Sabtu, Februari 14, 2009

Wacana dan Aksi Masyarakat Sipil Di Indonesia


Oleh : Ruslan
Penulis adalah Alumni Fakultas Hukum Untad, kini sebagai Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Badan Pekerja LBH Sulteng

Konsepsi tentang masyarakat sipil mulai dikenal dan marak dibicarakan di Indonesia sejak awal tahun 1990-an. Dalam pada itu, masyarakat sipil tidak hanya berkembang dalam arti teoritis, tetapi juga merupakan tipe ide tentang realitas sosial tertentu yang diharapkan kelak akan terwujud. Salah satu hal yang sering mengemuka adalah dalam kaitannya dengan wacana masyarakat sipil ditingkatan organisasi non pemerintah (ornop) dalam hubungannya dengan negara maupun dengan sesama masyarakat sipil. Ornop dituntut senantiasa memiliki kemampuan dalam mengembangkan ciri-ciri kemandirian, keswadayaan, dan keswasembadaan.


Adanya beberapa kasus yang berkenaan dengan penindasan rakyat yang sering dilakukan oleh penguasa dan merupakan realitas yang sering kita lihat dan dengar dalam setiap pemberitaan media massa. Baik melalui media elektronika maupun media cetak. Sebut saja salah satu contoh penindasan yang terjadi di Indonesia ketika orde baru berkuasa yakni penindasan terhadap keberadaan hak rakyat terhadap tanah yang diambil oleh penguasa dengan alasan pembangunan. Atau juga realitas pengekangan dan pembungkaman kebebasan pers dengan adanya pembredelan beberapa media massa. Penculikan para aktivis pro demokrasi dan adanya pembatasan ruang publik untuk mengemukakan pendapat di muka umum.

Hal tersebut bisa dikaji pada perlunya sebuah kekuatan masyarakat sipil dalam konteks interaksi kontrol sosial, baik antara rakyat dengan negara, maupun antara rakyat dengan rakyat. Kedua pola hubungan interaktif tersebut akan memposisikan rakyat sebagai bagian integral dalam komunitas negara yang memiliki kekuatan posisi dan menjadi komunitas masyarakat sipil yang memiliki kecerdasan, analisa kritis yang tajam serta mampu berinteraksi di lingkungannya secara demokratis dan berkeadaban.

A. Konsepsi Masyarakat Sipil
Istilah masyarakat sipil merupakan padanan kata “civil society,” “masyarakat madani,” “masyarakat warga,” “masyarakat kewargaan,” dan “masyarakat beradab.” Wacana masyarakat sipil ini, merupakan wacana yang telah mengalami proses yang panjang. Ia muncul bersamaan dengan proses modernisasi, terutama saat terjadi transformasi dari masyarakat feodal menuju masyarakat barat modern, yang saat itu lebih dikenal dengan istilah civil society. Dalam tradisi Eropa sekitar pertengahan abad XVIII, pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian negara (state) yakni satu kelompok/ kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain.

Akan tetapi pada ujung abad XVIII, terminologi ini mengalami pergeseran makna. State dan civil society dipahami sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan sosial dan perubahan-perubahan struktur politik di eropa sebagai pencerahan dan moderenisasi dalam menghadapi persoalan duniawi. Dalam mendefenisikan term masyarakat sipil ini sangat bergantung pada kondisi sosio-kultural suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep masyarakat sipil merupakan bangunan term yang lahir dari sejarah pergulatan bangsa eropa barat.

Kelompok Islam misalnya, memberi makna masyarakat sipil sebagai “masyarakat madani”, kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tidak terlalu akur dengan militer memaknainya sebagai “masyarakat sipil.” Sedangkan kelompok ilmuwan tertentu memaknainya sebagai “masyarakat warga” atau “masyarakat kewargaan”. Sementara kalangan agamawan menyebutnya dengan “masyarakat beradab.”

Untuk keperluan penulisan makalah ini, Penulis lebih mengkonsetrasikan memakai kata “masyarakat sipil,” yang hal itu berpadanan dengan kata lain “civil society,” “masyarakat madani,” “masyarakat warga,” “masyarakat kewargaan,” dan “masyarakat beradab. Ini dikarenakan, yang akan diuraikan adalah berkaitan hubungan antara ornop dengan negara, maupun ornop dengan sesama masyarakat sipil lainnya.

1. Makna Masyarakat Sipil

Masyarakat sipil sebagai sebuah konsep memiliki beragam makna. Pemaknaan itu diantaranya, diberikan oleh Adi Suryadi Culla, yang memaknai masyarakat sipil, Pertama, masyarakat sipil identik dengan negara yang dipertentangkan dengan kebiasaan masyarakat. Kedua, masyarakat sipil adalah suatu wilayah masyarakat ekonomi atau keadaan yang berbeda dan berdiri terpisah dari negara. Ketiga, masyarakat sipil adalah wilayah organisasi-organisasi masyarakat bersifat otonom, berdiri terpisah dari atau berbeda dengan negara dan masyarakat ekonomi. Sementara Larry Diamond, mendefinisikan civil society sebagai kehidupan sosial yang terorganisasi, tumbuh secara sukarela, umumnya bersifat swadaya dan tidak terkooptasi oleh pemerintah.

Secara mendasar masyarakat sipil menempatkan dirinya dalam posisi yang kritis terhadap negara dengan terus melakukan upaya perubahan-perubahan dalam bidang-bidang sosial, ekonomi dan politik serta kontrol terhadap kekuasaan. Dalam realitas empirisnya masyarakat sipil mengorganisasi dirinya secara independen dari negara sekaligus mempunyai landasan pengetahuan yang menjadikan mereka berbeda dari masyarakat biasa yang tidak kritis dan pasif dalam struktur sosial yang bisa jadi menindas mereka.

Selain kritis terhadap negara, masyarakat sipil mempunyai kemandirian dalam banyak hal. Bahwa masyarakat sipil adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung kehidupan material, dan tidak terserap dalam jaringan-jaringan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas (the free public sphere), tempat dimana transaksi komunikasi yang bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat.

Masyarakat sipil yang kritis dan mandiri secara esensial didukung oleh orientasi pasarnya, sehingga para aktor di dalamnya mengakui prinsip-prinsip otoritas negara dan rule of law. Agar bisa tumbuh berkembang dan mendapat jaminan rasa aman ia membutuhkan perlindungan dari tatanan hukum yang terlembagakan. Sehingga, masyarakat sipil bukan hanya membatasi kekuasaan negara tetapi juga melegitimasi otoritas negara bila otoritas itu didasarkan pada rule of law.

Berkaitan dengan pencirian masyarakat sipil, Diamond mengajukan lima ciri masyarakat sipil. Pertama, masyarakat sipil memusatkan perhatiannya pada tujuan-tujuan publik bukannya tujuan privat. Kedua, masyarakat sipil dalam beberapa hal berhubungan dengan Negara tetapi tidak berusaha merebut kekuasaan atas Negara atau mendapat posisi dalam negara; ia tidak berusaha mengendalikan politik secara menyeluruh. Ketiga, masyarakat sipil mencakup pluralisme dan keberagaman. Artinya, organisasi yang sektarian dan memonopoli ruang fungsional atau politik dalam masyarakat bertentangan dengan semangat pluralistik. Keempat, masyarakat sipil tidak berusaha menampilkan seluruh kepentingan pribadi atau komunitas. Namun, kelompok-kelompok yang berbeda akan menampilkan atau mencakup kepentingan berbeda pula. Kelima, masyarakat sipil haruslah dibedakan dari fenomena Civic community yang lebih jelas meningkatkan demokrasi. Civic community adalah konsep yang lebih luas dan lebih sempit sekaligus: lebih luas karena ia mencakup semua jenis perhimpunan (termasuk parokial); lebih sempit karena ia hanya mencakup perhimpunan yang terstruktur secara horizontal di seputar ikatan yang sekira mempunyai kebersamaan, kooperatif, dan saling mempercayai.

