Kamis, April 23, 2009

Quo Vadis Pekerja Bantuan Hukum (Pasca Dicabutnya Pasal 31 UU Advokat No 18 Tahun 2003)



Oleh : M Irsyad Thamrin

Putusan Hakim MK menerima gugatan dari tiga dosen dari Universitas Muhammadiyah Malang untuk menyatakan pasal 31 UU Advokat tidak berlaku kembali merupakan suatu langkah yang progresif. Terlepas adanya pro dan kontra mengenai putusan ini termasuk di kalangan hakim MK sendiri yang mengajukan dissenting opinion dengan alasan pasal 31 ini justru melindungi profesi advokat dan melindungi masyarakat akibat ulah orang yang mengaku-aku advokat, namun tentunya hal ini perlu dianalisa secara luas dan mendalam.


Hal ini berdasarkan bahwa ekses dari pasal 31 ini ternyata mengakibatkan tidak di akuinya keberadaan para pekerja hukum (yang belum mengantongi izin advokat) baik yang berada di bawah naungan kampus ataupun yang berdiri sendiri (LBH). Para pekerja hukum tersebut merupakan tulang punggung bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu membayar jasa advokat. Untuk itu maka kita perlu merenungkan kembali sejarah perkembangan bantuan hukum di Indonesia agar sehingga dapat memahami konteks pembangunan hukum di Indonesia ke depan.

Sejarah Bantuan Hukum

Dalam sejarah Indonesia, sejak pemerintahan Belanda sampai ketika Jepang menduduki Indonesia, menurut penelitian Daniel S. Lev jumlah Advokat hanya sekitar 30 sampai dengan 40 orang. Berdasarkan hal tersebut maka muncul pengacara-pengacara yang belum maupun tidak berijasah sarjana hukum memberikan upaya bantuan hukum tersebut.

Selanjutnya sering disebut sebagai pokrol bambu, dimana dalam melakukan pekerjaan bantuan hukum yang lebih luas dan tidak terbatas dengan urusan litigasi saja saja, tetapi juga dalam urusan non litigasi seperti memberikan pendidikan hukum, mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa di luar pengadilan, mengurus perijinan di badan-badan pemerintahan dan lain-lain.

Sejak Indonesia merdeka pada perkembangannya, Advokat yang mempunyai fungsi pemberi jasa bantuan hukum yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam prakteknya sebagian besar hanya dapat disentuh oleh kaum kelas menengah ke atas. Justru yang banyak memberikan jasa bantuan hukum kepada kelas menengah ke bawah adalah Lembaga Bantuan Hukum (baik itu lembaga bantuan hukum di bawah Universitas ataupun lembaga nirlaba/ semi nirlaba). Lembaga Bantuan Hukum (LBH)bini dalam prakteknya karena keterbatasan jumlah Advokat yang bersedia memberikan jasa bantuan hukum secara prodeo/cuma-cuma ataupun harga jasa yang diberikan dapat dijangkau oleh orang menengah ke bawah, sehingga sebagian besar Lembaga Bantuan Hukum ini dioperasionalkan juga oleh para volunteer ataupun paralegal.

Berdasarkan hal tersebut maka sebagai antitesisnya banyak bermunculan Lembaga Bantuan Hukum, baik itu dibawah YLBHI, Universitas maupun Lembaga lembaga nirlaba lainnya. YLBHI sendiri yang menaungi LBH-LBH yang tersebar di daerah-daerah (Propinsi) tidak membatasi diri pada kegiatan bantuan hukum individual saja, tetapi memberikan pelayanan bantuan hukum struktural (meminjam konsep dari Adnan Buyung Nasution) yaitu bantuan hukum terhadap struktur bawah yang miskin dan buta hukum. Bantuan Hukum Struktural (BHS) ini pada prakteknya banyak menangani kasus/sengketa antar warga masyarakat atau sekelompok masyarakat dengan pemerintah (baca : Negara) dengan tidak hanya menangani secara litigasi tetapi juga melakukan pendidikan hukum maupun penguatan di dalam masyarakat.

Kriminalisasi Pekerja Bantuan Hukum

Setelah pemberlakuan UU Advokat yang disatu sisi disambut dengan suka cita karena mengakui eksistensi para Advokat secara yuridis, namun di sisi lain ada beberapa kelemahan dari UU ini yang dianggap justru dapat melemahkan kinerja pemberian jasa bantuan hukum. Dalam UU No 18 tahun 2003 tentang Advokat secara tegas menyebutkan bahwa jasa hukum seperti konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain, untuk kepentingan hukum klien, di dalam maupun diluar pengadilan hanya dapat diberikan oleh seorang Advokat. Regulasi ini pula menyebutkan dengan tegas bagi yang menjalankan pekerjaan advokat, padahal bukan seorang advokat, diancam dengan pidana penjara 5 tahun dan denda paling banyak lima puluh juta rupiah. Hal ini tentunya menjadi polemik terhadap dinamika pemberian banutan hukum. Karena kita ketahui Advokat, tidak banyak yang memberikan jasa hukum secara probono/prodeo, di sisi lain munculnya lembaga bantuan hukum yang selama ini diberikan oleh YLBHI, lembaga bantuan hukum Universitas, maupun lembaga nirlaba lainnya untuk memberikan bantuan untuk menjawab kebutuhan akan pelayanan bantuan hukum kepada masyarakat yang membutuhkan justru tidak di akui (dikriminalisasikan) dalam UU No 18 tahun 2003 tentang Advokat.

Secara historis lahirnya Undang Undang Advokat ditujukan untuk menjawab persoalan mengenai siapa yang seharusnya bertindak untuk menjadi pelaksana pemberi bantuan hukum di negara kita, dimana pada prinsipnya setiap orang dapat memberikan bantuan hukum bilamana ia mempunyai keahlian dalam bidang hukum, akan tetapi untuk tertibnya pelaksanaan bantuan hukum diberikan beberapa batasan dan persyaratan dalam berbagai peraturan. Menegaskan Advokat sebagai satu-satunya pemberi jasa bantuan hukum sebagaimana yang tercantum dalam Undang Undang Advokat sebenarnya merupakan cerminan untuk menjawab persoalan tersebut.

Dalam konteks penanganan bantuan hukum kepada golongan miskin memang sudah seharusnya dilakukan oleh tenaga-tenaga profesional, yaitu mereka yang bukan hanya berpendidikan Sarjana Hukum saja tetapi juga menekuni pemberian bantuan hukum sebagai pekerjaan pokok mereka sehari-hari. Dengan demikian, maka yang harus memegang posisi utama dalam hubungan ini adalah para advokat. Kewajiban membela orang miskin bagi profesi advokat tidak lepas dari prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan hak untuk didampingi advokat (access to legal counsel) yang merupakan hak asasi manusia bagi semua orang tanpa terkecuali, termasuk fakir miskin (justice for all).

Akan tetapi kenyataannya pengkriminalisasian pemberian bantuan hukum (sebagaimana pasal 31) tidak berpijak kenyataan historis perkembangan dari bantuan hukum di Indonesia, sehingga eksesnya justru mematikan kinerja LBH-LBH karena kekurangan sumber daya manusia. Hal ini diperparah ketika Undang Undang Advokat hanya mengatur eksistensi Advokat saja serta tidak mewajibkan dan memberikan sanksi yang tegas apabila menolak memberikan jasa bantuan hukum cuma-cuma), namun di sisi lain menegasikan peranan LBH (yang didalamnya banyak volunter dan paralegal). Padahal fungsi dari LBH di negara kita jauh lebih maju dibanding dengan fungsi dari lembaga-lembaga yang sejenisnya di berbagai negara yang kebanyakan hanya memberikan bantuan hukum untuk menyelesaikan suatu perkara di muka persidangan pengadilan saja (litigasi), sedangkan LBH sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, di negara kita selain berfungsi demikian juga kadang-kadang dapat menyelesaikan suatu perkara diluar pengadilan.

