Kamis, April 23, 2009

Quo Vadis Pekerja Bantuan Hukum (Pasca Dicabutnya Pasal 31 UU Advokat No 18 Tahun 2003)



Oleh : M Irsyad Thamrin

Putusan Hakim MK menerima gugatan dari tiga dosen dari Universitas Muhammadiyah Malang untuk menyatakan pasal 31 UU Advokat tidak berlaku kembali merupakan suatu langkah yang progresif. Terlepas adanya pro dan kontra mengenai putusan ini termasuk di kalangan hakim MK sendiri yang mengajukan dissenting opinion dengan alasan pasal 31 ini justru melindungi profesi advokat dan melindungi masyarakat akibat ulah orang yang mengaku-aku advokat, namun tentunya hal ini perlu dianalisa secara luas dan mendalam.


Hal ini berdasarkan bahwa ekses dari pasal 31 ini ternyata mengakibatkan tidak di akuinya keberadaan para pekerja hukum (yang belum mengantongi izin advokat) baik yang berada di bawah naungan kampus ataupun yang berdiri sendiri (LBH). Para pekerja hukum tersebut merupakan tulang punggung bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu membayar jasa advokat. Untuk itu maka kita perlu merenungkan kembali sejarah perkembangan bantuan hukum di Indonesia agar sehingga dapat memahami konteks pembangunan hukum di Indonesia ke depan.

Sejarah Bantuan Hukum

Dalam sejarah Indonesia, sejak pemerintahan Belanda sampai ketika Jepang menduduki Indonesia, menurut penelitian Daniel S. Lev jumlah Advokat hanya sekitar 30 sampai dengan 40 orang. Berdasarkan hal tersebut maka muncul pengacara-pengacara yang belum maupun tidak berijasah sarjana hukum memberikan upaya bantuan hukum tersebut.

Selanjutnya sering disebut sebagai pokrol bambu, dimana dalam melakukan pekerjaan bantuan hukum yang lebih luas dan tidak terbatas dengan urusan litigasi saja saja, tetapi juga dalam urusan non litigasi seperti memberikan pendidikan hukum, mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa di luar pengadilan, mengurus perijinan di badan-badan pemerintahan dan lain-lain.

Sejak Indonesia merdeka pada perkembangannya, Advokat yang mempunyai fungsi pemberi jasa bantuan hukum yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam prakteknya sebagian besar hanya dapat disentuh oleh kaum kelas menengah ke atas. Justru yang banyak memberikan jasa bantuan hukum kepada kelas menengah ke bawah adalah Lembaga Bantuan Hukum (baik itu lembaga bantuan hukum di bawah Universitas ataupun lembaga nirlaba/ semi nirlaba). Lembaga Bantuan Hukum (LBH)bini dalam prakteknya karena keterbatasan jumlah Advokat yang bersedia memberikan jasa bantuan hukum secara prodeo/cuma-cuma ataupun harga jasa yang diberikan dapat dijangkau oleh orang menengah ke bawah, sehingga sebagian besar Lembaga Bantuan Hukum ini dioperasionalkan juga oleh para volunteer ataupun paralegal.

Berdasarkan hal tersebut maka sebagai antitesisnya banyak bermunculan Lembaga Bantuan Hukum, baik itu dibawah YLBHI, Universitas maupun Lembaga lembaga nirlaba lainnya. YLBHI sendiri yang menaungi LBH-LBH yang tersebar di daerah-daerah (Propinsi) tidak membatasi diri pada kegiatan bantuan hukum individual saja, tetapi memberikan pelayanan bantuan hukum struktural (meminjam konsep dari Adnan Buyung Nasution) yaitu bantuan hukum terhadap struktur bawah yang miskin dan buta hukum. Bantuan Hukum Struktural (BHS) ini pada prakteknya banyak menangani kasus/sengketa antar warga masyarakat atau sekelompok masyarakat dengan pemerintah (baca : Negara) dengan tidak hanya menangani secara litigasi tetapi juga melakukan pendidikan hukum maupun penguatan di dalam masyarakat.

Kriminalisasi Pekerja Bantuan Hukum

Setelah pemberlakuan UU Advokat yang disatu sisi disambut dengan suka cita karena mengakui eksistensi para Advokat secara yuridis, namun di sisi lain ada beberapa kelemahan dari UU ini yang dianggap justru dapat melemahkan kinerja pemberian jasa bantuan hukum. Dalam UU No 18 tahun 2003 tentang Advokat secara tegas menyebutkan bahwa jasa hukum seperti konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain, untuk kepentingan hukum klien, di dalam maupun diluar pengadilan hanya dapat diberikan oleh seorang Advokat. Regulasi ini pula menyebutkan dengan tegas bagi yang menjalankan pekerjaan advokat, padahal bukan seorang advokat, diancam dengan pidana penjara 5 tahun dan denda paling banyak lima puluh juta rupiah. Hal ini tentunya menjadi polemik terhadap dinamika pemberian banutan hukum. Karena kita ketahui Advokat, tidak banyak yang memberikan jasa hukum secara probono/prodeo, di sisi lain munculnya lembaga bantuan hukum yang selama ini diberikan oleh YLBHI, lembaga bantuan hukum Universitas, maupun lembaga nirlaba lainnya untuk memberikan bantuan untuk menjawab kebutuhan akan pelayanan bantuan hukum kepada masyarakat yang membutuhkan justru tidak di akui (dikriminalisasikan) dalam UU No 18 tahun 2003 tentang Advokat.

Secara historis lahirnya Undang Undang Advokat ditujukan untuk menjawab persoalan mengenai siapa yang seharusnya bertindak untuk menjadi pelaksana pemberi bantuan hukum di negara kita, dimana pada prinsipnya setiap orang dapat memberikan bantuan hukum bilamana ia mempunyai keahlian dalam bidang hukum, akan tetapi untuk tertibnya pelaksanaan bantuan hukum diberikan beberapa batasan dan persyaratan dalam berbagai peraturan. Menegaskan Advokat sebagai satu-satunya pemberi jasa bantuan hukum sebagaimana yang tercantum dalam Undang Undang Advokat sebenarnya merupakan cerminan untuk menjawab persoalan tersebut.

Dalam konteks penanganan bantuan hukum kepada golongan miskin memang sudah seharusnya dilakukan oleh tenaga-tenaga profesional, yaitu mereka yang bukan hanya berpendidikan Sarjana Hukum saja tetapi juga menekuni pemberian bantuan hukum sebagai pekerjaan pokok mereka sehari-hari. Dengan demikian, maka yang harus memegang posisi utama dalam hubungan ini adalah para advokat. Kewajiban membela orang miskin bagi profesi advokat tidak lepas dari prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan hak untuk didampingi advokat (access to legal counsel) yang merupakan hak asasi manusia bagi semua orang tanpa terkecuali, termasuk fakir miskin (justice for all).

Akan tetapi kenyataannya pengkriminalisasian pemberian bantuan hukum (sebagaimana pasal 31) tidak berpijak kenyataan historis perkembangan dari bantuan hukum di Indonesia, sehingga eksesnya justru mematikan kinerja LBH-LBH karena kekurangan sumber daya manusia. Hal ini diperparah ketika Undang Undang Advokat hanya mengatur eksistensi Advokat saja serta tidak mewajibkan dan memberikan sanksi yang tegas apabila menolak memberikan jasa bantuan hukum cuma-cuma), namun di sisi lain menegasikan peranan LBH (yang didalamnya banyak volunter dan paralegal). Padahal fungsi dari LBH di negara kita jauh lebih maju dibanding dengan fungsi dari lembaga-lembaga yang sejenisnya di berbagai negara yang kebanyakan hanya memberikan bantuan hukum untuk menyelesaikan suatu perkara di muka persidangan pengadilan saja (litigasi), sedangkan LBH sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, di negara kita selain berfungsi demikian juga kadang-kadang dapat menyelesaikan suatu perkara diluar pengadilan.

Upaya Sosialisasi

Berdasarkan permohonan judicial review yang diajukan Lembaga Konsultasi dan Pelayanan Hukum (LKPH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), MK pada tanggal 13 Desember 2004 membatalkan dan menyatakan Pasal 31 UU Advokat bertentangan dengan Pasal 1(3) dan Pasal 28 (F) UUD 1945. Harus diakui pasal ini menjadi momok yang menakutkan bagi para pekerja hukum para non advokat, karena dapat dikriminalisasikan hanya karena memberikan informasi dan bantuan hukum kepada masyarakat. Hal inilah yang menjadikan UU Advokat tidak berpijak pada kenyataan historis berdirinya LBH-LBH sehingga pelaksanaan dari pasal 31 ini membawa ekses kinerja LBH-LBH banyak yang optimal (bahkan ada yang sampai tutup kantor).

Dengan dibatalkannya pasal 31 UU Advokat ini akan membawa angin segar bangkitnya LBH-LBH kembali dan membangkitkan animo masyarakat dalam mengakses kembali jalur peradilan yang adil. Kalau sebelumnya para organisasi profesi gencar mempropagandakan kriminalisasi terhadap pemberian bantuan hukum bagi bukan advokat (pasal 31 UU Advoka)t kepada institusi-institusi peradilan dan juga kepada masyarakat umum, maka pembatalan pasal 31 ini penting juga untuk disosialisasikan kepada masyarakat umum dan juga lembaga-lembaga peradilan agar kinerja para pekerja bantuan hukum tidak di hambat dan dapat diakses kembali oleh masyarakat umum.

0 komentar: