias pembawa damai dan keadilan peradaban.

Para jurkam dan kandidat berkampanye mengusung isu-isu berskala skala lokal, dengan muatan-muatan yang sama dengan isu-isu nasional lainnya. Pilihan isu lokal ini dikarenakan mereka bukanlah calon anggota DPD yang bakal maju ke pentas politik nasional dengan membawa aspirasi primordial, bersifat kedaerahan. Para anggota DPD ketika berkampanye membawa aspirasi dari masyarakat (baca: rakyat) di daerah yang mereka wakili. Sedangkan, para orator politik (jurkam Pilkada) nampaknya akan mengangkat tema-tema mulok (muatan lokal) dan prospeknya di kancah nasional tau jika perlu di skup internasional, sesuai akses yang mereka miliki.

Tentunya untuk mengukur sejauh mana keberhasilan mereka berkampanye sangatlah sulit jika sekadar mengandalkan seberapa lembar –pamflet dan uang- yang telah diedarkan. Hal ini karena, tampilan-tampilan para kandidat sangat licin, cerdik dan ‘dinamis’ mengiringi selera budaya masyarakat yang ada. Namun, patut diyakini bahwa masyarakat kiranya sudah membaca fenomena mereka melalui ‘prakondisi kampanye’, baik secara langsung maupun tak langsung.

Tanpa maksud memperbanyak prasangka atas para ‘aktor-aktris’ politik tersebut, yang pasti mereka tengah dan selanjutnya akan secara sekuel bertanding di laga politik yang sama, yakni Pilkada. Sebagai media transformasi kesadaran politik, Pilkada seperti halnya Pemilu merupakan satu wadah yang riil bagi mereka untuk mengekspresikan ‘talenta politis’ di hadapan publik. Pada ruang-waktu inilah (Pilkada) mereka akan menguji sekaligus mengasah kesadaran kemanusiaan mereka sebagai ‘makhluk politis’. Mereka akan berpentas di pertunjukan publik, yang mana masyarakat –dari berbagai elemen- akan menjadi penonton, subjek terdidik sekaligus hakim penilai akting politik mereka. Sudah pasti, diantara penonton tersebut ada satu kelompok yang memposisikan diri -langsung ataupun tak langsung- sebagai kelompok netral, sebagaimana sebuah karya budaya lain (sastra, drama, film, dan sebagainya) yang berlaku sebagai kritikus.

Peran netral ini bukanlah sekadar peran ‘apatis’ (lepas tangan atas setiap prosesi maupun implikasi/akibat), dan juga bukan sekadara peran ‘apriori’ (antipati – tanpa peran sama sekali). Yang dimaksud peran netral dalam Pemilu ini adalah peran tidak berpihak pada satu kepentingan politik tertentu atas setiap mekanisme politik selama hajatan Pilkada berlangsung, pra-ketika-pasca. Harapannya, peran ini bisa memberikan porsi pembelajaran politik yang proporsional kepada khalayak yang dijadikan subjek pendidikan politik, yakni rakyat.


Empat Elemen Netral Pilkada
Dalam pentas Pilkada ini seperti halnya Pemilu 2004 lalu, terdapat beberapa elemen yang dianggap netral secara politik. Pertama, Militer yang direpresentasikan oleh Tentara Nasional Inodnesia (TNI) dan Polri. Sebagai kekuatan non sipil, mereka merupakan satu kekuatan yang diharapkan netralitas politiknya. Semenjak lahirnya bayi Reformasi di rahim demokrasi kita, peran militer mulai dibatasi porsinya yakni menjalnakan fungsi pertahanan keamanan semata.Dicabutnya Dwifungsi ABRI (sebutan sebelum TNI, dan saat itu Polri masih terintegrasi di dalamnya) adalah sebuah kesadaran baru bagi masyarakat Indonesia. Paling tidak, kebijakan pencabutan tersebut sebagai salah satu penawar luka rakyat atas kekuatan Orde sebelumnya yang traumatis, karena sarat dengan aura militerisme. Pada Pilkada ini –dan pesta demokrasi sebelumnya-, merupakan satu ajang uji konsistensi TNI dalam menjaga komitmen kebangsaan dan kerakyatan dengan sikap netral mereka dalam politik. Dengan demikian, bisa dikatakan bila salah satu parameter keberhasilan Pemilu adalah berfungsinya TNI-Polri sesuai koridornya.

Kekuatan netral yang kedua adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebagai satu elemen sipil yang terorganisir secara formal-struktural, PNS merupakan salah satu aparat pemerintah yang harus bersikap netral dalam politik. Oleh karena fungsinya yang bersentuhan dengan pelayanan masyarakat secara langsung (public service), maka PNS tidak diperbolehkan terlibat secara langsung dalam politik. Jika ada beberapa oknum PNS yang sadar menceburkan diri dalam ‘kubangan politik’ (baca : parpol), mereka lebih sebagai pilihan pribadi (tanpa membawa bendera institusi). Netralitas mereka di wilayah politik ini dimasukkan sebagai salah satu item dalam peraturan pemerintah tentang peraturan disiplin pegawai negeri dalam hal kepegawaian, yakni PP. No. 30 tahun 1980. Bahkan, baru-baru ini menjelang Pilkada melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara pemerintah mengeluarkan surat edaran Nomor SE/08.A/M.PAN/5/ tentang netralitas pegawai negeri sipil dalam pemilihan kepala daerah.

Selanjutnya, terdapat beberapa elemen sosial yang juga dianggap netral secara politik yakni kelompok-kelompok sosial yang berada di komunitas akar rumput (grass roots). Kelompok ini bisa terorganisir secara formal maupun informal, pun bervariasi latar sosiokultur kebentukannya (ekonomi, ideologi, profesi, maupun hobby). Namun, dari sekian elemen tersebut terdapat kelompok yang mulai marak sejak dekade akhir menjelang lahirnya Reformasi, yakni Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Organisasi non Pemerintah (Ornop). Organisasi sosial ini bersifat non-profit, didirikan oleh satu atau beberapa orang sebagai bentuk kepedulian terhadap permasalahan masyarakat dan tidak di bawah pengaruh negara atau pemerintah, meski di sisi lain juga mendapat dukungan dana dari para donatur asing (funding) untuk pembangunan masyarakat. Menurut Peter Hagul, LSM ingin menonjolkan lima ciri sebagai identitasnya antara lain: (1) menjangkau penduduk termiskin, (2) bottom up, (3) tidak birokratis), (4) ekspresif, dan (5) murah.

