Oleh : Moh. Nuzul Lapali
Hukum Indonesia saat ini masih banyak menggunakan produk dari colonial, yang mana ada sedikit perubahan yang terjadi tetapi tidak mendasar pada kondisi kultur dan budaya ketimuran kita orang Indonesia. Kalau kita melihat proses penegakan supremasi hukum saat ini masih sangat banyak tebang pilih, yang mana banyak akhir dari kasus-kasus yang diselesaikan oleh peradilan, baik itu kasus pejabat daerah maupun pejabat pusat dan lebih-lebih lagi kasus terhadap para pengusaha yang selalu berakhir dengan putusan bebas. belakangan ini muncul kesan bahwa proses hukum seringkali tidak mampu menyelesaikan persoalan secara tuntas apalagi memberikan keadilan yang substantif bagi para pencari keadilan.
Proses hukum lebih nampak sebagai “mesin peradilan” yang semata-mata hanya berfungsi mengejar target penyelesaian perkara yang efektif dari sisi kuantitas sesuai dengan tahapan-tahapan dan “aturan main” yang secara formal ditetapkan dalam peraturan. Sebut saja pada kasus-kasus belakangan ini yang masih santer terdengar ditelingah kita semua yaitu putusan bebas oleh pengadilan negeri pada kasus illegal loging di sumatera yang oknumnya adalah Adelin lis dan putusan bebas pada kasus korupsi rektor Untad yang di nahkodai bapak Sahabudin Mustafa.
Kalau kita mencermati pada kedua sample kasus di atas maka kita bisa tarik satu kesimpulan bahwa memang pada penegakan hukum kita masih bermasalah (tebang pilih), padahal dari sisi kaca mata hukum, kedua sample kasus tersebut unsur-unsur tentang adanya tindak pidana sangatlah jelas dengan berbagai macam bukti yang ada tapi yang jadi pertanyaannya sekarang adalah ada apa dengan pengadilan kita? Apakah harus masyarakat menengah kebawah saja yang selalu menjadi bulan-bulanan persidangan dan mendapat pembohongan dari proses hukum yang mereka lalui?
Ataukah para hakim yang katanya juga manusia dan juga katanya memiliki hati nurani tersebut hanya dipekerjakan oleh negara untuk membebaskan para penguasa dan para pemodal yang karena banyak harta serta jabatannya sehinggah mereka putus dari segala tuntutan hukum? Ingat, keadilan bukan untuk diperjualbelikan. Dan apakah makna kata “Quid Ius Sine Justitia” (Apalah artinya hukum tanpa keadilan) masih berlaku pada proses peradilan di Indonesia saat ini? Ataukah itu hanya menjadi makna yang enak didengar ditelingah saja? Itu adalah pertanyaan yang harus dijawab oleh para hakim serta mafia hukum lainnya.
Posisi hakim memang sebagai salah satu komponen penegak supremasi hukum yang menjadi harapan atau tumpuan terakhir paling penting. Rangkaian kalimat yang tertuang di dalam bacaan putusannya, itulah ungkapan keadilan oleh majelis hakim yang yang katanya tidak bisa diintervensi dalam mengambil keputusan melalui palu sidangnya. Keadilan berdasarkan undang-undang, berdasarkan pembuktian dan kemudian dirangkaikan dengan keyakinan hakim, Dari rangkaian kata demi kata itu nasib baik dan buruk ditentukan.
Para “pencari keadilan” berharap mendapatkan keadilan dari kalimat syair yang bacakan tersebut, sembari berharap-harap semoga keadilan kan kutemukan. Begitupun rakyat yang berada di luar lingkup ruangan pengadilan sana, merekapun senantiasa berharap agar para penjahat yang menghianati rakyat dari belakang segera terganjar juga dengan rangkaian kalimat dalam putusan hakim yang mengatasnamakan dewi Justisia , tetapi yang terjadi sebaliknya dimana pada akhir-akhir penantian itu selalu bermuara pada putusan bebas bagi para penjahat-penjahat negara. ataukah makna kata “Jeruk makan Jeruk” penjahat melindungi malingnya cocok diidentifikasikan untuk mereka dan ironisnya lagi saat ini anak kecilpun dapat mengetahui siapa sebenarnya”mafia peradilan”.!!!