Upaya Sosialisasi

Berdasarkan permohonan judicial review yang diajukan Lembaga Konsultasi dan Pelayanan Hukum (LKPH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), MK pada tanggal 13 Desember 2004 membatalkan dan menyatakan Pasal 31 UU Advokat bertentangan dengan Pasal 1(3) dan Pasal 28 (F) UUD 1945. Harus diakui pasal ini menjadi momok yang menakutkan bagi para pekerja hukum para non advokat, karena dapat dikriminalisasikan hanya karena memberikan informasi dan bantuan hukum kepada masyarakat. Hal inilah yang menjadikan UU Advokat tidak berpijak pada kenyataan historis berdirinya LBH-LBH sehingga pelaksanaan dari pasal 31 ini membawa ekses kinerja LBH-LBH banyak yang optimal (bahkan ada yang sampai tutup kantor).

Dengan dibatalkannya pasal 31 UU Advokat ini akan membawa angin segar bangkitnya LBH-LBH kembali dan membangkitkan animo masyarakat dalam mengakses kembali jalur peradilan yang adil. Kalau sebelumnya para organisasi profesi gencar mempropagandakan kriminalisasi terhadap pemberian bantuan hukum bagi bukan advokat (pasal 31 UU Advoka)t kepada institusi-institusi peradilan dan juga kepada masyarakat umum, maka pembatalan pasal 31 ini penting juga untuk disosialisasikan kepada masyarakat umum dan juga lembaga-lembaga peradilan agar kinerja para pekerja bantuan hukum tidak di hambat dan dapat diakses kembali oleh masyarakat umum.

selengkapnya...

Carut Marutnya Penegakan Hukum Di Indonesia


Oleh : Moh. Nuzul Lapali

Hukum Indonesia saat ini masih banyak menggunakan produk dari colonial, yang mana ada sedikit perubahan yang terjadi tetapi tidak mendasar pada kondisi kultur dan budaya ketimuran kita orang Indonesia. Kalau kita melihat proses penegakan supremasi hukum saat ini masih sangat banyak tebang pilih, yang mana banyak akhir dari kasus-kasus yang diselesaikan oleh peradilan, baik itu kasus pejabat daerah maupun pejabat pusat dan lebih-lebih lagi kasus terhadap para pengusaha yang selalu berakhir dengan putusan bebas. belakangan ini muncul kesan bahwa proses hukum seringkali tidak mampu menyelesaikan persoalan secara tuntas apalagi memberikan keadilan yang substantif bagi para pencari keadilan.


Proses hukum lebih nampak sebagai “mesin peradilan” yang semata-mata hanya berfungsi mengejar target penyelesaian perkara yang efektif dari sisi kuantitas sesuai dengan tahapan-tahapan dan “aturan main” yang secara formal ditetapkan dalam peraturan. Sebut saja pada kasus-kasus belakangan ini yang masih santer terdengar ditelingah kita semua yaitu putusan bebas oleh pengadilan negeri pada kasus illegal loging di sumatera yang oknumnya adalah Adelin lis dan putusan bebas pada kasus korupsi rektor Untad yang di nahkodai bapak Sahabudin Mustafa.

Kalau kita mencermati pada kedua sample kasus di atas maka kita bisa tarik satu kesimpulan bahwa memang pada penegakan hukum kita masih bermasalah (tebang pilih), padahal dari sisi kaca mata hukum, kedua sample kasus tersebut unsur-unsur tentang adanya tindak pidana sangatlah jelas dengan berbagai macam bukti yang ada tapi yang jadi pertanyaannya sekarang adalah ada apa dengan pengadilan kita? Apakah harus masyarakat menengah kebawah saja yang selalu menjadi bulan-bulanan persidangan dan mendapat pembohongan dari proses hukum yang mereka lalui?

Ataukah para hakim yang katanya juga manusia dan juga katanya memiliki hati nurani tersebut hanya dipekerjakan oleh negara untuk membebaskan para penguasa dan para pemodal yang karena banyak harta serta jabatannya sehinggah mereka putus dari segala tuntutan hukum? Ingat, keadilan bukan untuk diperjualbelikan. Dan apakah makna kata “Quid Ius Sine Justitia” (Apalah artinya hukum tanpa keadilan) masih berlaku pada proses peradilan di Indonesia saat ini? Ataukah itu hanya menjadi makna yang enak didengar ditelingah saja? Itu adalah pertanyaan yang harus dijawab oleh para hakim serta mafia hukum lainnya.

Posisi hakim memang sebagai salah satu komponen penegak supremasi hukum yang menjadi harapan atau tumpuan terakhir paling penting. Rangkaian kalimat yang tertuang di dalam bacaan putusannya, itulah ungkapan keadilan oleh majelis hakim yang yang katanya tidak bisa diintervensi dalam mengambil keputusan melalui palu sidangnya. Keadilan berdasarkan undang-undang, berdasarkan pembuktian dan kemudian dirangkaikan dengan keyakinan hakim, Dari rangkaian kata demi kata itu nasib baik dan buruk ditentukan.

Para “pencari keadilan” berharap mendapatkan keadilan dari kalimat syair yang bacakan tersebut, sembari berharap-harap semoga keadilan kan kutemukan. Begitupun rakyat yang berada di luar lingkup ruangan pengadilan sana, merekapun senantiasa berharap agar para penjahat yang menghianati rakyat dari belakang segera terganjar juga dengan rangkaian kalimat dalam putusan hakim yang mengatasnamakan dewi Justisia , tetapi yang terjadi sebaliknya dimana pada akhir-akhir penantian itu selalu bermuara pada putusan bebas bagi para penjahat-penjahat negara. ataukah makna kata “Jeruk makan Jeruk” penjahat melindungi malingnya cocok diidentifikasikan untuk mereka dan ironisnya lagi saat ini anak kecilpun dapat mengetahui siapa sebenarnya”mafia peradilan”.!!!

Pembuatan sebuah hukum hanya ditujukan pada undang-undang tetapi bukan berupa kajian sosial yang berhubungan erat dengan kondisi masyarakat yang sebenarnya. Maka Jangan walaupun banyak perangkat undang-undang kita tetapi pada saat penerapannya masih banyak yang bermasalah. Olehnya sangat penting dilakukan pengkajiannya yang melibatkan seluruh komponen pemangkuh kepentingan “stake holder”. kalau kita sesungguhnya ingin keluar dari kekakuan formalistik undang-undang kita dan tidak lebih kepada yang mengatasnamakan penegak hukum, maka jalan keluar satu-satunya adalah dengan konsep hukum progresif yang digagas oleh bapak Prof. Satjipto Rahardjo yang mana lebih mengutamakan pada manusianya dari pada hukumnya artinya tidak kakuh dalam melihat, memaknai dan menerapkan konsep peraturan yang sebenarnya yang sebenarnya produk kita sendiri (manusia).

Terkadang para penegak hukum di Indonesia saat ini dibuat bodoh oleh syair demi syair undang-undang padahal kita telah ketahui bersama bahwa produk hukum yang kita junjung itu adalah bukan lain ciptaan kita sendiri dengan tujuan agar tidak ada orang yang saling menzalimi/mengambil hak-hak dari individu lain dan juga dibentuk untuk mengatur proses kehidupan sosial kita manusia. sangat banyak contoh-contoh yang bisa kita dapatkan atau alami baik secara langsung maupun tidak langsung, Salah satu contoh bagi institusi kepolisian di republik ini misalnya pada peraturan lalu lintas yang tidak membenarkan bagi para pengendara sepeda motor tidak menggunakan helm dengan tujuan untuk menjaga resiko yang fatal misalnya terjadi kecelakaan.

Tetapi pada kultur budaya ketimuran kita yang orang-orangnya masih banyak jiwa sosialnya yang mana biasanya sering memberikan bantuan (tumpangan) untuk para pejalan kaki salah satu contoh pada ibu-ibu atau orang tua yang sedang berjalan kaki di tengah terik matahari tetapi helmnya pengendara motor tersebut cuman satu (yang sedang dipakainya) kalau misalnya pengendara tersebut kedapatan oleh polisi satlanas yang diperbodoh oleh aturan (mempertuhankan aturan di atas segalagalanya) walaupun pihak pengendara sepeda motor tersebut membahasakan alasan-alasan sosial yang dia lakukan terhadap si orang tua yang berjalan kaki ditengah terik matahari, pasti polisi demikian akan tetap menahan motor tersebut, tetapi kalau si pengendara motor tadi berhadapan dengan polisi yang tidak kaku dalam memaknai dan menerapkan aturan pasti polisi tersebut dengan alasan-alasan sosial yang dikemukakan oleh pengendara tadi maka polisi demikian tidak akan menahan motor tersebut.

Kasus diatas adalah salah satu sample dari sekian banyak kasus-kasus yang ditangani oleh para penegak hukum di negeri ini yang masih sangat mempertuhankan peraturan diatas segala-galanya dari pada sisi kemanusiaannya. Apakah kalau misalkan itu dikembalikan pada mereka (penegak hukum) lantas ditahan semacam itu apakah mereka juga tidak merasakan sakit hati? Atau polisi-polisi dinegeri ini tidak mempunyai hati nurani lagi? Ataukah mereka telah menjualnya kepada para pemberi mereka uang? mereka lupa, kelak mereka juga nanti akan menjadi masyarakat biasa, trus gimana seandainya mereka mengalami nasib yang sama seperti contoh diatas?

Kalau dalam penegakan hukum dizaman modern saat ini kita masih menggunakan produk hukum bangsa penjajah yang sangat “formalistik dan legalistik” maka jangan heran saat ini dan kedepan kita masih akan menemukaan penganiyayaan, pembunuhan dan adanya penzaliman yang dilakukan oleh penjajah yang bertopeng dibalik penegak hukum indonesia yang selalu menjunjung tinggi aturan tanpa adanya kemanusiaan. mengapa kita tidak mengambil pengalaman serta kembali kepada sejarah bangsa ini yang begitu susah payahnya menentang penindasan dan bereaksi atas tindakan penjajah yang menzalimi serta penekanan yang dilakukan oleh bangsa belanda pada saat itu. Apakah kita akan menjadi penjajah juga didalam bangsa kita sendiri? Atau kita menginginkan generasi kita terus menerus menjadi kuli di dalam negara sendiri atau di negeri orang lain? Saya sangat yakin pasti para pejuang tempo dulu tidak akan sependapat dengan hal tersebut. Padahal kita lupa, kita generasi sekarang hanya penerima tongkat estafet dari para pejuang terdahulu.

selengkapnya...

Legal Opini Masalah TNLL


Gambaran Umum
Pendudukan lahan (Baca reclaiming/enclave) Dongi-dongi yang terletak di kawasan yang disebut sebagai Taman Nasional Lore Lindu (TNLL sendiri masih dalam status usulan bagi sistem zonasi) yang dilakukan oleh masyarakat yang berasal dari empat (4) kampung; Kamarora A; Kamarora B; Kadidia; Rahmat, Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala. Sebenarnya bukan baru kali ini, namun peristiwa serupa pernah juga terjadi pada tahun 1998 dan 1999. Namun pada saat itu, pependudukan yang dilakukan masyarakat dari keempat (4) desa ini, masih dengan mudah dipatahkan oleh kekuatan represif (militer) dan Pemerintah Daerah (Pemda) kala itu.
Masyarakat di empat (4) desa ini, merupakan komunitas masyarakat yang dipindahkan dari tiga (3) kecamatan, seperti : Kecamatan Dolo; Kecamatan Marawola; Kecamatan Kulawi, dengan program pemerintah; Project Resettlement dan Trans Local sekitar tahun 1979 dan 1983.


Sebelumnya, komunitas yang dipindahkan ini merupakan suku bangsa yang memiliki kebiasaan bercocok tanam pada lahan kering, mencari hasil hutan (memiliki ketergantungan pada hasil hutan-red), seperti suku Da’a, dan Kulawi. Kedua komunitas suku yang dominan pada keempat (4) desa ini. Namun, melalui kedua project pemindahpaksaan (involuntary Resettlement) ini, komunitas-komunitas masyarakat ini mengalami pergeseran tata cara bercocok tanam. Sejak dipindahkan mereka menjadi petani lahan basah, tanpa ada bimbingan yang intensif, dari instansi yang berwenang.
Melalui pemindahpaksaan ini pula. Mereka telah merasakan bencana yang kini mencuat, kekurangan lahan. Sebab, sejak awal Pemda waktu itu menjanjikan lahan seluas 2 Ha untuk setiap Kepala Keluarga (KK). Namun, sejak dipindahkan tahun 1979 hingga saat ini, janji itu tidak pernah ditepati, karena lahan yang diberikan hanya berkisar 0,8-1 Ha untuk setiap KK. Sementara jumlah KK terus bertambah menjadi pecahan KK, kini pecahan KK yang ada telah mencapai tiga (3) generasi. Seperti yang terjadi di Desa Kamarora A yang bertambah menjadi Kamarora B.

Dongi-Dongi : Bekas Konsesi Hak Pengusahaan Hutan
Wilayah Dongi-dongi sendiri merupakan lahan bekas areal konsesi PT Kebun Sari sejak tahun 70-an, sebagai pemegang ijin Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Sementara, masyarakat dari empat (4) desa ini, kala itu banyak yang menjadi buruh pada PT Kebun Sari. Diwaktu senggang, mereka menanam kopi, coklat, pada areal ini. Dan tanaman-tanaman tersebut, seperti Kopi, hingga saat masih terawat dengan baik. Bahkan, ada yang jauh sebelum ada PT Kebun Sari, TNLL, dan jalan Poros Napu-Palolo, mereka telah menanami areal itu dengan tanaman Kopi. Tanaman-tanaman inipun masih ada sampai sekarang. Inilah salah satu alasan, kenapa mereka berulang kali melakukan pendudukan dan mempertahankan lahan tersebut.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tengah (Sulteng), pernah menawarkan lahan alternatif ketika terjadi pendudukan lahan untuk kedua (2) kalinya pada tahun 1999. Lahan alternatif yang ditawarkan kala itu Manggalapi. Ada juga sebagian kecil masyarakat yang pindah ke Manggalapi, namun tidak lama kemudian, mereka kembali lagi ke kampungnya. Mereka menyatakan sikap untuk kembali kampung semula, karena pada lokasi ini (Manggalapi-red), tidak terdapat sarana yang dibutuhkan, seperti jalan menuju lokasi ini. Untuk menuju Manggalapi yang berbatasan dengan Desa Sausu, Kecamatan Parigi, membutuhkan waktu satu hari, dengan medan yang cukup sulit, sebab belum adanya sarana jalan.

Sejak tuntutan masyarakat akan permintaan lahan kembali mencuat pada 18 Juni 2001. Pemprov Sulteng kembali menawarkan lahan alternatif, seperti lahan Areal Penggunaan Lahan (APL) di Lembangtongoa, dan lahan lain di Uenuni. Namun, masyarakat kembali menolak mentah-mentah kedua lahan alternatif tersebut. Karena menurut mereka, kedua (2) lahan ini tidak layak unuk dikelola, karena terdapat pada kemiringan yang cukup terjal. Menurut masyarakat, dikedua lahan ini pula telah dimiliki oleh masyarakat dari desa lain.

Tapal Batas TNLL VS Kebun Masyarakat

Masalah kekurangan lahan ini masih terus bertambah dengan penetapan tapal batas TNLL yang dilakukan secara sentralistik, tanpa sepengetahuan masyarakat disekitarnya pada tahun 1993. Penetapan sepihak ini, mengakibatkan lahan masyarakat di keempat (4) desa ini yang awalnya telah mengalami kekurangan lahan, harus berhadapan pula dengan tapal batas yang telah mematok lahan mereka.

Tapal batas TNLL di keempat (4) desa ini begitu dekatnya dengan areal perumahan penduduk. Hal ini dapat dilihat dari fakta dilapangan bahwa pintu rumah penduduk yang langsung berhadapan dengan TNLL. Sehingga muncul rumor : “Begitu pintu rumah dibuka, maka langsung berhadapan dengan tapal batas TNLL.”

Sempitnya lahan untuk untuk mencari nafkah, juga kebiasaan untuk mencari hasil hutan, mengakibatkan masyarakat masuk pada areal TNLL. Tindakan represif berupa pengusiran, penangkapan bahkan pembakaran sabua (pondok) yang mereka buat dalam areal TNLL. Tidak menyurutkan kebiasaan mereka untuk tetap mencari nafkah didalam TNLL. Seperti yang dialami salah seorang warga Desa Kadidia, Pak Lili, yang pernah mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) mesa selama empat (4) bulan tanpa ada proses hukum sebelumnya, hanya karena tertangkap Polisi Hutan (Polhut) ketika berada dalam areal TNLL. Setelah Peristiwa pengusiran mereka terdahulu (tahun 1998, 1999-red), kini, Juli 2001 mereka kembali melakukan pendudukan lahan di Dongi-dongi.

Berbagai macam project pun digulirkan didesa-desa sekitar TNLL, dengan harapan, akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Seperti salah satu project Asian Development Bank (ADB) melalui Central Sulawesi Integrated Area Development and Concervacy Project. Namun, target project yang sejak awalnya memang tidak melibatkan masyarakat yang terkena dampak, melahirkan masalah dikemudian harinya. Dapat dikatakan bahwa project Loan ini gagal total. Project yang lebih menekankan implementasi project dari pada memperhitungkan dampak, melahirkan berbagai masalah baru baik bagi masyarakat maupun TNLL sendiri. Karena implementasi project di keempat (4) desa ini, bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat, misalnya pembuatan jalan, sarana air bersih, pengadaan bibit. Seperti pengadaan bibit, masyarakat mempertanyakan untuk apa memberikan bibit, sementara mereka tidak memiliki lahan.

Dokumen yang diolah dan diterima :
a. Sejarah Involuntary Resettlement

Desa Rahmat dimulai ketika proyek resettlement pada tahun 1974, kemudian menyusul pada tahun 1979 diturunkan ressettlement Kamarora sebanyak 500 KK (2437 jiwa).
Proyek pemindahan ini, merupakan kerja sama antara Departemen Sosial (Depsos) dan Kehutanan. Sementara yang melakukan pendataan pada waktu itu, Kesra Pemda Tingkat II Donggala, Yushak Taro. Pada waktu itu lokasi masih berupa hutan belukar dan lokasi tersebut dikerjakan oleh PT Bukit Kulawi Jaya.

Secara rinci para transmigran lokal tersebut berasal dari daerah antara lain; Morui 70 KK; Salua 30 KK; Biromaru 70 KK; Bolobia 70 KK; W. Rolele 60 KK; Wayu 60 KK; Doda 50 KK; Onjosua 50 KK; Beka 20 KK; serta trnasmigran sisipan 20 KK.
Tahun 1983, diadakan penambahan ressettlement Dusun Kadidia (sekarang menjadi Desa Kadidia-red) sebanyak 100 KK yang berasal dari Kecamatan Dolo 52 KK; Kecamatan Marawola 36 KK; dan Kecamatan Kulawi 12 KK.

Pada waktu mereka akan dipindahkan dari daerah asalnya, dijanjikan akan diberikan lahan seluas 2 hektar dilokasi, mereka mengisi formulir yang diantaranya disebutkan tentang lahan yang 2 hektar tersebut. Tetapi begitu sampai dilokasi kenyataannya mereka hanya mendapatkan tanah 0,8 – 1 hektar, dan itulah yang mereka tempati sampai sekarang. Karena semakin lama mereka merasa lahan yang mereka garap sudah tidak mencukupi maka mereka masuk ke dalam hutan untuk menanam apa saja yang bisa memberi tambahan bagi mereka untuk hidup (antara lain tanaman kopi, coklat) atau mencari rotan serta berburu.

Pada tahun 1981, tanpa diketahui oleh penduduk di keempat (4) desa tersebut, pemasangan Pal Batas Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) dilakukan. Akibatnya masyarakat semakin terjepit, karena biasanya mereka dengan bebas masuk kedalam hutan untuk memetik coklat serta kopi yang mereka tanam ketika belum ada TNLL, sekarang mereka berhadapan dengan Polisi Hutan (Polhut) bahkan kadang ada yang sampai ditangkap, kemudian rotan yang mereka dapat dicincang-cincang.

Mereka dibolehkan memetik coklat dan kopinya tetapi dilarang membersihkan tanaman tersebut, artinya lama kelamaan tanaman itu akan mati. Juga ada yang pohon coklatnya dibabat habis oleh Polhut dan bahkan bila tertangkap, maka pondoknya pun akan dibakar agar tidak ditempati lagi.

Ada beberapa kasus yang memperlihat bahwa betapa mereka diperlakukan secara sewenang-wenang oleh pembina pada lokasi tersebut; Benni Silo dan Tahero Parigade, seperti yang dialami oleh orang tua Papa Gola, ketika mencoba untuk membuka lahan tambahan berupa sawah seluas 2 hektar. Sewaktu sawah itu sudah dipanen tiba-tiba kedua (2) orang pembina yang sebutkan diatas meminta sawah tersebut supaya ditinggalkan karena katanya perbuatan tersebut melanggar aturan. Namun celakanya belakangan sawah tersebut dijual kepada orang luar.

Pada tahun 1994, terjadi bencana banjir dari aliran Sungai Sopu yang mengakibatkan sawah-sawah yang sudah siap panen hanyut, serta jalanan untuk masuk ke desa tersebut menjadi putus. Kondisi ini semakin menyulitkan kehidupan masyarakat didesa tersebut.
Pada tahun 1998, Kamarora dimekarkan menjadi tiga (3) desa defenitif, yaitu kamarora A, kamarora B, serta Kadidia tentunya ketika desa tersebut memiliki pemerintahan sendiri-sendiri.

b. Perkembangan Desa
Setelah sekian tahun desa-desa tersebut mengalami perkembangan, demikian halnya dengan pecahan KK yang semakin banyak. Sampai dengan tahun 2001 secara umum dapat digambarkan situasi keempat (4) desa tersebut; (1) Kamarora A, Luas wilayahnya adalah 665 Ha, Jumlah penduduknya 479 KK atau sebanyak 1.343 jiwa. Sementara jumlah penduduk yang tidak punya lahan sekitar 220 KK; (2) Kamarora B; Luas wilayah dari desa ini adalah seluas 800 Ha. Jumlah penduduknya 313 KK atau berjumlah 1.268 jiwa. Jumlah rumah yang ada disana sekitar 298 buah, sementara jumlah penduduk yang tidak mempunyai lahan sekitar 261 KK; (3) Kadidia, Jumlah penduduk didesa kadidia ini adalah lebih dari 600 jiwa atau 160 KK. Dan diperkirakan yang tidak mempunyai lahan garapan sekitar 125 KK. Sedang rumah yang ada sekitar 100 buah; (4) Rahmat, Jumlah penduduknya sekitar 600 KK, Rumah yang ada di desa tersebut sekitar 400 buah. Sedang yang tidak mempunyai lahan garapan kira-kira 325 KK Jika melihat secara cermat desa Rahmat sebenarnya dapat menyiapkan lahan bagi penduduknya. Yang menjadi problem adalah adanya penguasaan tanah yang timpang didesa tersebut. Ada beberapa orang-perorang mantan pejabat serta badan hukum yang menguasai lahan sampai ratusan hektar.

c. Sejuta Proyek Di Lokasi Resettlement

Berbagai masalah yang muncul di TNLL, juga mendatangkan sejumlah keuntungan untuk berbagai pihak, dengan berbagai macam project yang mengatasnamakan masyarakat lokal disekitar TNLL. Baik itu program pemerintah memalui instansi sectoralnya, maupun LSM, secara umum, seperti; (1) tahun 1988 proyek UPSA masuk; (2) tahun 1995 masuk program BCNP CARE Sulawesi Tengah serta proyek intensifikasi lahan kering dengan jalan bantuan bibit mangga. Namun poyek tersebut gagal; (4) tahun 1996 proyek pembuatan kolam renang air panas di Kadidia oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah, juga proyek ini tidak ada artinya sama sekali bagi masyarakat karena mereka tidak bisa menggunakan kolam tersebut. Yang dapat menggunakannya adalah pejabat-pejabat dari Kota Palu. Dan pesanggrahan yang ada dekat kolam renang tersebut dijaga oleh Polhut; (5) 1999 desa-desa tersebut mendapatkan dana Bangdes kemudian pembangunan kantor desa dan balai pertemuan melalui proyek PMDKE. TNC masuk dengan program pelatihan penyadaran konservasi bagi kaum ibu dan anak sekolah; (6) yang terakhir masuk kedesa-desa tersebut adalah proyek utang (loan ) Central Sulawesi Integrated Area Development and Concervacy Project (CSIAD-CP) yang didanai oleh Asian Development Bank (ADB), dengan peruntukkannya adalah berupa pembangunan sarana dan pra sarana serta bantuan bibit-bibitan serta obat-obatan.

Semua proyek-proyek yang masuk sebenarnya dapat berguna apabila cara pendekatan yang dipakai adalah partisipatif, yang menjadi problem adalah bahwa sebagian besar proyek-proyek tersebut masuk tanpa diketahui secara jelas oleh masyarakat (tidak transparan) serta tidak melibatkan mereka dan banyak kemudian yang menjadi sisa-sia karena kebutuhan mereka tidak tersentuh oleh proyek-proyek yang masuk tersebut.
Yang menjadi problem mendasar buat mereka adalah tidak adanya lahan untuk digarap, jadi apapun bentuk proyek yang masuk untuk mengalihkan mereka dari taman nasional itu akan sia-sia. Contohnya dari semua proyek yang masuk ada bantuan bibit-bibitan dan obat-obatan sementara lahan tempat bibit tersebut ditanam tidak ada, jadi sama dengan bohong.

d. Runutan Pendudukan Dongi-dongi

Setelah dua puluh tahun lebih mereka hidup dalam ketidak-pastian mereka kemudian bertekad untuk mengakhirinya. Mereka kemudian mencoba meminta lahan rata Dongi-dongi untuk menjadikan hidup mereka dimasa depan lebih terjamin. Secara sederhana mereka melihat bahwa lokasi Dongi-dongi ini adalah pantas untuk mereka huni karena lahannya yang rata dan subur. Ini Terbukti, karena sejak masuknya PT Kebun Sari pada tahun 1977, masyarakat dari sekitar wilayah ini telah bercocok tanam pada areal ini. Tanaman Coklat dan Kopi itu, hingga kini masih ada, walaupun telah beberapa kali dibabat oleh Polhut TNLL.

Secara umum PT Kebun Sari melakukan aktivitasnya dengan beberapa kali pindah kontrak, yaitu dimulai dari perusahaan Ericson, kemudian Filiphina sampai perusahan Malaysa tetapi mereka tetap menggunakan nama PT Kebun Sari. Dimulai pada tahun 1977 melakukan survei, kemudian tahun 1979 sudah operasi dimulai dari jurusan Bamba sampai Kokio, pada tahun 1980 pembuatan jalan yang melintasi Dongi-dongi menuju ke Napu. Kemudian PT Kebun Sari melakukan aktivitas penebangan kayunya pada tahun 1987 ketika mereka sudah selesai mengobok-obok isi hutan dari gunung Anaso.

Sebelum ada Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), serta jalan yang melintasinya. Lokasi Dongi-dongi oleh masyarakat sudah ditanami Kopi dan Coklat. Bahkan sudah beberapa kali oleh masyarakat untuk dijadikan pemukiman dan perkebunan. Pada tahun itu, pemarasan lahan (pembersihan lahan-red) tahun 1981 di Camp Jepang oleh masyarakat Desa Bunga. Kemudian tahun 1982-1983 diparas oleh masyarakat Desa Kamarora yang dipimpin oleh Guru Yusuf untuk persiapan pemukiman Desa Kadidia.

Tetapi, semua aktivitas masyarakat ini kemudian dihentikan, serta dilarang oleh pihak Kehutanan. Pada tahun 1999 dimasuki oleh  400 orang dari Desa Rahmat dan Kamarora dengan inisiatif sendiri untuk mencari lahan tambahan, sekitar 80 orang ditangkap oleh petugas PPA yang kemudian dibebaskan dan salah satu diantaranya yaitu Pak Lili bahkan dimasukkan ke penjara sampai empat (4) bulan dengan tuduhan perambah hutan taman nasional.