Diantara sekian elemen sosial tersebut, kiranya LSM lebih berperan penting dalam transformasi demokrasi sekaligus menjalankan peran netral politiknya. Posisi kelembagaannya yang ‘dianggap’ tidak beraroma formal kepemerintahan (yang cenderung status quo) memungkinkan untuk berperan sebagai kontrol sosial atas setiap kebijakan pemerintah yang tidak relevan. Kehadiran mereka pun, paling tidak memperbaiki citra demokrasi kita dimana kebijakan pemerintah sekarang tidak sepihak semata (top down), tapi mulai memunculkan kesadaran kerakyatannya (bottom up). Independesi LSM lebih memungkinkan untuk menjalankan fungsi kontrol sosial dibanding kelompok-kelompok lain yang relatif mempunyai patron klien, seperti ormas keagaamaan dan organisasi underbow parpol. Meski, tidak semua LSM yang ada pun menjalankan independensinya secara profesional, dengan adanya fenomena LSM ‘plat merah/kuning’ dan LSM ‘project oriented’.

Kekuatan terakhir, keempat, di sini adalah mahasiswa. Selain Ornop dan elemen sosial lainnya, mahasiswa merupakan satu kekuatan dahsyat dalam proses eskalasi demokrasi kita yang salah satu puncak keberhasilannya adalah lahirnya Reformasi. Peran yang senantiasa disandangkan atas mereka adalah sebagai kekuatan perubah sosial (agent of social change). Tak bisa dipungkiri bahwa setiap pergantian rejim, peran mereka sangat signifikan dalam perubahan sosial tersebut. Potensi sebagai figur intelektual (kematangan nalar) sekaligus semangat kemudaan (idealisme) yang menyala menyatu dalam jati diri mereka untuk melakukan satu perlawanan terhadap setiap kemapanan (baca: status quo). Bisa jadi, satu jargon idealisme dan independensi mereka adalah “jangan pernah mapan kecuali di hadapanNya”. Kiranya, pengalaman tarumatis masa lalu, yakni diberlakukannya NKK/BKK Orde baru pada era 1980-an, menjadikan mereka semakin bertekad mengikuti angin perubahan demokrasi yang ada. Keterlibatan para generasi tua (founding fathers) kiranya pun tak luput dari peran generasi muda bangsa ini.

M.A. Mahmud , Alumni HMI Cab. Purwokerto, tinggal di Manado

selengkapnya...

Mengapa Harus Memilih Lembaga Pendidikan Non Formal?

Oleh : Ruslan H. Husen, SH

Pendidikan merupakan salah satu pilar terpenting dalam meningkatkan kualitas hidup manusia. Oleh karena itu pembangunan pendidikan harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan di masa depan.

Sejarah telah mencatat, pendidikan dan belajar merupakan bagian dari kegiatan yang dilakukan manusia dimanapun dan kapanpun. Dalam konteks perubahan, belajar bukan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan melakukan sesuatu atau mengoperasikan peralatan tertentu. Belajar lebih diartikan sebagai suatu upaya untuk mempertahankan hidup dan hidup bersama orang lain. Oleh karenanya, perubahan kebudayaan dan peradaban manusia menuntut satu hal, yakni terus-menerus belajar.

Dalam laporan yang dikeluarkan UNESCO PROPAP pada sidangnya di Bangkok, di tahun 1996, disebutkan bahwa permasalahan pendidikan di negara dunia ketiga adalah lebih mengedepankan kebijakan program pendidikan sekolah yang lebih memberikan perhatian lebih kepada mereka yang pandai. Sementara yang kurang pandai dan kurang beruntung karena faktor ekonomi, geografis dan sosial budaya terabaikan.

Salah satu butir rekomendasi dalam laporan UNESCO tersebut menyebutkan, bagi negara-negara anggota perlu lebih menggalakkan program Pendidikan Non Formal (PNF), seperti menuntaskan buta aksara dan kesempatan untuk belajar sepanjang hayat bagi mereka yang kurang pandai dan kurang beruntung, juga bagi mereka yang putus sekolah serta yang ingin mengembangkan pendidikan lanjutan selepas dari bangku sekolah.

Hadirnya Lembaga Pendidikan Non Formal
Carut-marut dunia pendidikan Indonesia, sungguh tampil sebagai suatu realitas yang sangat memprihatinkan. Mahalnya biaya pendidikan yang tidak serta merta dibarengi dengan peningkatan kualitas secara signifikan, tentu menimbulkan tanda tanya besar mengenai orientasi pendidikan yang sebenarnya sedang ingin dicapai.

Ironisnya, disaat beberapa negara tetangga terus berupaya keras melakukan peningkatan kualitas pada sektor pendidikan, banyak pihak di negara ini justru menempatkan pendidikan sebagai suatu komoditas yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tak mengherankan bahwa ketika banyak pihak mengejar pendidikan dari sisi kuantitas, tentu menimbulkan berbagai macam konsekuensi logis seperti terabaikannya faktor kualitas pendidikan.

Parahnya lagi, belakangan kita juga telah disadarkan bahwa banyak lulusan pendidikan formal tidak memiliki spesifikasi keahlian. Banyak dari kalangan industri mengeluhkan keterbatasan skill yang dimiliki oleh para lulusan perguruan tinggi, sehingga mau tidak mau seorang pekerja atau karyawan harus dilatih dari awal lagi. Ini pemborosan untuk pihak perusahaan sebagai lulusan perguruan tinggi.

Dihadapkan pada kompleksnya situasi seperti yang dijabarkan diatas, kini banyak lembaga pendidikan non formal berupaya menempatkan diri sebagai alternatif solusi permasalahan diatas. Dengan tawaran sifat aplikatif dan biaya yang relatif lebih murah, banyak lembaga pendidikan non formal terbukti mampu menghasilkan lulusan yang sama kualitasnya bahkan lebih handal dari pada lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal dalam menghadapi persaingan.

Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya lembaga pendidikan non formal sebenarnya lebih ingin memberikan ruang kesadaran baru pada masyarakat, bahwa upaya pendidikan bukan sekedar kegiatan untuk meraih sertifikasi atau legalitas semata. Lebih daripada itu, upaya pendidikan sejatinya merupakan kegiatan penyerapan dan internalisasi ilmu, yang pada akhirnya diharapkan mampu membawa peningkatan taraf kehidupan bagi individu maupun masyarakat dalam berbagai aspek.

Fleksibilitas Waktu Lembaga Pendidikan Non Formal

Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal sebenarnya ada pada fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa dijalankan secara manunggal, pendidikan non formal bisa dijalankan pula secara berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan apabila belakangan lembaga pendidikan non formal tumbuh dengan pesat, berbanding lurus dengan tingginya minat masyarakat terhadap jenis pendidikan tersebut.

Tidak hanya itu, lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Hal ini terbukti dari banyaknya lembaga pendidikan non formal yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut dipertimbangkan ditengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini.

Hebatnya lagi, tersedia pula lembaga pendidikan non formal yang tidak hanya membekali lulusannya dengan ilmu, namun juga membekali sikap kemandirian yang mendorong terciptanya kesempatan untuk berwirausaha. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang kebingungan mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal yang menciptakan lapangan pekerjaan.

Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar kesesuian bidang pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal dengan minat maupun bidang yang saat ini kita geluti. Tujuannya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan lembaga pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi minat dan dunia yang kita geluti, serta meningkatkan keunggulan kompetitif yang kita miliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar investasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program yang sedang dijalani "terhenti di tengah jalan".

Bantuan Hukum Untuk Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Non Formal (PTK PNF)
Bantuan hukum pada hakekatnya adalah segala upaya pemberian bantuan hukum dan pelayanan hukum pada masyarakat, agar mereka memperoleh dan menikmati semua haknya yang diberikan oleh negara, sebagai penjabaran persamaan hak di hadapan hukum. Terlebih lagi prinsip persamaan di hadapan hukum adalah hak asasi manusia yang perlu dijamin dalam rangka tercapainya pengentasan masyarakat Indonesia dari kemiskinan, khususnya dalam bidang hukum.

Bantuan Hukum itu sifatnya membela kepentingan masyarakat termasuk Pendidik dan Tenaga Pendidik Pendidikan Non Formal (PTK PNF) terlepas dari latar belakang, asal usul, keturunan, warna kulit, ideologi, keyakinan politik, kaya, miskin, dan agama. Konsep Bantuan Hukum dicetuskan sebagai konsekwensi cara memandang dan memahami akan hukum dalam pola hubungan sosial yang tidak adil tersebut.

Meningkatkan lembaga pendidikan non formal yang begitu pesat sesuai dengan kebutuhan pasar, menuntut lembaga yang bersangkutan untuk menyediakan pendidik dan tenaga kependidikan (PTK). Namun keberadaan PTK itu, kadang dianggap bagian yang tidak terlalu penting, yang kadang hak-haknya terlanggar oleh orang lain. Posisi yang lemah, disamping kebutuhan akan pekerjaan di lembaga itu, memaksa PTK terus larut dalam penderitaan dan permasalahan, yang pada akhirnya mempengaruhi produktifitas kerja dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Bahwa setiap orang termasuk PTK harus bebas dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil karena itu merupakan hak dasar manusia. Oleh karena itu jika menghadapi masalah semacam itu, darinya berhak memperoleh perlidungan dan bantuan hukum dari lembaga pemerintah maupun lembaga swasta.

Program Bantuan Hukum
Untuk itu dalam mengurangi dan menangani permasalahan hukum yang dihadapi oleh PTK PNF, maka di Depatemen Nasional Nasional dalam hal ini Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Non Formal (PTK PNF) telah menetapkan program memberikan bantuan hukum perlindungan bagi PTK PNF dengan tujuan untuk meningkatkan motivasi kerja dan kenyamanan bekerja sehingga dapat mengaktualisasikan seluruh potensinya dalam mendukung pelaksanaan tugas pokoknya.

Pemberian bantuan hukum yang meliputi Sosialisasi, Mediasi dan Konsultasi hukum bagi PTK PNF yang mengalami tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, masyarakat birokrasi atau pihak lain. Bantuan hukum itu untuk wilayah Provinsi Sulawesi Tengah dilaksanakan oleh Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) “Ermas Cintawan, SH & Rekan”.

Dengan adanya bantuan hukum itu diharapkan PTK PNF akan tercipta rasa aman, nyaman, meningkatnya motivasi kerja dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Selain itu hak-hak PTK PNF akan terjamin sehingga pada akhirnya akan meningkatkan profesionalisme mereka. Disamping itu, dari program ini juga diupayakan melahirkan pembekalan pengetahuan akan hukum, sehingga jika kedepan dirinya atau orang lain mendapat masalah hukum dapat menyelesaikannya dengan baik.

(Tulisan ini dengan beberapa kutipan dari berbagai sumber)

selengkapnya...

Politik Pendidikan;Sebuah Orientasi Pendidikan Humanis

Oleh : Ruslan H. Husen

Pendidikan merupakan substansi dan urat nadi kemajuan bangsa dan negara. Tingkat sumber daya manusia menentukan produktifitas bangsa, di samping kepribadian kemanusiaan secara individu dan kolektif. Pendidikan akan memberikan arah dalam pembangunan peradaban sesuai dengan konteks yang diharapkan guna menemukan situasi kehidupan yang humanis.

Oleh karena itu, di setiap konstitusi negara bahkan program pemerintah seharusnya selalu memperhatikan aspek peningkatan mutu dan kemajuan pendidikan. Walhasil, sistem pendidikan menjadi elemen yang memperoleh perhatian serius oleh para pakar pendidikan. Sistem pendidikan itu, merekonstruksi sistem pendidikan klasik yang bersifat tetap, kaku dan stagnan menuju pada paradigma pendidikan yang revolusioner dan pro-perubahan demi menghasilkan peradaban yang memanusiakan dengan mengangkat derajat manusia pada tingkat penghormatan.

Sistem pendidikan dari waktu ke waktu seharusnya di kaji ulang, sebab bisa jadi sistem pendidikan warisan leluhur tidak lagi relevan untuk keadaan sekarang. Agar pendidikan tetap fungsional bagi kehidupan perlu dilakukan revitalisasi sistem pendidikan, karena pendidikan menyangkut permasalahan besar yang menyangkut nasib dan masa depan bangsa dan negara. Karena itu, tuntutan reformasi politik, ekonomi, sosial, HAM tidak akan membuahkan hasil yang baik tanpa reformasi sistem pendidikan.

Darinya itu pendidikan merupakan tempat untuk mendiskusikan masalah-masalah politik dan kekuasaan secara mendasar, karena pendidikan menjadi ajang terjalinnya hasrat, makna, bahasa dan nilai-nilai kemanusiaan. Proses interaksi itu terus berjalan secara terus-menerus, yang selanjutnya akan menghasilkan pengetahuan dan ilmu yang dapat di manfaatkan oleh kemanusiaan.

Selain itu, pendidikan berguna untuk mempertegas keyakinan secara lebih mendalam tentang apa sesungguhnya yang di sebut manusia dan apa yang menjadi impiannya. Keyakinan membutuhkan sistem penjelas yang dibingkai dalam epistemologi holistik agar dapat diterima dan memperoleh penjelasan rasional terhadap masyarakat. Demikian juga dengan idealitas yang menjadi cita-cita kemanusiaan akan di peroleh melalui sistematika pendidikan dan dapat diterapkan oleh siapa-saja.

Cita-cita kemanusiaan itu, yang telah dirumuskan dengan idealnya akan membutuhkan suatu realisasi sebagai bentuk utopia. Olehnya proses pencapaian cita-cita itu di namakan perjuangan, yang tidak jarang dalam prosesnya kadang berhadapan dengan tantangan dan rintangan.

Sebagai sebuah dasar untuk melakukan perubahan, pendidikan merupakan tindakan yang menggabungkan antara rekayasa politik dan upaya untuk menciptakan berbagai alternatif baru. Pendidikan juga menjadi ajang untuk menuangkan komitmen yang tinggi dari para pendidik guna menciptakan sistem politik yang lebih emansipatif, bukan sekedar memenuhi tuntutan pedagogis semata.[1]

Oleh karena itu sistem pendidikan yang di bentuk dengan tujuan humanis-transenden, terlebih dahulu mendapat legalitas dan dukungan dari pelaksana kekuasaan negara yang memiliki posisi strategis dalam melahirkan kebijakan guna pencapaian tujuan pendidikan itu. Di samping itu, peran serta sosial masyarakat juga sangat menentukan sebagai bentuk kerja sama harmonis guna memanusiakan manusia dan membebaskan dari ketertindasan lewat medium sistem pendidikan.

Fenomena Pendidikan
Pendidikan idealnya memanusiakan—manusia, menempatkannya pada sisi penghormatan berdasarkan fitrah yang diberikan oleh Tuhan. Namun realitas pendidikan saat ini sungguh menyedihkan. Pendidikan menjadi medium untuk mencari keuntungan, sehingga substasi pendidikan seolah menjadi alat untuk menguntungkan sebahagian pihak.

Logika pendidikan demikian seperti hubungan nasabah dengan bank, yang oleh Paulo Freire menyebutnya dengan pendidikan gaya bank. Peserta didik (mahasiswa, siswa) sebagai nasabah dan pendidik (guru, dosen) di posisikan sebagai pihak bank. Untuk terjalin dengan baiknya hubungan, nasabah harus menyetor sejumlah uang sesuai ketentuan yang di tetapkan oleh pihak bank. Sementara pihak bank melakukan pelayanan sesuai dengan kepentingan transaksi, adapan kegiatan transaksi di luar hal itu tidak terlalu di hiraukan.

Walhasil pendidikan dengan metode kerja bank itu, menjadikan peserta didik sebagai objek. Sehingga darinya menjadi sumber pendapatan atau ladang deposito. Depositor atau investor adalah guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan dan berkuasa, sementara depositonya adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Anak didik—pun lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya kelak.

Tugas guru dalam proses pendidikan adalah dengan menceritakan realitas-realitas, seolah-olah sesuatu yang tidak bergerak, statis, terpisah satu sama lain, dan dapat diramalkan. Akhirnya guru cuma “mengisi” para murid dengan bahan-bahan yang dituturkan, padahal itu terlepas dari realitas dan terpisah dari totalitas. Pendidikan yang bercerita mengarahkan murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa yang diceritakan kepadanya. Pendidikan menjadi kegiatan “menabung”, ibaratnya para murid adalah celengannya dan para guru adalah penabungnya. Akhirnya, murid hanya beraktivitas seputar menerima pengetahuan, mencatat, dan menghafal.

Jadi pendidik adalah subyek aktif, sedang anak didik adalah obyek pasif yang penurut, dan akan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang diajarkan kepada mereka, sebagian objek ilmu pengetahuan teoritik yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat di mana guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan dihapalkan.[2]

Walhasil, karena guru yang menjadi pusat segala pengetahuan dan ilmu, maka merupakan hal yang lumrah ketika murid-murid kemudian mengidentifikasikan diri seperti gurunya sebagai prototip manusia ideal yang harus ditiru dan diidolakan dalam segala hal. Sementara sistem pendidikan menjadi pendukung status-quo sepanjang masa, bukan menjadi kekuatan penggugah ke arah perubahan dan pembaharuan.

Sehingga, akibat sistem pendidikan yang seperti itu akan menjadikan peserta didik tidak akan bisa lebih pintar dan cerdas dari pendidiknya. Sebab peserta didik hanya diarahkan secara terus-menerus sebagai objek yang selalu harus mengingat dan menghafal materi yang diberikan pendidik kepadanya. Jiwa kekritisan peserta didik di pangkas, yang menjadikannya terus terkungkung dalam lingkaran ketidak—percayaan diri. Hal ini menjadikan mutu pendidikan dari periode apabila terus di pertahankan akan menurunkan mutu pendidikan.

Fenomena lain yang menghantui pendidikan seperti yang disebutkan , yakni gejala komersialisasi pendidikan atau perdagangan ilmu di lembaga pendidikan formal (kampus atau sekolah). Gejala semacam ini memang sudah lama ada, misalnya lembaga pendidikan mewajibkan peserta didik untuk membayar sejumlah diktat atau pungutan-pungutan liar. Sehingga lembaga pendidikan itu sering kali dianggap menguras dan mengeksploitasi.[3]

Dalam hal ini, peran institusi pendidikan yang menutup mata akan kejadian komersialisasi pendidikan, dengan tidak adanya tindakan tegas dalam menghentikan praktek ilegal itu. Fenomena ini memang menjadi dilema, di satu sisi yakni tuntutan untuk mewujudkan sistem pendidikan yang humanis, sementara di sisi lain tuntutan akan kebutuhan dan kepentingan pribadi yang lebih menguasainya. Walhasil mengorbankan kepentingan masa depan pendidikan humanis dengan segala wujud idealnya di atas tuntutan serakah dan arogan guna meraih sejumlah keuntungan dan kesenangan.

Kesan lain dari pendidikan adalah tindakan lembaga pendidikan formal yang membius. Cap ini telah melekat sejak lama. Akibat buruknya, lembaga itu hanya disikapi sebagai lahan cari bendera (ijazah) untuk mengikatkan diri atau bahkan menghambakan diri, tidak perduli kepada siapa—pun, sehingga kepribadian tergadai hanya untuk mendapatkan keuntungan materi (uang).