2. Bagian Masyarakat Sipil
Persoalan mendasar lainnya setelah pendefinsian adalah siapa yang merupakan bagian dari masyarakat sipil. Pada level ini seringkali terjadi persoalan karena kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat seringkali menunjuk kepada kelompok yang lain bukan sebagai bagian dari masyarakat sipil tetapi sebagai masyarakat politik. Bahwa masyarakat sipil mencakup beragam organisasi, formal dan informal, meliputi : ekonomi, kultural, informasi dan pendidikan, kepentingan, pembangunan, berorientasi isu, dan kewarganegaraan.

Seringkali organisasi yang menjadi bagian dari masyarakat sipil adalah kalangan NGOs (Non Government Organizations/Lembaga Swadaya Masyarakat-LSM) atau Organisasi Non Pemerintah (Ornop) dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berbasis komunitas dan professional yang didalamnya ada kelompok keagamaan yang kritis independen, kaum bisnis maupun media.

B. Hubungan dan Hambatan Masyarakat Sipil
Selama pemerintahan Orde Baru berkuasa, lembaga legislatif/ DPR belum dapat berfungsi secara efektif dan berperan secara optimal menyalurkan aspirasi masyarakat. DPR dalam posisi yang sangat lemah, hampir tidak mampu menggunakan hak-hak yang dimiliki dan kedudukan mereka di bawah kekuatan eksekutif. Dalam menyampaikan hak anggaran, hak mengajukan pertanyaan atau hak minta keterangan biasanya memang bisa lantang. Tetapi dalam menyampaikan hak melakukan perubahan, hak menyampaikan pendapat dan prakarsa serta hak penyelidikan dinilai tidak pernah optimal, apalagi dalam mengajukan perubahan UUD. Kondisi semacam itu kemudian melahirkan hubungan antara eksekutif dan legislatif di daerah banyak diwarnai sifat interaksi superordinasi-subordinasi. Kedua institusi tersebut tidak pernah berdiri sejajar, sehingga mudah dimengerti apabila badan legislatif sukar melakukan fungsi kontrol pada kebijaksanaan publik yang diintroduksi oleh eksekutif.

Harapan agar DPR menjadi mitra Pemerintah dan memiliki kedudukan serta kesempatan yang sama dalam proses pengambilan keputusan-keputusan krusial yang berdampak luas bagi masyarakat hanyalah jargon politik yang sukar sekali diwujudkan. Sudah jelas bukan berarti bahwa semua anggota DPR mandul dalam proses pengambilan keputusan, tetapi bahwa eksekutif lebih dominan dari pada legislatif yang hampir terjadi di semua daerah. Para anggota DPR hanya terlibat dalam proses formulasi keputusan, tetapi kurang diperhitungkan dalam proses eksekusi keputusan.

Prinsip-prinsip seperti dikehendaki oleh ide masyarakat sipil (seperti : tidak ada pemaksaan kehendak, tidak ada monopoli, tidak ada manipulasi dan ada kemauan hidup dalam rasa sepenanggungan), ternyata masih belum dapat direalisasikan dengan baik. Kalangan tertentu ditengarai masih memiliki peluang memanfaatkan kekuasaannya, dan atas nama negara kalangan itu bisa melakukan hal-hal yang kurang terpuji. Hak-hak masyarakat belum utuh terlindungi, sehingga menempatkan masyarakat pada posisi yang inferior dan selalu tertekan. Era reformasi dan transisi ketika negara sangat adi kuasa, atau dalam posisi yang sangat dominan dan meminggirkan masyarakat, bentuk respons yang berkembang dalam masyarakat terutama adalah penguatan dan idealisasi masyarakat.

Pilihan strategi perjuangannya adalah melakukan gerakan moral, dengan menekankan diri pada kegiatan pembelaan, sehingga masyarakat dari segala bentuk penindasan. Kegiatan yang dilakukan antara lain adalah mengidentifikasi hak-hak masyarakat yang dirampas, kemudian membangun kesadaran bahwa hak-hak tersebut harus dikembalikan lagi. Dengan kata lain gerakan mereka adalah memberi tekanan pada membangun atensi, oleh karena itu persoalan klaim kerapkali sangat ditonjolkan. Forum utama kegiatan semacam itu adalah media massa (baik cetak maupun elektronik), dan berusaha menempatkan diri sebagai broker yang menjembatani kemauan masyarakat dengan kepentingan pemerintah.
Di samping itu juga dibangun jaringan yang dapat memonitor isu-isu dan kasus-kasus aktual yang terjadi dalam masyarakat, sehingga berbagai bentuk tindakan yang dilakukan memiliki kadar visibilitas yang tinggi. Bersamaan dengan itu sebetulnya ada pula yang melakukan gerakan politik. Pilihan strategi perjuangannya adalah menciptakan aksi protes, memobilisasi dukungan masyarakat dan mencampuri urusan kekuasaan. Posisi yang dikembangkan bukan lagi sebagai broker, tetapi sebagai aktor politik.

Respons semacam itu memberikan indikasi bahwa kendatipun negara sangat kuat dan sangat determinan dalam proses pengambilan keputusan publik, namun sebenarnya tidak pernah mampu mematikan ide masyarakat sipil. Itu berarti bahwa kendatipun kecil, di dalam masyarakat sebenarnya tetap tumbuh keinginan untuk merdeka, bebas dari segala bentuk penindasan, dan tetap ada kesadaran hidup dalam rasa sepenanggungan. Oleh karena itu, ide masyarakat sipil sesungguhnya bisa hidup subur dalam kehidupan masyarakat kita, meskipun barangkali harus melewati jalan terjal dan membutuhkan waktu relatif lama. Kendalanya bukan hanya terletak pada institusi birokrasi atau institusi politik, melainkan juga pada ciri-ciri hubungan antara kedua institusi tersebut dengan pelaku bisnis, serta pada nilai-nilai sosial yang berkembang dalam kehidupan masyarakat sendiri.

Berikut beberapa hal yang diperkirakan menjadi kendala membangun masyarakat sipil di negeri ini. Pertama adalah masalah akses publik. Selama ini institusi birokrasi publik kita bekerja hampir tidak disertai mekanisme kontrol eksternal baik dari pihak institusi politik (partai dan legislatif) maupun dari media massa dan kelompok kepentingan. Kalaupun dahulu pernah ada, kontrol eksternal itu lebih sering palsu, tidak jujur, dan hanyalah sebuah rekayasa untuk menyenangkan atau mengelabuhi masyarakat. Hal ini terjadi karena pada saat itu rejim yang berkuasa berada pada puncak strata, dan dengan sewenang-wenang memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki untuk kepentingan politiknya sendiri. Institusi birokrasi dan institusi politik tidak netral, tidak mampu melakukan fungsi kontrol, dan menjadi kepanjangan tangan rejim itu.

Oleh karena kontrol eksternal hampir tidak ada, maka rejim penguasa serta aparatur pemerintah di bawahnya sangat leluasa melakukan korupsi dan berbagai bentuk penyimpangan lain yang merugikan hak-hak masyarakat. Konsekuensi yang terlihat sekarang adalah terjadi apa yang lazim disebut kurangnya transparasi publik yang membuat segala bentuk kebijakan pemerintah selalu dicurigai, sehingga sulit membangun komitmen anggota masyarakat. Benar memang pemerintah yang sekarang sudah memperoleh legitimasi yang kuat karena dipilih oleh rakyat melalui Pemilu yang demokratis. Tetapi karena masih banyak warisan masalah politik yang belum dapat diselesaikan dengan tuntas, maka masih sulit menciptakan transparansi publik.

Kedua adalah masalah pengusaha/ pemilik modal, yang melekat dalam interaksi antara pemerintah dan pelaku bisnis atau pengusaha. Sedikitnya ada dua macam tipe pengusaha yaitu: (1) pengusaha yang tumbuh besar dengan fasilitas yang diberikan pemerintah, dan (2) pengusaha yang tumbuh dan berkembang atas etos dan kemampuannya sendiri. Selama ini yang berkembang adalah tipe pengusaha tumbuh besar dengan difasilitasi pemerintah, pengusaha tipe ini pada umumnya tidak memiliki skill yang baik dalam melakukan bisnis yang kompetitif. Mereka sangat tergantung pada kekuatan dan kemurahan penguasa, sehingga yang mereka kembangkan sebenarnya bukan nilai bisnis yang bisa mengembangkan usaha, tetapi lebih pada bagaimana mengembangkan hubungan baik dengan penguasa. Mereka sangat diuntungkan ketika penguasa memonopoli pasar dan berbagai perlakuan khusus dalam kegiatan bisnis.Sebaliknya, tipe pengusaha yang kedua (pengusaha dengan etos kerja), kendatipun mereka memiliki skill yang cukup, namun mereka tidak mudah mengembangkan usahanya. Mereka selalu kalah bersaing kecuali harus menjadi bagian dari pemerintah.

Pada era reformasi sekarang memang sudah mulai terjadi keterbukaan dalam dunia bisnis, tidak ada lagi monopoli yang berlebihan dari penguasa. Tetapi situasinya masih jauh dari yang diharapkan bagi terciptanya masyarakat sipil, karena dunia bisnis kita sebenarnya masih banyak dikuasai oleh pengusaha bentukan pemerintah tersebut.

Ketiga adalah masalah patrimonalisme. Bentuk struktur kekuasaan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat kita adalah bersifat monolitik, di puncak strata ada sekelompok elit minoritas yang superior kemudian pada strata dibawahnya adalah kelompok massa mayoritas yang inferior. Kelompok elit sangat mendominasi berbagai keputusan-keputusan penting, sedangkan kelompok massa tidak berdaya dan hanya mengikuti kehendak kelompok elit.

Dalam kehidupan masyarakat kita menjadi semakin kompleks ketika warna patrimonialisme itu tidak hanya terkait dengan daerah melainkan juga dengan etnis dan agama. Dalam sifat hubungan semacam ini, di setiap daerah terdapat sejumlah pemimpin yang ditempatkan sebagai patron dalam berbagai macam persoalan politik. Apabila di daerah itu terdapat sejumlah etnis, maka akan diketemukan sejumlah pemimpin etnis yang seringkali juga ditempatkan sebagai patron dalam masalah politik.

Demikian pula apabila di daerah itu terdapat sejumlah agama, maka akan didapati pula sejumlah pemimpin agama yang kerapkali menjadi patron dalam masalah politik pula. Bentuk struktur kekuasaan semacam itu sangat sulit mengembangkan perbedaan pendapat dan kritik (termasuk kritik yang konstruktif). Perbedaan pendapat biasanya dianggap ancaman solidaritas dan kritik biasanya dianggap cerminan rendahnya loyalitas, padahal dua hal tersebut sebenarnya sangat dibutuhkan sekali bagi terciptanya masyarakat sipil.

Walaupun dalam meretas hambatan dalam pengembangan masyarakat sipil tersebut ada pilar yang kiranya dapat terus dikembangkan seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, Pers, Partai Politik, Perguruan Tinggi, serta adanya supremasi hukum yang jelas, namun sepertinya sebagian dari pilar tersebut justru mengarah kepada “penghambat” laju pengembangan masyarakat sipil itu sendiri.

Lembaga swadaya Masyarakat misalnya, melalui penelitian yang dilakukan oleh Dr. Mansoer Fakih terhadap perkembangan LSM dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, menunjukkan bahwa di kalangan aktivis LSM sendiri masih adanya kegelisahan terhadap peran mereka dalam proses perubahan sosial bagi tercipanya masyarakat sipil. Kegelisahan itu justru muncul dalam kekecewaan yang mempertanyakan misi, visi dan paradigma LSM itu sendiri tentang perubahan sosial. Belum lagi masalah internal partai politik yang belum menunjukkan kemanjuan dalam berdemokrasi yang tentunya dapat menghambat perkembangan masyarakat sipil itu sendiri.

Walaupun sebagian dari LSM telah membuat sebuah perubahan yang berarti, seperti melakukan advokasi akan hak-haknya sebagai warga negara dan memberi pendidikan bagi masyarakat baik dalam bidang social, politik, ekonomi serta hukum. Tentu ini adalah langkah awal yang berarti demi terwujudnya masyarakat sipil di negeri ini

Masa Depan Masyarakat Sipil di Indonesia
Sebagai bekas negara jajahan, kemunculan masyarakat sipil banyak dipengaruhi oleh campur tangan lembaga internasional yang menghendaki tumbuhnya nilai-nilai demokrasi. Tetapi akan menjadi pertanyaan sejauhmana kontribusi organisasi masyarakat sipil ketika donasi lembaga internasional tidak dilanjutkan kembali. Sudah menjadi rahasia umum, keberlangsungan organisasi masyarakat sipil di Indonesia tidak terlepas dari program yang ditawarkan oleh institusi asing. Sebagai contoh dengan mengusung tema demokratisasi, aliran donasi asing masuk ke Indonesia untuk mendukung perwujudan kehidupan demokrasi hal ini terlihat dalam pemilu 1999 dan 2004. Dan ini berimbas pada ketergantungan organisasi masyarakat sipil terhadap kucuran dana dari lembaga internasional.

Hal tersebut yang menjadi salah satu kelemahan dari proses pengembangan kekuatan masyarakat sipil di Indonesia. Selain itu kegiatan yang dilakukan biasanya hanya sekali jalan tanpa tindaklanjut yang jelas seperti sosialisasi kepada publik dan keberadaan program lanjutan. Sesungguhnya dari program yang dijalankan oleh organisasi masyarakat sipil diharapkan menjadi “bola salju” yang mampu memberdayakan warga negara dan tidak berhenti begitu saja.

Dapat dikatakan belum banyak kontribusi berarti dari organisasi masyarakat sipil untuk memperkuat partisipasi publik dalam penentuan dan pengawasan kebijakan pemerintah. Andi Widjajanto menyarankan supaya muncul cara pandang baru yang dapat menghubungkan poros warga dengan poros negara atau poros pasar karena masyarakat akar rumput merupakan penopang dari proses transformasi global. Akan lebih baik bagi organisasi masyarakat sipil untuk memperluas kajiannya, membuat kerja sama dengan organisasi lain, dan memperkuat database-nya sebagai upaya merumuskan alternatif-alternatif kebijakan publik.

Penutup
Pentingnya sebuah pendidikan politik bagi masyarakat akan meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap kewajiban dan hak apa yang harus dilaksanakan dalam statusnya sebagai warga negara yang berhadapan dengan negara. Pendidikan politik yang benar akan menuntun dan memperbaiki budaya politik yang selama ini melekat dalam diri masyarakat Indonesia. Minimal dimulai dari pengetahuan politik yang benar.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) harus memposisikan diri sebagai lembaga yang mengawal proses perubahan sosial demi terwujudnya civil society. Posisi itu ditemukan dalam pembuatan visi dan misi yang jelas disertai program yang mendukungnya. Pelaksanaan dialog dan diskusi yang berkelanjutan akan membangkitkan pengetahuan dan kekritisan di kalangan aktivis LSM yang nantinya akan menaruh kepedulian terhadap proses perubahan sosial di negeri ini.