Pembuatan sebuah hukum hanya ditujukan pada undang-undang tetapi bukan berupa kajian sosial yang berhubungan erat dengan kondisi masyarakat yang sebenarnya. Maka Jangan walaupun banyak perangkat undang-undang kita tetapi pada saat penerapannya masih banyak yang bermasalah. Olehnya sangat penting dilakukan pengkajiannya yang melibatkan seluruh komponen pemangkuh kepentingan “stake holder”. kalau kita sesungguhnya ingin keluar dari kekakuan formalistik undang-undang kita dan tidak lebih kepada yang mengatasnamakan penegak hukum, maka jalan keluar satu-satunya adalah dengan konsep hukum progresif yang digagas oleh bapak Prof. Satjipto Rahardjo yang mana lebih mengutamakan pada manusianya dari pada hukumnya artinya tidak kakuh dalam melihat, memaknai dan menerapkan konsep peraturan yang sebenarnya yang sebenarnya produk kita sendiri (manusia).
Terkadang para penegak hukum di Indonesia saat ini dibuat bodoh oleh syair demi syair undang-undang padahal kita telah ketahui bersama bahwa produk hukum yang kita junjung itu adalah bukan lain ciptaan kita sendiri dengan tujuan agar tidak ada orang yang saling menzalimi/mengambil hak-hak dari individu lain dan juga dibentuk untuk mengatur proses kehidupan sosial kita manusia. sangat banyak contoh-contoh yang bisa kita dapatkan atau alami baik secara langsung maupun tidak langsung, Salah satu contoh bagi institusi kepolisian di republik ini misalnya pada peraturan lalu lintas yang tidak membenarkan bagi para pengendara sepeda motor tidak menggunakan helm dengan tujuan untuk menjaga resiko yang fatal misalnya terjadi kecelakaan.
Tetapi pada kultur budaya ketimuran kita yang orang-orangnya masih banyak jiwa sosialnya yang mana biasanya sering memberikan bantuan (tumpangan) untuk para pejalan kaki salah satu contoh pada ibu-ibu atau orang tua yang sedang berjalan kaki di tengah terik matahari tetapi helmnya pengendara motor tersebut cuman satu (yang sedang dipakainya) kalau misalnya pengendara tersebut kedapatan oleh polisi satlanas yang diperbodoh oleh aturan (mempertuhankan aturan di atas segalagalanya) walaupun pihak pengendara sepeda motor tersebut membahasakan alasan-alasan sosial yang dia lakukan terhadap si orang tua yang berjalan kaki ditengah terik matahari, pasti polisi demikian akan tetap menahan motor tersebut, tetapi kalau si pengendara motor tadi berhadapan dengan polisi yang tidak kaku dalam memaknai dan menerapkan aturan pasti polisi tersebut dengan alasan-alasan sosial yang dikemukakan oleh pengendara tadi maka polisi demikian tidak akan menahan motor tersebut.
Kasus diatas adalah salah satu sample dari sekian banyak kasus-kasus yang ditangani oleh para penegak hukum di negeri ini yang masih sangat mempertuhankan peraturan diatas segala-galanya dari pada sisi kemanusiaannya. Apakah kalau misalkan itu dikembalikan pada mereka (penegak hukum) lantas ditahan semacam itu apakah mereka juga tidak merasakan sakit hati? Atau polisi-polisi dinegeri ini tidak mempunyai hati nurani lagi? Ataukah mereka telah menjualnya kepada para pemberi mereka uang? mereka lupa, kelak mereka juga nanti akan menjadi masyarakat biasa, trus gimana seandainya mereka mengalami nasib yang sama seperti contoh diatas?
Kalau dalam penegakan hukum dizaman modern saat ini kita masih menggunakan produk hukum bangsa penjajah yang sangat “formalistik dan legalistik” maka jangan heran saat ini dan kedepan kita masih akan menemukaan penganiyayaan, pembunuhan dan adanya penzaliman yang dilakukan oleh penjajah yang bertopeng dibalik penegak hukum indonesia yang selalu menjunjung tinggi aturan tanpa adanya kemanusiaan. mengapa kita tidak mengambil pengalaman serta kembali kepada sejarah bangsa ini yang begitu susah payahnya menentang penindasan dan bereaksi atas tindakan penjajah yang menzalimi serta penekanan yang dilakukan oleh bangsa belanda pada saat itu. Apakah kita akan menjadi penjajah juga didalam bangsa kita sendiri? Atau kita menginginkan generasi kita terus menerus menjadi kuli di dalam negara sendiri atau di negeri orang lain? Saya sangat yakin pasti para pejuang tempo dulu tidak akan sependapat dengan hal tersebut. Padahal kita lupa, kita generasi sekarang hanya penerima tongkat estafet dari para pejuang terdahulu.
Kamis, April 23, 2009
Carut Marutnya Penegakan Hukum Di Indonesia
Label: Artikel
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar