Minggu, September 12, 2010

Penyuluhan Hukum Mahasiswa KKPH Kelurahan Lasoani tentang Penghapusan KDRT

Menengok sejarah mengapa para aktivis dan pemerhati perempuan sangat memperjuangkan lahirnya UU-PKDRT. Hal ini sangat dipahami bahwa bukan saja Konstitusi Indonesia telah secara tegas dan jelas melindungi hak-hak asasi manusia dan perlindungan terhadap tindakan diskriminasi, namun kejadian-kejadian KDRT dengan berbagai modus operandinya, sudah sangat memerlukan pengaturan yang memadai, termasuk perlindungan terhadap bentuk-bentuk diskriminasi hak asasi perempuan dalam rumah tangga. Itulah diantara materi yang disampaikan Ruslan Husen, SH (LBH Sulteng) ketika menjadi Pembicara Tunggal dalam Penyuluhan Hukum Mahasiswa KKPH di Kelurahan Lasoani Palu Timur pada Minggu 19/9 di Kantor Kelurahan Lasoani.
Selain menguraikan tentang bentuk-bentuk KDRT, yakni kekerasan fisik, mental seksual sampai penelantaran rumah tangga. Ruslan juga menguraikan tentang kendala Kasus KDRT yang dilaporkan korban, kerapkali tidak ditindaklanjuti, karena korban ragu-ragu atau tidak mengerti bahwa hal yang dilaporkan itu adalah tindak pidana. Demikian halnya bahwa terhadap kasus yang telah diproses pihak Kepolisian pun acapkali ditarik kembali dengan berbagai macam alasan, misalnya karena korban merasa sudah memaafkan pelaku, ketergantungan ekonomi terhadap pelaku, demikian halnya bahwa KDRT masih dianggap sebagai aib keluarga.
Sementara itu Ketua Posko KKPH Kelurahan Lasoani Dwi Dwilista, mengatakan kegiatan Penyuluhan Hukum ini dilakukan sebagai salah satu program kerja mahasiswa KKPH untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman hukum kepada masyarakat untuk mencegah dan menyelesaikan permasalahan yang lahir dari akibat KDRT.
"Agar masyarakat mengetahui dan mengenali apa itu KDRT, sekaligus mampu mencegahnya" Tegas Dwi.




selengkapnya...

Sabtu, Juni 05, 2010

Rp37,83 Miliar Dipertanyakan

PALU, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Provinsi Sulteng tidak memberikan pendapat atau disclaimer terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep) tahun anggaran 2009. Anggaran sebesar Rp37,83 miliar dari Laporan Keuangan Pemkab Bangkep belum sesuai ketentuan perundang-undangan.


Dengan demikian, selama tiga tahun berturut-turut sejak tahun 2007, Pemkab Bangkep memperoleh “rapor merah”. Penilaian itu dituangkan BPK pada laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang diserahkan Kepala Perwakilan Provinsi Sulteng BPK RI, Dadang Gunawan, Jum’at (4/6). Kegiatan tersebut dihadiri Bupati Bangkep Irianto Malingong dan Ketua DPRD Kabupaten Bangkep H. Sulaeman.

Adapun cakupan pemeriksaan atas laporan keuangan Kabupaten Bangkep tahun anggaran 2009 senilai Rp1,05 triliun, meliputi neraca sebesar Rp249,74 miliar (terdiri atas aset senilai Rp249,06 miliar sedangkan kewajiban senilai Rp2,68 miliar). LRA sebesar Rp804,56 miliar (terdiri atas pendapatan senilai Rp344,53 miliar, belanja senilai Rp370,69 miliar, dan pembiayaan sebesar Rp89,34 miliar).

Adapun pembatasan lingkup pemeriksaan, antara lain, Kepala SKPD belum menyampaikan laporan keuangan TA 2009; sisa UP/TUP TA 2009 belum disetorkan ke kas daerah sebesar Rp1,10 miliar; PPN/PPh per 31 Desember 2009 sebesar Rp2,71 miliar belum disetor ke kas negara.

Selanjutnya, belanja modal bidang pendidikan sebesar Rp16,02 miliar belum dipertanggungjawabkan; pertanggungjawaban perjalanan dinas pejabat dan pegawai sebesar Rp5,05 miliar tidak sesuai ketentuan; pekerjaan pembangunan rumah jabatan (Rujab), pendopo, dan garasi bus sebesar Rp3,08 miliar tidak sesuai ketentuan.

Selain itu, pengelolaan dana program Jamkesmas sebesar Rp642,07 juta tidak disajikan dalam laporan keuangan; saldo akun piutang dan persediaan per 31 Desember 2009 tidak disajikan dengan nilai riil; nilai aset tetap pada neraca per 31 Desember 2009 tidak diyakini kewajarannya. Selain pemberian opini atas kewajaran penyajian LK, hasil pemeriksaan BPK juga memuat temuan atas kelemahan sistem pengendalian intern (SPI) sebanyak 10 temuan.

Adapun ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan sebanyak 13 temuan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1997, Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 14 ayat (2) bahwa penyelesaian dengan cara angsuran diselesaikan selambat-lambatnya dalam waktu dua tahun.

Sementara itu, hasil pemantauan atas tindak lanjut hasil pemeriksaan (TLHP) sejak 2005 hingga 2008 menunjukkan 59 temuan dengan 153 rekomendasi BPK. Telah ditindaklanjuti namun belum sesuai rekomendasi sebanyak 73 rekomendasi dan 10 rekomendasi belum ditindaklanjuti.
Sementara itu, pemantauan terhadap penyelesaian Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi (TP-TGR) menunjukkan bahwa jumlah kasus kerugian keuangan daerah sejak tahun 2005 hingga 2009 yang belum dilunasi sebanyak 118 kasus sebesar Rp10,67 miliar. Penyelesaian kerugian daerah tersebut tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Terbukti bahwa kasus tersebut sudah berusia lebih dari 5 tahun.DIN

Sumber: http://www.harianmercusuar.com klik disini!

selengkapnya...

Jumat, April 30, 2010

Aksi Menolak Permenkeu 67/2010


Aksi menolak penerapan Permenkeu 67 tahun 2010 tentang Bea keluar Biji Kakao, di depan Kantor Gubernur Sulteng, yang dinilai merugikan Petani, dan Eksportir Kakao.




selengkapnya...

Sabtu, Maret 27, 2010

Mafia Hukum di Kepolisian


Oleh: Emerson Yuntho
(wakil koordinator Indonesia Corruption Watch)


KOMJEN Pol Susno Duadji kembali menjadi pusat perhatian. Setelah membuat pernyataan kontroversial tentang ''cicak melawan buaya'' dan dicopot sebagai kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Polri, Kamis lalu (18/3) perwira nonjob berbintang tiga itu mendatangi Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Dia membeberkan informasi mengenai adanya makelar kasus pajak di tubuh Mabes Polri.

Informasi Susno soal adanya makelar kasus atau mafia hukum di kepolisian penting dicermati dan ditindaklanjuti. Fenomena mafia hukum dan korupsi yang terjadi di lingkungan kepolisian sesungguhnya bukanlah hal baru dan sudah menjadi rahasia umum. Bahkan, sebelum adanya pernyataaan Susno, kondisi itu juga diakui kalangan internal kepolisian. Hal itu bisa dilihat dari hasil penelitian mengenai praktik korupsi di kepolisian yang dilakukan oleh mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) angkatan 39-A pada 2004.

Berdasar hasil penelitian calon perwira polisi tersebut, korupsi di kepolisian dibagi dalam korupsi internal dan korupsi eksternal. Korupsi internal adalah korupsi yang tak melibatkan masyarakat di luar komunitas polisi. Contoh yang sering terjadi adalah jual beli jabatan, korupsi pada proses perekrutan anggota kepolisian, pendistribusian logistik, dan penyaluran anggaran kepolisian.

Korupsi jenis kedua adalah korupsi eksternal yang langsung melibatkan kepentingan masyarakat. Korupsi semacam itu terjadi dalam lingkup tugas polisi yang berkaitan dengan penegakan hukum, pelayanan masyarakat, dan penyalahgunaan wewenang.

Tidak berbeda dengan yang dilakukan mahasiswa PTIK, sebelumnya pada 2001 penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai pengurusan surat izin mengemudi dan pola-pola korupsi di lingkungan peradilan, khususnya di kepolisian, menyimpulkan bahwa korupsi di korps Bhayangkara bukan isapan jempol belaka.

Berdasar hasil penelitian ICW di enam kota besar di Indonesia, korupsi yang dilakukan anggota polisi biasanya terjadi pada penyelidikan dan penyidikan suatu kasus. Permintaan uang jasa, penggelapan kasus, negosiasi kasus, dan pemerasan merupakan pola yang umum dilakukan anggota kepolisian.

***

Meskipun sudah sedemikian marak, hanya sedikit aktor mafia hukum dari kepolisian yang terungkap dan diproses ke pengadilan. Mereka yang pernah diproses hukum hingga ke pengadilan, antara lain, mantan Kabareskrim Kepolisian Komjen Pol Suyitno Landung dan Brigjen Pol Samuel Ismoko yang tersandung kasus suap dari pelaku pembobolan BNI sebesar Rp 1,7 triliun serta AKP Suparman, penyidik kepolisian yang diduga memeras saksi dalam kasus korupsi.

Dalam banyak kasus, setiap pelanggaran yang dilakukan anggota kepolisian diselesaikan di Komisi Kode Etik dan Profesi Kepolisian. Namun, kenyataannya, sidang komisi itu sering memberikan keistimewaan kepada pelaku dengan menurunkan derajat pelanggaran yang seharusnya dapat dipidana menjadi sebatas pelanggaran administratif.

Penyebab munculnya mafia hukum dan korupsi di kepolisian pada umumnya merupakan kombinasi antara tingkat kesejahteraan anggota kepolisian yang jauh dari mencukupi, anggaran operasional yang minim, dan lemahnya pengawasan serta tidak efektifnya penjatuhan hukuman dari atasan.

Selama ini ada persoalan besar yang menghambat upaya pembersihan korupsi di kepolisian. Yaitu, persoalan struktural dan kultural. Contoh persoalan struktural, sering provos atau inspektorat kepolisian tidak berkutik ketika berhadapan dengan polisi yang berpangkat lebih tinggi yang menjadi ''pelindung'' polisi yang diduga melakukan penyimpangan. Sering pula provos atau inspektur polisi yang memeriksa ternyata berpangkat lebih rendah daridapa polisi yang diperiksa.

Persolan kultural misalnya, kalangan polisi enggan memeriksa sesama rekan seprofesi. Itu bisa jadi karena semangat untuk melindungi korps (espirit de corps) yang berlebihan sehingga merupakan aib apabila kasusnya diketahui oleh umum. Selain itu, dimungkinkan juga terjadi praktik kolusi di tengah penyidikan kasus yang membuat penyidikan berakhir dengan kesimpulan bahwa dugaan korupsi tak terbukti.

Untuk membersihkan korupsi dan mafia hukum di kepolisian, paling tidak ada tiga hal yang dibutuhkan. Pertama, pimpinan kepolisian yang memiliki kemauan kuat dan tekad serius dalam membersihkan kepolisian dari para oknum polisi. Hingga kini, belum ada figur pimpinan kepolisian yang memiliki karakter seperti itu. Komitmen serius memberantas korupsi di internal sering hanya sebatas pernyataan sejumlah petinggi kepolisian. Hasilnya tidak pernah terlihat.

Kedua, memberikan sanksi yang tegas dan memproses hingga ke pengadilan kepada anggota polisi yang korup atau menjadi mafia hukum. Keberadaan polisi nakal dan korup sangat berbahaya karena dapat merusak citra institusi tersebut, menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat (public trust), serta merusak akuntabilitas kinerja aparat kepolisian itu sendiri.

Ketiga, perlu adanya lembaga di luar kepolisian yang diberi kewenangan dalam mengusut dan membersihkan perilaku menyimpang, khususnya korupsi di kepolisian. Kisah sukses pemberantasan korupsi di kepolisian bisa dilihat dari pengalaman Singapura dan Hongkong yang berhasil menyeret banyak mantan pejabat kepolisian yang terlibat korupsi ke meja hijau.

Dalam hal ini, lembaga eksternal di luar kepolisian seperti Satgas pemberantasan Mafia Hukum dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diharapkan dapat meniru kisah sukses pemberantasan korupsi di kepolisian dari kedua negara tersebut.

Testimoni Susno serta upaya Satgas Mafia Hukum dan KPK membersihkan mafia hukum di kepolisian layak mendapatkan dukungan dari semua kalangan. Perlu langkah progresif dan dorongan perubahan fundamental di kepolisian untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat yang mulai luntur. Saat ini masyarakat berharap agar institusi kepolisian dapat bersih dari praktik mafia hukum dan korupsi tidak hanya sesaat, namun selamanya.

selengkapnya...

Kasus Maria dan Susanti; Potret Minimnya Lapangan Kerja di Sulteng


Oleh : Temu Sutrisno

SEBULAN terakhir, masyarakat Sulteng dikejutkan berita dua tenaga kerja wanita (Nakerwan) asal Palu yang disiksa dan tidak digaji oleh majikannya di luar negeri. Nakerwan pertama adalah Maria asal Pesaku kabupaten Sigi, terpaksa pulang dari Malaysia dan kedua Susanti warga Duyu Kota Palu, pulang dengan kaki patah setelah disiksa majikannya di Yordania.
Maria dan Susanti merupakan dua dari sekian banyak warga Sulteng yang memimpikan hidup sejahtera, dengan menjajal kerja di luar negeri. Keduanya mewakili pemikiran banyak orang, kerja di luar negeri lebih menjanjikan secara finansial dibanding kerja di Sulteng. Maria dan Susanti, bisa jadi merupakan gambaran utuh dari kondisi ketenagakerjaan Sulteng, dimana pengangguran masih cukup tinggi dan potensi lapangan kerja dengan tingkat pendapatan tinggi relatif kecil.

Menyimak data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulteng tahun 2009, angkatan kerja di Sulteng pada Agustus 2009 mencapai 1.215.727 orang. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya (2008) yang mencapai 1.196.988 orang. Terjadi kenaikan 18.739 orang.
Penduduk yang bekerja pada Agustus 2009 bertambah 18.012 orang dibandingkan keadaan Agustus 2008 yaitu dari 1.131.706 orang. Tahun 2009 menjadi 1.149.718 orang. Penduduk laki-laki yang bekerja bertambah sebanyak 16.845, namun perempuan hanya 1.167 orang. Pada Agustus 2009 terjadi sedikit peningkatan jumlah pengangguran sebanyak 727 orang dibandingkan Agustus 2008 yaitu tercatat dari 65.282 orang menjadi 66.009 orang pada Agustus 2009.
Masih berdasarkan data BPS, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Sulteng pada Agustus 2009 mencapai 69,27 persen, turun dibandingkan Agustus 2008 yang tercatat sebesar 69,76 persen. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Sulteng pada Agustus 2009 sebesar 5,43 persen, lebih kecil dibandingkan Agustus 2008 yang besarnya 5,45 persen. Untuk kabupaten/kota se Sulteng pada Agustus 2009, TPT tertinggi terjadi di Kota Palu sebesar 12,82 persen, sedangkan pada Agustus 2008 yang lalu sebesar 8,30 persen. Kabupaten Donggala merupakan kabupaten dengan TPT terendah di Provinsi Sulteng yaitu 3,39 persen pada Agustus 2009, masih lebih rendah dari TPT Agustus 2008 yaitu 4,79 persen.

LAPANGAN KERJA
Persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian menempati urutan teratas dalam penyerapan tenaga kerja pada Agustus 2009 yaitu sebesar 59,12 persen. Angka ini mengalami penurunan bila dibandingkan tahun 2008 sebesar 59,30 persen. Sedangkan sektor keuangan dan jasa perusahaan menempati urutan terbawah dalam penyerapan tenaga kerja, sebesar 0,58 persen.
Persentase penduduk yang bekerja menurut status pekerjaan utama baik berusaha sendiri maupun dibantu buruh tidak tetap atau tidak dibayar merupakan yang terbesar di Provinsi Sulteng pada Agustus 2009 mencapai 46,89 persen. Persentase penduduk yang bekerja sebagai buruh/karyawan pada Agustus 2009 tercatat hanya 18,91 persen.
Mencermati data diatas, lapangan kerja terbesar adalah sektor pertanian, yang terkonsentrasi di pedesaan-pedesaan. Dalam beberapa kesempatan Gubernur HB Paliudju dalam beberapa kesempatan mengatakan, penduduk miskin Sulteng, terkonsentrasi sebagian besar di pedesaan baik secara absolut maupun relatif dengan persentase 85,50 persen di pedesaan dan 14,50 persen di perkotaan. Tahun 2009 angka kemiskinan Sulteng mencapai 349 ribu jiwa, turun dari tahun 2008 yang mencapai 524.700 jiwa. “Hampir tiap tahun angka kemiskinan turun 2 persen,” ujar Gubernur dalam pidato pengantar nota keuangan APBD 2010, akhir tahun lalu.
Faktor penyebab kemiskinan antara lain, sikap dan kebiasaan hidup tidak produktif, rendahnya tingkat pendidikan dan derajat kesehatan. Kemudian ada juga yang disebabkan karena terbatasnya lapangan kerja, kalah persaingan dalam kegiatan ekonomi hingga terbatasnya akses terhadap modal dan pasar. Selain itu terbatasnya kapasitas wilayah serta maupun dukungan sistem dan kelembagaan sosial hingga ekonomi dan politik.
Dari data BPS dan pernyataan Gubernur HB Palidju, dapat ditarik benang merah, jika sektor pertanian sebagai lapangan kerja terbesar di Sulteng belum bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Wajar, jika banyak warga Sulteng yang kemudian mencari pekerjaan alternatif diluar pertanian, baik di dalam daerah maupun migran ke luar daerah dan ke luar negeri.
Sayangnya, kondisi laju pertumbuhan tenaga kerja tidak seimbang dengan laju penciptaan lapangan kerja, sehingga jumlah pencari kerja terus meningkat. Disamping itu lapangan kerja yang tersedia tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan keterampilan tenaga kerja yang tersedia, sedang sektor pendidikan belum sepenuhnya relevan menghasilkan tenaga yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja.
Dari sisi pendapatan, lapngan kerja di sulteng juga kurang menjanjikan. Tahun 2009 upah minimum provinsi (UMP) Rp725 ribu dan tahun 2010 naik menjadi Rp777.500. Pendapatan ini jika dibandingkan upah kerja di luar negeri, relatif kecil. Belum lagi masih banyak perusahaan di Sulteng yang belum memberlakukan UPM pada tenagakerjanya.
Masih tingginya angka kemiskinan, rendahnya tingkat pendapatan dan laju penciptaan lapangan kerja yang lemah, pada akhirnya menggiring sebagian warga Sulteng menjadi tenaga kerja migran di luar negeri, meski pada kenyataanya perlindungan tenaga kerja di luar negeri rapuh dan upah tinggi yang diharapkan juga tidak sepenuhnya terwujud.
Pada akhirnya, kasus Maria dan Susanti menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah Sulteng untuk menciptakan lapangan kerja yang baik bagi masyarakat. Bukankah Sulteng memiliki sumberdaya alam (SDA) yang melimpah dan berpotensi digarap secara mandiri oleh daerah dan masyarakat Sulteng?. Sudah saatnya berlaku pepatah ‘Lebih baik hujan emas di negeri sendiri daripada hujan batu di negeri orang’, bukan sebaliknya ‘Lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang’. ***

Sumber Asli : klik disini

selengkapnya...