Selasa, (18/6/2001), masyarakat dari keempat (4) desa ini dengan mengatasnamakan Forum Petani Merdeka (FPM) dengan didampingi oleh Yayasan Bantuan Hukum Rakyat – Palu (YBHR) dan WALHI Sulteng kemudian mendatangi DPRD Propinsi Sulawesi Tengah dengan tuntutan sebagai berikut; (1) mendesak pemerintah untuk memberikan lahan garapan kepada petani tanah bertanah di bekas areal konsesi PT. Kebun Sari atau Dongi-dongi; (2) mendesak pemerintah untuk memberikan tanah seluas 2 hektar sebagaimana dijanjikan pada proyek ressetlemen dan trans lokal tahun 1974, 1979 dan tahun 1983; (3) Tanaman yang ada diareal taman nasional supaya tetap menjadi milik masyarakat; (4) menolak semua proyek utang yang tidak menguntungkan masyarakat; (5) serta bagi-bagi lahan secara adil kepada rakyat.

Dengan kelima tuntutan diatas mereka meminta kepada pihak legislatif untuk bertemu secara langsung, namun pihak legeslatif hanya mau bertemu dengan wakil 15 orang dari masyarakat serta lembaga yang mendampinginya.

Dalam pertemuan tersebut dihasilkan kesepakatan bahwa pihak legislatif akan mempertemukan masyarakat dengan pihak-pihak yang terkait dengan masalah mereka tersebut. Karena pihak legeslatif merasa bahwa persoalan ini harus dipertemukan dengan pihak eksekutif maka mereka menjanjikan untuk dipertemukan keesokan harinya yaitu pada tanggal 20 juni 2001.

Kemudian pada Rabu (20/6/2001), telah hadir dalam pertemuan tersebut antara lain masyarakat empat desa yang tergabung dalam Forum Petani Merdeka (FPM) serta pendampingnya YBHR, individu Agussalim Faisal Said dan WALHI Sulteng saudara Edmon Leonardo Siahaan,SH, kemudian pihak Legislatif yang diwakili oleh komisi A (Yus Mangun), sedang pihak eksekutif dipimpin oleh Sekretaris DAERAH Provinsi, Samijono, Kanwil Kehutanan Sulawesi Tengah, Kepala Balai Taman Nasional Lore Lindu, Banjar Julianto Laban, Bappeda Propinsi, Rolex, serta pelaksana proyek utang CSIAD-CP.
Dalam pertemuan itu tidak tercapai kesepakatan karena pihak eksekutif mengatakan belum siap dengan pertemuan tersebut, Akhirnya sampai pertemuan ditutup dengan tidak keputusan sama sekali, tetapi masyarakat yang didampingi oleh YBHR dan WALHI memberi waktu sampai tanggal 30 Juni 2001 kepada pihak pemerintah untuk membicarakan masalah ini.

Pada (24/6/2001), tim dari Palu yang dipimpin oleh Sekdaprov, Samijono berangkat ke Kecamatan Palolo untuk melihat langsung kondisi masyarakat empat (4) desa yang menuntut tersebut dilapangan, sialnya tim tersebut tidak sampai ke desa yang dituju, serta lokasi Dongi-dongi. Tim tersebut hanya singgah diwarung Desa Tongoa. Disitulah mereka memanggil aparat Kecamatan Palolo serta Kepala Desa dari empat (4) desa yang bermasalah untuk mendapat data-data.

Berdasarkan data-data tersebut di atas mereka kemudian menawarkan solusinya yaitu proyek ressetlement lagi ke daerah Manggalapi dan Lembangtongoa. Sewaktu usulan eksekutif itu dirapatkan secara koordinatif yang melibatkan Pemerintah Kabuapaten Donggala, DPRD Kabupaten Dnggala).

Sabtu, (7/7/2001), bertempat langsung di Dongi-dongi, usulan pihak eksekutif dan DPRD Provinsi tersebut kemudian dicoba disampaikan langsung oleh Bupati Kabupaten Donggola, Nabi Bidja serta rombongan antara lain; DPRD Kabipaten Donggala, Danrem Donggala, Kapolres Donggala, Balai Taman Nasional Lore Lindu. Dihadapan ratusan masyarakat di 4 desa tersebut. Usulan proyek ressetlement ke Manggalapi dan Lembantongoa tersebut ditolak oleh masyarakat empat (4) desa tersebut, dengan alasan; (1) bahwa jalan belum ada; (2) lokasi yang jauh; (3) tanahnya tidak subur; (4) sudah ada orang yang menempati areal tersebut; (5) pemerintah cenderung untuk pengadaan proyek saja.

Karena pertemuannya tidak bisa mencapai titik temu akhirnya diusulkan oleh salah seorang anggota DPRD Provinsi Sulteng, Yus Mangun yang kebetulan ikut dengan rombongan teman-teman Ngo’s untuk membicarakannya di Palu dan beliau menyatakan bahwa DPRD Proivinsi Sulteng siap memfasiltasinya.

Senin, (9/7/2001), masyarakat di empat (4) desa yang tergabung dalam Forum Petani Merdeka, bersama 20 orang wakilnya yang didampingi oleh YBHR serta WALHI Sulteng kembali melakukan dialog dengan pemerintah di DPRD Provinsi. Dalam dialog yang dihadiri oleh berbagai pihak antara lain, pemerintah propinsi yang diwakili oleh bapak Rully Lamadjido serta jajarannya kemudian Pemerintah Kabupaten Donggala berserta DPRD Kabupaten Donggala, Dinas Kehutanan, Balai Taman Nasional Lore Lindu.
Kembali dalam dialog tersebut masyarakat mengemukakan tuntutannya bahwa mereka sama sekali tidak akan meninggalkan Dongi-dongi. Akhirnya dalam pertemuan tersebut diusulkan lagi untuk membentuk tim dengan nama tim Penyelesaian Kasus Dongi-dongi.

Sebenarnya masyarakat sudah tidak mau lagi menerima tim, karena menurut mereka bahwa sudah berapa tim yang terbentuk dan bertemu dengan mereka tapi keputusan belum juga bisa diambil. Akhirnya mereka setuju dengan catatan bahwa tim tidak hanya dari pemerintah tetapi juga dari masyarakat dan NGo’s pendamping. Usulan tersebut kemudian disetujui oleh pihak dewan dan pemerintah. Tim ini kemudian disusun dan terdiri dari berbagai unsur antara lain; (1) Unsur pemerintah : Asisten I Bidang Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten; Unsur Bappeda Provinsi dan Kabupaten; Dinas Transmigrasi Provinsi dan Kabupaten; Dinas Perkebunan dan Kehutanan Provinsi dan Kabupaten; Balai Taman Nasional Lore Lindu; Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten; BPN; Camat Palolo dan Lore Utara; Kodim Donggala dan Poso; Kapolres Donggola dan Poso; (2) Unsur DPRD Propinsi : Yus Mangun; Udin Laula; (3) Unsur DPRD Kabupaten Donggala; Muhrim juruji; Leli Mariani; Ventje Soumakul; (4) Unsur masyarakat; Papa gola; Kuasa Ratalemba; Mino; Dise; Jabir; Sayfrudin; Luther; Haidir; Margo; Lorenst; Petrus; (5) Unsur NGOS pendamping; YBHR: Sidiq. Nangngareng, Sahrul; YPR : Mohammad Ridha Saleh; WALHI Sulteng; Edmond Leonardo Siahaan; selalu individu Agus Salim Faisal.

Pertemuan pada hari itu kemudian ditutup dengan kesepakatan baru bahwa paling lambat hari Jum’at, (13/7/2001) tim sudah bertemu dan akan kelapangan.
Namun, tim yang turun kelappangan (Dongi-dongi), bukanlah mengatasnamakan intansinya, namun atas nama pribadi. Tim yang terbentukpun tidak dapat berjalan maksimal, hanya karena masalah sepele, misalnya bagi pihak birokrat yang tidak mau turun kelapangan hanya karena tidak ada Surat Perintah Jalan (SPJ), belum ada Surat Keputusan (SK) yang mengesahkan tim.

“Saya belum mendapatkan SPJ dari atasan saya, jadi bagaimana dengan biaya transportasinya, uang jalannya? Kalau saya celaka dijalan, siapa yang akan bertanggungjawan atas keluarga saya? Yang akan memberi nafkah,” Ujar Kepala Dinas (Kadis) Kehutanan Provinsi Sulteng, Ir Idris Makanyuma.

Pernyataan simpangsiur juga keluar dari Asisten III Pemprov Sulteng, Baharuddin Tiadja, ketika dikonfirmasi mengenai keberadaan tim yang telah disepakati.
“SK itu sudah ada pada gubernur, tinggal tandatangan saja, saya sudah berikan kepada beliau. Jadi tinggal tunggu itu saja. Kalau tidak percaya coba cek sama orang-orang yang terlibat dalam tim,” ujarnya.

Hal yang sangat birokratis itulah yang mengakibatkan berlarut-larutnya masalah. Sikap Pemprov Sulteng serta instansi sectoralnya yang tidak mau pro-aktiv megakibatkan masalah ini terus berkembang dengan cepatnya.

Hingga pada tanggal (19/7/01), FPM melakukan unjuk rasa dengan jumlah massa yang besar, kurang lebih 1.600 orang. Mereka kembali mendatangi Kantor Gubernur Provinsi Sulteng. Namun, tekanan massa dengan jumlah besar ini, tetap tidak mendapat tanggapan dari Pemprov Sulteng.

FPMpun merasa geram dengan perlakuan yang mereka dapatkan, merasa disepelekan bahkan tidak mendapatkan tanggapan dari Pemprov Sulteng. Hingga pada sehari setelah melakukan unjuk rasa, (20/7/01). FPM melakukan upacara adat pembukaan lahan di Dongi-dongi.

Pada upacara adat inipula, lahir kesepakatan-kesepakatan yang dilahirkan FPM melalui diskusi ktitis tentang pengelolaan lahan di Dongi-dongi. Diantaranya; denda adat bagi siapa yang melakukan penebangan kayu dengan Chensaw untuk tujuan jualbeli; kepemilikan lahan dikuasai secara kolektive oleh FPM untuk menghaindari jualbeli tanah.

Hingga saat ini, kesepakatan-kesepatan adat tersebut masih dipegang penuh oleh anggota FPM, karena telah disepakati bersama oleh etnis-etnis suku anggota FPM. FPM sendiri memiliki dua (2) suku, seperti; Kaili Da’a dan Kulawi.
Namun, kesepakatan-kesepakatan FPm tersebut, tetap tidak mendapat tanggapan dari Pemprov Sulteng yang selalu stigmatis terhadap FPM.

Sikap stigmatis inilah yang melahirkan surat Gubernur Provinsi Sulteng tanggal Nomor 62/522.51/G.ST, Tanggal 8 Agustus 2001, mengenai penyelesaian Kasus TNLL Lokasi Dongi-dongi. Dimana pada point tiga (3) tercantum, Gubernur meminta bantuan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sulteng untuk mengamankan wilayah Dongi-dongi, dengan alasan wilayah tersebut merupakan asset daerah, dan kawasan lindung sehingga perlu dilindungikeberadaannya.

Kemudian, diikuti oleh surat Surat Bupati Kabupaten Donggala, nomor 150/ Bid. III /403.79/VIII/2001, Tanggal 16 Agustus 2001. Dimana pada point keempat surat ini adalah instruksi untuk mengosongkan Dongi-dongi dalam 3 kali 24 jam terhitung tanggal 20 Agustus pukul 00.00 Wita, dengan merujuk pada surat Gubernur Sulteng.
Penyelesaian masalah dengan pendekatan keamanan (security approach) yang ditempuh oleh Pemprov Sulteng ini, melahirkan resistensi FPM lebih tinggi lagi. FPM telah menyatakan sikap akan menghadapi aparat keamanan yang akan mengusir mereka dari Dongi-dongi, apapun akibatnya.

Solidaritaspun lahir dari keluarga-keluarga anggota FPM yang berada didesa atau kecamatan lain, khususnya Suku Da’a. Suku ini merupakan suku yang banyak mendiami dataran tinggi di Sulteng. Suku Da’a mendiami 64 desa di Kabupaten Donggala, dan selama ini merekalah yang menjadi obyek sasaran Pemprov Sulteng melalui Departemen Sosial (Depsos), yang selalu menstigma mereka dengan sebutan “suku terasing”.

Problem Saat Ini

Menurut Pemprov Sulteng, problem saat ini adalah masalah tapal batas seperti yang telah diungkapkan pihak eksekutif dalam beberapa kali dialog. Bahwa Dongi-dongi merupakan batas antara dua (2) kabupaten; Kabupaten Donggala dan Kabupaten Poso. Dimana Dongi-dongi merupakan wilayah administrative Kabupaten Poso. Namun hal ini tidak akan terjadi kalau pemerintah dalam melihat kasus ini dalam konteks yang lebih jernih lagi, serta memiliki political will untuk menyelesaikan kasus ini.

Seharusnya, Pemprov Sulteng melihat masalah ini, adalah masalah agraria yang muncul ke permukaan dalam kurun waktu lima (5) tahun belakangan ini, dari sekian banyak permasalahan mengenai agraria, khususnya tanah di Provinsi Sulteng yang terpendam.

Dari sekian banyak permasalahan mengenai penguasaan tanah, pemilikian tanah yang timpang, dimana lebih banyak tanah-tanah yang dikuasai oleh pemodal besar, pejabat, dibandingkan dikuasai rakyat kecil. Hampir dapat dikatakan tidak ada permasalahan tersebut yang dapat diselesaikan Pemprov Sulteng. Ini mengindikasikan keberpihakan Pemprov Sulteng bukan pada rakyat kecil yang membutuhkan tanah, melainkan lebih kepada para pemodal besar, yang diharapkan dapat mendatangkan keuntungan (PAD-red) yang lebih besar kepada Pemprov Sulteng.

Penanganan Pemda
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulteng terkesan lambat dalam menangani kasus ini. Bahkan pihak eksekutif dan legislative terkesan tidak paham akan masalah yang terjadi. Juga pengetahuan mereka akan keberadaan Taman Nasioanl Lore Lindu (TNLL) pun sangat minim.

Alasan kelambanan ini, diakibatkan dari kakunya birokrasi antara departemen sektoral yang terkait dengan kasus ini, padahal kasus ini merupakan kasus emergency yang harus cepat penanganannya.

Ironisnya, kasus pendudukan lahan di Dongi-dongi ini, dilihat dalam kacamata kuda, sehingga melahirkan preseden buruk. Kasus pendudukan lahan ini, dilihat bagaikan kasus kriminal yang hendak disamakan dengan penjarahan. Pemprov, BTNLL tidak dapat mengeksplorasi permasalahan lebih jauh lagi. Hingga yang ada bukanlah solusi, melainkan stigma pada FPM.

Sebagian LSM yang bekerja pada konservasi, masih terjebak bahkan membenamkan diri pada paradigma konsevasi sesat. Pandangan yang masih mengharamkan kehadiran masyarakat lokal di araeal konservasi.

Kepala BTNLL, Banjar YL, sendiri memiliki konsep yang dinamakan konsep eco populisme. Namun, konsep ini masih pada tataran retorika, belum diterapkan pada tataran konsep yang lebih kongkrit.

Recognisi [pengakuan] pada sebagian komunitas, seperti; Toro, Katu, Lindu, hendaknya jangan dipahami pada konteks pengakuan yang diberikan Kepala BTNLL, tapi pengakuan ini memiliki sejarah perjuangan yang panjang dari ketiga [3] komunitas ini.

Api Dalam Sekam
Lembaga Bantuan Hukum Sulawesi Tengah [LBH Sulteng] dan Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP) menilai masalah ini merupakan akumulasi berbagai persoalan yang selama ini terpendam layaknya api dalam sekam, seperti; dari penetapan tapal batas; baik menyangkut zonasi dengan penetapan TNLL dengan dan melalui SK Menteri Kehutanan; pengelolaan areal konservasi seperti taman nasional yang masih menggunakan pola-pola lama [baca; peningalan kolonial dan Orde Baru].

Jadi kalau dirunutkan, masalah yang yang dialami oleh TNLL, sangat kompleks, bukan hanya diperhadapkan pada dua [2] pilihan saja; masyarakat atau konservasi? Tapi jauh lebih rumit dari dua [2] hal itu.

Pertama, masalah yang dihadapi oleh 64 desa disekitar TNLL, kesemuanya sama, TNLL dianggap sebagai ancaman. Karena TNLL dianggap telah mencaplok lahan-lahan poduktif mereka; akses masyarakat lokal yang semakin sempit atas hutannya; politik kambing hitam juga terjadi. Masyarakat lokal dianggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas kelestarian TNLL.

Pernyataan bahwa TNLL merupakan ancaman terungkap dari Kongres Masyarakat Adat tahun 1999 di Ngata [kampung-red] Toro. Wakil-wakil dari 60-an desa mengungkapkan masalah yang hampir sama, yaoitu masalah lahan. Dimana lahan-lahan mereka yang telah ditanami kopi, coklat, dan tanaman lainnya, kini berada dalam tapal batas TNLL. Hingga kini dapat ditemui batas TNLL yang langsung berhadapan dengan pintu rumah.

Paradigma yang ada, serta pemahaman akan areal konservasi dengan paham yang sangat normatif [baca; kaca mata kuda]. Semangat konservasi yang adapun, masih didominasi oleh semangat ala Yellow Stone, yang anti masyarakat.

Masalah areal konservasi sebagai daerah yang harus dilindungi, dilihat dalam kacamata kuda pula. Tentu hal ini akan berkibat fatal akan keberlanjutan areal konservasi itu sendiri. Karena sebagai areal yang dilindungi, maka tidak akan ada akses masyarakat lokal akan kawasan tersebut. Masyarakat lokal dalam posisi terpojok, dengan stigma sebagai perambah, pencuri, yang dianggap sebagai pihak paling bertanggungjawab atas kerusakan keberadaan areal konservasi, seperti TNLL. Maka, pemerintahpun akan berusaha untuk menjauhkan mereka [baca; memindahkan] mereka ke daerah lain yang tidak dapat menjangkau areal konservasi kembali.

Penetapan tapal batas, paham konservasi yang ada di Indonesia masih mengadopsi sepenuhnya semangat “konservasi ala Amerika” yang anti masyarakat. Padahal keberadaan masyarakat lokal tidak dapat dipisahkan begitu saja dengan areal konservasi disekitar tempat tinggal mereka. Manusia dan lingkungan merupakan dua (2) bagian yang tidak dapat dipisahkan keberadaannya antara satu dan yang yang lainnya.

TNLL merupakan salah satu bukti menumpuknya masalah antara areal konservasi dan masyarakat lokal yang terpendam begitu lama, sehingga akumulasi kemarahan, yang berakibat pada pembangkangan masyarakat lokal terjadi dimana-mana, disekitar TNLL.
Kedua, Masalah yang berkembang ini tidak dapat dipisahkan dari ketimpangan kepemilikan lahan di sekitar TNLL. Ambil contoh, disekitar TNLL banyak pemilik modal besar yang menguasai lahan hingga ribuan hektar, Begitu pula dengan para mantan pejabat, yang begitu mudah memperoleh ijin kepemilikan lahan.

Perusahaan Yang Menguasai Lahan Disekitar TNLL
No Nama Perusahaan Luas Lahan (Ha) Komoditi Lokasi
1 PT Kebun Adi Dharma 99 Kakao Kec Kulawi
2 PT Gimpu Jaya Coklat 5000 kopi Arabika Kec Kulawi
3 PT Tangkolowi Makmur 275 kopi Arabika Kec Kulawi
4 KPN Adhyaksa Kejati 125 kopi Arabika Kec Kulawi
5 PD Sulteng Kulawi 375 Cengkeh Kec Kulawi
6 PT Sintuvu Karya 99 Kakao Kec Palolo
7 PT Hasfarm Napu 7400 Perkebunan Teh Kec Lore Utara

Sementara disisi lain, Pemprov Sulteng seakan menutupi mata dengan para petani yang tidak memiliki lahan, buruh tani, dan masyarakat yang marah karena penetapan tapal batas TNLL telah mencaplok lahan mereka.

Parahnya lagi, selain pemodal besar yang menguasai lahan disekitar TNLL, adapula mantan pejabat yang juga menguasai lahan hingga ratusan hektar, seperti yang terjadi di Desa Rahmat. Begitu juga dengan beberapa instansi pemerintah yang menguasai tanah hingga ratusan hektar, juga di Desa Rahmat.

Hal ini mengakibatkan akses masyarakat lokal akan kepemilikan tanah semakin sempit, dimana seharusnya tanah-tanah tersebut dikuasai oleh masyarakat yang dipindahkan melalui project resettlement ini, namun yang terjadi adalah kebalikannya.

Hal inilah memicu berbagai masalah akan keberlanjutan TNLL. Seharusnya pihak BTNLL selaku pengelola taman nasional dan Pemprov Sulteng dapat mengambil satu kebijakan yang lebih maju lagi mengenai penguasaan lahan disekitar TNLL oleh segelintir orang. Apabila hal ini tidak mendapat perhatian yang serius, maka hal yang sekarang terjadi di Dongi-dongi akan kembali terjadi di sekitar 60-an desa lainnya disekitar TNLL.
Maka, Pemprov Sulteng akan kelihatan seperti “pemadam kebakaran”, karena menyelesaikan kasus per kasus [kasuistik], bukan menyelesaikan masalah secara keseluruhan. Tentu hal ini akan menghabiskan energi.

Maka, LBH Sulteng meminta; Pertama, agar dilakukan pasca Moratorium (jeda) atas TNLL agar secepatnya mendapat pengakuan kawasan kelola bagi petani di Dongi-Dongi, dimana selama ini , tidak terkecuali aktivitas LSM dan NGO luar negeri dimana nota bene masih adanya sindikasi modal besar yang menguasai lahan bersama hadirnya perusahaan-perusahaan dalam jumlah besar disekitar TNLL harus berhenti pula; Kedua, Pemprov Sulteng harus mencabut semua perijinannya, serta me-redistribusi tanah-tanah tersebut kepada masyarakat lokal yang tidak memiliki tanah, serta memberikan ruang kepada masyarakat lokal untuk turut dalam pelestarian yang bersifat inisiatif lokal untuk konservasi rakyat. Langkah ini harus diambil Pemprov Sulteng bila ingin status „TNLL“ tetap lestari.

selengkapnya...