Ketidak-mampuan lembaga pendidikan formal dalam mengarahkan subjek pendidikan untuk menghasilkan peradaban yang humanis, dengan telah tercorengnya lembaga pendidikan formal itu dengan sejumlah fenomena kerusakan sistem pendidikan meniscayakan pandangan masyarakat bahwa darinya hanya sebagai ladang mencari ijazah yang tidak lebih dari itu. Penurunan fungsi lembaga pendidikan formal kini oleh sebahagian masyarakat, diakibatkan oleh fenomena pendidikan yang telah menhancurkan bangun—dasar pendidikan itu guna mewujudkan peradaban yang humanis.

Anggapan lain bahwa lembaga pendidikan formal sebagai pemegang monopoli atas pengetahuan dan ketrampilan telah menjadi mitos yang menghantui masyarakat. Dari sinilah lembaga pendidikan formal menjadi satu-satunya media untuk memperoleh pengetahuan dan ketrampilan. Seolah ada anggapan, kalau tidak sekolah atau tidak kuliah di lembaga formal tidak akan memiliki kemampuan pengetahuan dan ketrampilan. Walau—pun kondisi itu di temani oleh realitas buruknya dunia pendidikan formal dengan fenomena pendidikan klasik yang di hiasi oleh eksploitasi dan pemerasan terhadap kebebasan dan kreatifitas peserta didik.

Pendidikan Humanis
Pendidikan humanis merupakan model pendidikan yang memanusiakan manusia, dengan membebaskan dari ketertidasan. Dehumanisasi adalah bentuk ungkapan nyata dari proses alienasi sebuah proyek utopia dalam arti yang positif untuk kaum tertindas dan terjajah. Darinya mengimplikasikan sebuah aksi yang dilakukan oleh mereka sendiri dalam kehidupan sosial untuk melanggengkan status quo atau untuk mengubah dunia secara radikal.

Untuk menciptakan pendidikan yang humanis, sekali lagi dibutuhkan aksi sosial untuk menjaga dan memodifikasi realitas yang ada. Dengan ini akan membantah ilusi kaum idealis dan angan-angan pendidikan humanis yang tidak disertai dengan transformasi dunia yang tidak adil dan menindas.[4] Aksi sosial itu merupakan kesadaran yang lahir dari hati-hati masyarakat guna melakukan perubahan sosial atas keterpurukan dan kebobrokan yang telah mereka derita.

Pendidikan humanis menempatkan manusia sebagai subjek baik pendidik maupun peserta didik sementara realitas dijadikan sebagai objek untuk melakukan pengujian terhadap ilmu dan pengetahuan yang sedang dikaji. Olehnya itu pendidikan harus berorietasi pada pencerdasan manusia secara utuh guna menemukan dan menciptakan peradaban yang humanis. Konsepsi-konsepsi itu merupakan penalaran epistemologi yang holistik manusia berdasarkan realitas kehidupan, yang selanjutnya tidak ada nilai eksploitasi, penindasan dan pemerasan di dalamnya.

Tujuan pendidikan humanis merupakan penalaran yang menyangkut sistem nilai dan norma-norma dalam suatu konteks kebudayaan, baik dalam mitos, kepercayaan dan religius, filsafat, ideologi. Dari nilai-nilai humanis itu, menjadikan pendidikan mengemban tugas untuk menghasilkan generasi yang lebih baik, manusia yang memiliki kepribadian secara utuh dan berbudaya luhur. Substasinya terus mengangkat derajat manusia serta membebaskannya dari penindasan dan eksploitasi yang merusak tatanan sosial.

Olehnya itu, pendidikan merupakan proses mendidik yaitu suatu proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungan sekitarnya, sehingga akan menimbulkan perubahan dalam sikap dan tingkah lakunya.[5] Perubahan individual sebagai bukti kesadaran kritis dalam memandang realitas sosial yang memiliki orientasi holistik bersama dengan individu-individu lainnya.

Hakikat pendidikan merupakan upaya untuk membuat perubahan dari jelek atau kurang baik, ke arah yang lebih baik, bukan malah menyesatkan k lembah kebodohan. Pendidikan punya etika dan bukan melecehkan etika. Pendidikan tidak kenal usia, tidak kenal kasta, golongan, tidak kenal kaya—miskin—Semua manusia berhak mendapatkan perlakuan yang sama dalam proses pendidikan.[6]

Olehnya tujuan pendidikan harus mengandung nilai-nilai sebagaimana disebutkan oleh Uyoh Sodullah[7] yakni, pertama, memberikan kesadaran, pengetahuan dan kemampuan secara maksimal kepada individu maupun kelompok, untuk dapat hidup mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik. Dari kesadaran tersebut menimbulkan sikap kritis terhadap realitas sosial, yang terbingkai dalam rangka perbaikan tatanan masyarakat. Bahwa masyarakat merupakan objek pengujian terhadap segala ilmu pengetahuan yang di dapatkan, baik oleh pendidik maupun peserta didik. Darinya prosesi belajar turus berlangsung, yang subjek satu dengan subjek yang lain saling membantu, dalam menghadapi realitas (objek) kehidupan manusai.

Bahwa prosesi belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa—raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif dan psikomotorik.[8] Olehnya belajar merupakan suatu rangkaian yang di lakukan dengan melibatkan unsur jiwa dan raga. Gerak raga yang ditunjukkan harus sejalan dengan proses jiwa untuk mendapatkan perubahan. Perubahan itu, bukan perubahan fisik tetapi perubahan jiwa dengan masuknya kesan-kesan baru. Oleh karena itu perubahan sebagai hasil dari proses belajar adalah perubahan jiwa yang mempengaruhi tingkah laku seseorang. Perubahan yang dimaksud tentu saja perubahan yang sesuai dengan perubahan yang di kehendaki manusia berdasarkan fitrah kemanusiaannya.

Kedua, pendidikan harus memberi kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya dan kehidupan ekonomi dengan memberinya pendidikan dasar yang sama. Bahwa pendidikan merupakan hak semua orang, tanpa di batasi oleh strata sosial dan tingkat ekonomi, yang hal itu hendaknya di topang oleh kebijakan pemerintah yang berpihak kepada rakyatnya. Artinya pemerintah sebagai pemegang kebijakan pertama, memiliki peranan yang efektif guna memberikan dan mendorong masyarakat untuk melaksanakan pendidikan yang layak.

Dengan itu, kesempatan memperoleh pendidikan dapat di nikmati oleh setiap orang yang di dalamnya menentang kapitalisme pendidikan atau menjadikan lembaga pendidikan sebagai ladang mencari keuntungan dengan meng-ekspoloitasi peserta didik. Di dalamnya juga menentang penindasan dan pemerkosaan hak-hak kreatif peserta didik, yang selanjutnya mereka dapat lebih mengembangkan potensi kemanusiaannya guna menghasilkan peradaban yang humanus.

Ketiga, pendidikan akan menjamin pewarisan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pendidikan sebagai media transformasi kebudayaan yang humanis, meniscayakan tersalurkannya beban-beban intelektual dari zaman ke zaman. Prosesi itu akan terus berjalan berdasarkan situasi dan kondisi yang mengitarinya, sehingga menghasilkan kebudayaan yang lebih tinggi dengan menempatkan manusia pada tempat terhormat berdasarkan fitrah kemanusiaan.
Permasalahan pendidikan suatu generasi akan terus dicarikan solusi terbaiknya hingga berakhirnya generasi tersebut, yang selanjutnya akan dilanjutkan oleh generasi baru. Prosesi itu tetap mengutamakan nilai-nilani kemanusiaan yang humanis dengan berorientasi pada melahirkan peradaban dengan tatanan sosial masyarakat adil dan makmur.

Secara internal generasi-generasi zaman memiliki tanggung jawab kemanusiaan secara universal dalam mewujudkan transformasi sosial ke arah pro-perubahan. Olehnya Andrias Harefa menyebutkan adanya tiga tugas dan tanggung jawab kemanusiaan,[9] yakni : Pertama, menjadi manusia pembelajar di sekolah dan universitas kehidupan. Manusia pembelajar diartikan setiap orang yang bersedia menerima tanggung jawab untuk melakukan pengenalan hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya dengan selalu berusaha mencari jawaban yang lebih baik. Serta berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualkan segenap potensi diri, mengekspresikan dan menyatakan dirinya seutuhnya, dengan cara menjadi dirinya sendiri yang utuh.

Kedua, menjadi pemimpin bagi komunitas—kelompok—organisasinya. Pemimpin merupakan tokoh yang memiliki keutamaan-keutamaan dibandingkan dengan individu yang lain. Keutamaan itu menyangkut ilmu dan pengetahuan dalam memandang Tuhan, manusia dan alam semesta yang terbingkai dalam bangun ideologi. Karena keutamaan itu yang didapatkan dalam interaksi horizontal dan vertikal dalam masyarakat, menjadikan ia layak duduk sebagai pemimpin. Hak kepemimpinan ada pada setiap individu, tetapi meraka yang memiliki keutamaan ilmu dan pengetahuan dalam bingkai ideologi holistik-lah yang berhak mendapatkannya.

Pemimpin itu akan merumuskan konsepsi-konsepsi dalam menggerakkan anggotanya untuk orientasi tujuan bersama mewujudkan peradaban yang humanis-transenden. Sehingga pemimpin menjadi tokoh kharismatik di tengah masyarakat yang berkewajiban mencarikan solusi atas penyakit yang di derita masyarakat dengan disertai tindakan pendampingan. Pendampingan meniscakan turut meleburnya unsur penggerak perubahan di masyarakat yang disertai dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat.

Ketiga, menjadi guru bagi sebuah bangsa, bagi bangsa-bangsa, dan bagi seluruh umat manusia. Konsepsi perubahan guna mewujudkan peradaban yang humanis pertama digerakkan oleh tokoh kharismatik. Tokoh kharismatik ini adalah guru setiap zaman yang melintasi ruang, dalam memberikan solusi atas penyakit masyarakat. Olehnya itu, menjadi guru bangsa atau tokoh kharismatik tidak-lah di peroleh dengan sendirinya, melainkan dengan pendidikan yang telah dibina dan ditempa sejak awal dengan menggunakan medium alam semesta dan realitas sosial sebagai objek laboratorium.

Demokratisasi Pendidikan
Bersamaan dengan bergulirnya otonomisasi dan demokratisasi, wacana demokratisasi pendidikan ikut juga bergulir untuk daerah-daerah. Sehingga berdasarkan undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang telah diperbaharui dengan undang-undang nomor 32 tahun 2004 yang meletakkan sektor pendidikan sebagai salah satu bidang yang diotonomisasikan bersama sektor-sektor pembangunan yang berbasis kedaerahan lainnya seperti kehutanan, pertanian, koperasi dan pariwisata. Otonomi sektor pendidikan kemudian di dorong pada sekolah dalam hal ini kepala sekolah dan guru agar memiliki tanggung jawab besar dalam peningkatan kualitas proses pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hasil belajar. Sementara di sisi lain pemerintah daerah memberikan berbagai fasilitas pendidikan, baik sarana, prasarana, ketenagaan, maupun berbagai program pembelajaran yang direncanakan oleh sekolah.[10]
Bersamaan dengan itu, pemerintah juga telah mengeluarkan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yang salah satu isu penting yang di usung adalah pelibatan serta masyarakat dalam pengembangan sektor pendidikan (pasal 9) bahwa masyarakat berhak untuk berperan serta dalam perencanaan dan evaluasi program pendidikan. Pelibatan masyarakat itu agar dinamisasi dan harmonisasi pembelajaran dapat lebih berkualitas dengan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang lebih humanis.

Gagasan demokratisasi ini didasari oleh pertimbangan, yakni memperbesar partisipasi masyarakat dalam pendidikan, sehingga tidak sekedar dalam konteks pembayaran retribusi saja, tetapi juga dalam pembahasan dan kajian sekolah tentang kompetensi peserta didik yang akan dihasilkan. Selanjutnya demokratisasi pendidikan ini juga dikembangkan dengan pelibatan peserta didik secara aktif dalam proses pembelajaran, yang juga mereka diberikan kesempatan untuk menentukan aktivitas belajar yang akan mereka lakukan bersama-sama dengan pendidik. [11]
Pelibatan peserta didik secara aktif dalam membahas perencanaan operasional pengembangan proses belajar, akan membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, dinamis dan penuh keceriaan, karena aspiratif dan sesuai dengan permintaan para pembelajar.

Setidaknya dalam demokratisasi pendidikan yang melibatkan secara penuh tanggung jawab lembaga pendidikan formal, ada tiga aspek yang menjadi pusat perhatian seperti disebutkan Dede Rosyadi[12] yakni, pertama, demokratisasi dalam penyusunan, pengembangan dan implementasi kurikulum. Proses penyusunan, evaluasi dan pengembangan kurikulum yang dilaksanakan dalam prinsip demokratisasi pendidikan dicoba untuk diurai secara detail. Demikian pula dengan kurikulum operasional dikembangkan dengan mempertimbangkan kemampuan siswa sendiri, sehingga ilmu ini dapat diuji kebenaran implementatifnya dengan pengalaman-pengalaman empirik di lapangan.

Kedua, demokratisasi dalam proses pembelajaran sejak penyiapan program pembelajaran sampai implementasi proses pembelajaran dalam kelas dengan memberikan perhatian pada aspirasi siswa, tidak mengabaikan mereka yang lamban dalam proses pemahaman dan tidak merugikan mereka yang cepat dalam pemahaman bahan ajar. Yakni pendidik dan peserta didik membahas apa yang akan mereka pelajari pada hari tertentu dan jam tertentu, sehingga proses pembelajaran menjadi sangat aspiratif, menyenangkan dan peserta didik—pun akan merasa puas, karena mereka merasa dihargai.

Ketiga,demokratisasi perubahan dengan didukung dengan pola pengelolaan lembaga pendidikan yang sesuai. Demokratisasi dalam kurikulum dan proses pembelajaran tidak akan berjalan dengan baik bila pola pengelolaan sekolahnya otokratis, sentralistik dan kurang aspiratif serta kurang pelibatan mitra horizontal lembaga pendidikan. Usulan-usulan kreatif pendidik akan selalu tersandung oleh aturan birikrasi dan kekuasaan vertikal. Olehnya demokratisasi kurikulum dan pembelajaran harus diimbangi dengan demokratisasi dalam pengelolaan dan manajemen lembaga pendidikan, dengan pelibatan seluruh unsur dalam organisasi tersebut, bahkan dalam batas-batas tertentu, dan pengembangan kurikulum, serta upaya-upaya meng-implementasikan berbagai program dan gagasan cerdas pengembangan lembaga pendidikan.

Penutup
Proses belajar merupakan prosesi pembebasan. Proses belajar itu bukannya mengungkung atau justru memenjarakan proses berfikir dari peserta didik. Ini berarti proses belajar bukan hanya dipahami sebagai proses transfer ilmu pengetahuan dari buku-buku atau pun dari pendidik tetapi lebih merupakan proses penyadaran bahwa para peserta didik mempunyai kemampuan untuk belajar sendiri dan mandiri. Darinya akan lahir kesadaran untuk menemu-kenali dirinya sendiri dan lingkungannya.

[1]Paulo Freire, Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Pustaka Pelajar bekerja sama dengan ReaD, Yogjakarta, 2002, hlm 6.
[2] Ibidt., hlm xi.
[3] Syafinuddin Al Mandary, Rumahku Sekolahku, Pustaka Zahra, Jakarta, 2004, hlm 3.
[4] Paulo Freire, Op Cit, hlm 190.
[5] M. Sobry Sutikno, Pendidikan Sekarang dan Masa Depan, NTP Press, Mataram, 2006, hlm 3.
[6] Ibid., hlm 9.
[7] Uyoh Sodullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, Alfabeta, Bandung, 2003, hlm 59.
[8] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm 13.
[9] Andrias Harefa, Sekolah Saja Tidak Pernah Cukup, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, hlm 71-72.
[10] Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, Kencana, Jakarta, 2004, hlm xi.
[11] Ibid., hlm xii
[12] Ibid., hlm xiii.

selengkapnya...

Wajah Buruk Dunia Pendidikan

Oleh : Ruslan H. Husen, SH

Hak setiap orang atas pendidikan formal atau non-formal merupakan salah satu dari wajah hak asasi manusia (HAM). Pendidikan dalam standar HAM mempunyai makna luas dan berhubungan dengan hak-hak asasi yang lainnya. Seperti, hak atas pendidikan berkaitan dengan hak atas kesehatan: perlindungan negara terhadap hak setiap orang atas kesehatan termasuk memberikan pendidikan kepada anak-anak, orang tua tentang pentingnya kesehatan, bahaya penyakit. Sebaliknya, pelanggaran hak atas pendidikan ini dapat juga diakibatkan dari pelanggaran HAM yang lain. Sebagai contoh, pelanggaran atas hak ekonomi masyarakat mengakibatkan penurunan pendapatan ekonomi penduduk, yang berimbas pada penurunan kualitas pendidikan keluarga, anak-anak.

Negara, utamanya pemerintah, wajib menyusun program Nasional dan implementasi hak atas pendidikan bagi setiap orang tanpa diskriminasi, pembedaan apa pun. Standar HAM bahkan memberikan perhatian khusus hak atas pendidikan bagi orang cacat. Pada dasarnya, jika Negara memenuhi pendidikan untuk warga negarannya merupakan penanaman modal (investasi) yang paling baik dan jitu untuk meningkatkan harkat dan martabat sebuah bangsa – termasuk investasi dalam upaya peningkatan ekonomi.

Kewajiban Negara mencakup juga pendidikan publik tentang para orang cacat – agar kelompok masyarakat ini terlepas dari prasangka buruk dan hukuman sosial dari publik. Perhatian khusus, juga diberikan oleh standar HAM kepada para orang tua, usia lanjut. Ditahun 1991, Mahkamah Umum PBB bahkan mengadopsi Prinsip-prinsip PBB untuk Orang Usia Lanjut. Dalam prinsip ini dimuat hak para orang tua untuk mendapatkan akses pendidikan dan aktivitas kebudayaan.

Komersialisasi Pendidikan
Lalu bagaimana realitas penerapan nilai-nilai dan peraturan-peraturan pelaksanaan pendidikan oleh negara? Yang nampak adalah, minimnya akses pendidikan, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya mutu pendidikan, terbatasnya sarana pendidikan, disorientasi kurikulum, rendahnya kesejahteraan guru, komersialisasi pendidikan, tingginya angka buta huruf, minimnya subsidi pendidikan dan membludaknya sarjana yang menganggur cukup menggambarkan kondisi dunia pendidikan kita yang buruk.

Kenyataan ini tidak terlepas dari praktek dominasi imperialisme dan negara sebagai alat kekuasaan (the rulling classes) imperialisme. Dominasi imperialisme yang berkolaborasi dengan klas-klas yang berkuasa dalam negeri menjadikan pendidikan layaknya barang dagangan. Pendidikan tidak lagi diartikan sebagai media untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kehidupan masyarakat dari keterbelakangan melainkan hanya sebagai alat untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya.

Lepasnya tanggung jawab negara dan penetrasi modal asing telah merubah pendidikan sebagai komoditi bisnis yang mendatangkan keuntungan bagi pengelola jasa pendidikan. Sementara output pendidikan, tidak mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Ini terlihat jelas dengan dimasukkannya pendidikan dalam General Agreement On Trade in Service (GATS). Dimana dalam GATS, pendidikan masuk kedalam sektor jasa, selain 11 bidang jasa lainnya. Dengan begitu orientasi pendidikan telah bergeser dari proses pelayanan negara terhadap rakyat menjadi industrti disektor jasa yang berorientasi semi profit.
Pendidikan yang merupakan tanggung jawab negara terhadap rakyatnya sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan Konvenan Hak-hak Ekosob ternyata tidak terbukti. Pemerintah sebagai pelaksananya justru terkesan berusaha melepaskan tanggung jawabnya. Sektor pendidikan hingga kini belum mendapatkan prioritas utama dalam kebijakan-kebijakan negara. Bahkan kebijakan-kebijakan tersebut cenderung tidak pernah berpihak pada kepentingan rakyat.

Setiap kebijakan pemerintah di sektor pendidikan selalu ditujukan untuk kepentingan para pemodal (imperialis). Dimulai dari penghapusan subsidi sosial untuk rakyat guna mempermudah jalan penguasaan terhadap sektor publik dari pemerintah ke tangan swasta atau asing melalui jalan privatisasi. Kebijakan mengurangi subsidi terhadap sektor pendidikan seperi tertuang dalam Letter of Intent (LOI) pemerintah RI dengan IMF pada tahun 1999, mengakibatkan biaya pendidikan naik setiap tahunnya
Hal ini didukung dengan penetapan PP No.60 dan 61 Tahun 1999, UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003, SK Mendiknas No. 045/2002 tentang kurikulum pendidikan tinggi, dan peraturan pemerintah tentang status BHMN bagi Perguruan Tinggi Negeri ( PP No.152,153,154 Tahun 2002). Sementara itu untuk pendidikan dasar kebijakan pemerintah mengenai program BOS belum dapat dilihat hasilnya secara maksimal bahkan program BOS ini malah berpotensi menjadi celah untuk terjadinya praktek-praktek korupsi.

Sesuai dengan PP No. 60 Tahun 1999 dan PP No.61 Tahun 1999, institusi pendidikan tinggi negeri (PTN) berubah statusnya dari lembaga yang berada dibawah Depdiknas menjadi sebuah lembaga otonom yang dapat dimiliki oleh pihak swasta. Tahun 2000, dikeluarkan peraturan pemerintah tentang perubahan status beberapa PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Proses pem-BHMN-an PTN mengakibatkan kampus negeri yang sempat menjadi harapan rakyat indonesia menjadi semakin sulit terjangkau, karena biayanya yang menjadi semakin mahal.

Mahalnya biaya pendidikan ini didasari oleh alasan yang sederhana bahwa untuk meningkatkan mutu dan kualitas diperlukan biaya. Pada kenyataannya kenaikan ini tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas pendidikan. Minimnya fasilitas dan bahkan sulit untuk diakses ditambah lagi dengan kualitas tenaga pengajar yang rendah. Rendahnya kualitas tenaga pengajar ini dikarenakan rendahnya tingkat kesejahteraan mereka.

Ditambah lagi dengan permasalahan kurikulum pendidikan yang didesain sesuai dengan kebutuhan pasar. Kurikulum pendidikan tidak lagi didasarkan pada kepentingan rakyat. Sehingga sekolah dan PT hanya menjadi sumber tenaga kerja murah tanpa memiliki skill yang memadai. Akhirnya banyak lulusan dari institusi pendidikan kita yang menjadi pengangguran dan menjadi kuli dinegeri orang.

Permasalahan diatas semakin diperparah dengan merajalelanya praktek korupsi dalam dunia pendidikan kita. Praktek korupsi dalam dunia pendidikan ini muncul karena tidak adanya transparansi dan akuntabilitas dalam hal pengelolaan. Sehingga banyak tenaga akademik yang menjadi tersangka kasus korupsi, salah satunya adalah Rektor Untad Sahabudin Mustafa.

Pendidikan Dasar
Bahwa berdasakan Pasal 14 Kovenan Internasional tentang Hak-ha Ekonomi, Sosial dan Budaya pendidikan dasar wajib hukumnya, difasilitasi dan disediakan Negara bagi setiap orang, setiap warga negara, utamanya, para anak-anak usia sekolah, secara cuma-cuma. Karenanya, pemerintah mesti mengambil langkah-langkah secara terencana untuk mewujudkan pemenuhan hak setiap orang untuk mendapatkan pendidikan dasar tanpa ada diskriminasi, pembedaan apa pun. Pendidikan dasar ini, bisa saja diterjemahkan ditingkat pendidikan formal, yakni: Sekolah Dasar (SD).

Pendidikan dasar cuma-cuma, mempunyai makna ketersediaan pendidikan dasar tanpa ada pungutan biaya yang dibebankan kepada anak-anak, orang tua atau walinya. Biaya-biaya yang dipungut pemerintah, otoritas lokal atau sekolah dan institusi lain merupakan ancaman bagi pemenuhan hak-hak ini, sekaligus dapat menjadi bentuk pelanggaran terhadap realisasi dari hak ini.

Pemerintah Indonesia sendiri, sebenarnya sudah mencanangkan program wajib belajar 9 tahun untuk anak-anak usia sekolah. Hal ini berarti, pemerintah meyakini pentingnya setiap orang mengenyam minimal pendidikan SD hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bahkan Amandemen (Perubahan) Konstitusi, Undang-undang Dasar (UUD) 1945, dengan tegas memuat aturan pengalokasian dana untuk pendidikan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), minimal sebesar 20 persen dari total Anggaran. Namun demikian, Kebijakan Wajib Belajar, belum disertai dengan kebijakan dan pelaksanaannya secara gratis atau cuma-cuma. Demikian juga soal pengalokasian dana pendidikan. Di dalam APBD yang disusun di tingkap Propinsi, juga masih belum mencapai minimal 20 persen.

Mulai dari mahalnya biaya pendidikan, pendidikan yang tidak merata, orientasi pendidikan yang tidak ilmiah, pro imperialis dan anti rakyat serta sistem pendidikan yang tidak demokratis adalah realitas pendidikan kita. Lalu, apakah kita hanya diam melihat kondisi ini? Mari bangkit, bergerak dan mengorganisasikan diri untuk menuntut tanggung jawab negara demi terwujudnya pendidikan nasional yang ilmiah, demokratis dan bervisi kerakyatan.

selengkapnya...