Perguruan tinggi dengan mahasiswa sebagai garis terdepannya, dituntut untuk senantiasa melakukan moral force dalam mengkritisi kebijakan pemerintah serta juga pers yang bebas secara sehat dalam memberitakan informasi yang dapat memupuk pengetahuan politik warga negara melalui fungsi edukasi dan sosialisasi informasi yang bersifat politis. Sehingga nantinya diharapkan akan tercipta sebuah tatanan masyarakat yang diidamkan yakni terciptanya masyarakat sipil Indonesia yang mandiri, sejahtera dan beradab.

Catatan Kaki :
Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society; Wacana dan Aksi Ornop Di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2006, hlm 203.
Ibid; hlm 34.
Ibid, hlm 204.
Larry Diamond, “Journal of Democracy”, Vol. 5 Juli 1994.
Hikam, AS, Muhammad. 1996. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES, hlm 3.
Diamond, Larry. 2003. Developing Democracy toward consolidation. Yogyakarta: IRE Press.
Diamond, Ibid, hlm: 281-283.
http://ham-demokrasi.blogspot.com/2007_07_01_archive.html
http://naonsyah26.multiply.com/reviews/item/18

selengkapnya...

Rabu, Februari 11, 2009

Tolak UU BHP


Gabung Mahasiswa Kota Palu yang menamakan dirinya Forum BEM Se Kota Palu, kembali menggelar aksi unjuk rasa di Depan Kantor DPRD Propinsi Sulteng. Aksi ini ditujukan secara khusus untuk menolak kedatangan rombongan Komisi X DPR RI dan Mendiknas yang akan melakukan sosialisasi di Kantor DPRD Sulteng.
Dalam aksi itu mahasiswa melakukan pembakaran almamater Untad, sebagai simbol penolakan atas sikap Birokrasi Untad yang menyatakan telah menerima UU BHP. Dengan penegasan pembakaran itu bukan pelecehan terhadap institusi pendidikan.

Belakangan mahasiswa pembakar almamater itu, disidang di Untad secara perorangan, dan bukan atas nama forum. Padahal pembakaran almamater sebagai simbol penolakan UU BHP itu telah disetting oleh Forkom BEM.
Foto lainnya Anda Klik di bawah ini.








selengkapnya...

Polemik Tapal Batas TNLL


Untuk membahas Polemik Tapal Batas TNLL. Dilaksanakan Dialog Interaktif di RRI Palu oleh LBH Sulteng dengan tema dialog “Polemik Tapal Batas BTNLL” pada (Selasa/10/2). Hadir sebagai Narasumber Agus Priyono (BTNLL), Agus Faisal Said (Dewan Pendiri LBH Sulteng), dengan Pendamping Ruslan, SH (LBH Sulteng) dengan Moderator RII Nurbaidah Sumairah.
Kegiatan ini untuk memberikan pendidikan atau penyuluhan hukum pada masyarakat, agar masyarakat mengetahui hak-hak dasarnya yang dijamin dalam Konstitusi. Sekaligus memberikan ruang kepada masyarakat dalam mengutarakan berbagai masalahnya berhubungan dengan hukum.

Foto Lainnya klik di bawah ini. OK





selengkapnya...

Selasa, Februari 10, 2009

Jaksa “Ratu Suap”


Pernyataan bahwa Jaksa sebagai “ratu suap” disampaikan salah satu peserta LK II HMI MPO Se-Indonesia Bagian Utara di Gedung Eks DPRD Donggala (Senin/09/2). Hal itu disampaikan dengan alasan, banyaknya oknum-oknum Jaksa yang diindikasikan menerima suap, dalam penanganan tindak pidana khususnya kasus korupsi. Sehingga mustahil ada penegakan hukum jika Jaksa (Penegak Hukumnya) yang melakukan korupsi.
Hadir sebagai Narasumber dalam kegiatan LK II itu, Kepala Kejaksaan Negeri Palu, Aman Sumantrie, SH yang didampingi oleh Asistennya Agustiawan Umar, SH. Narasumber lain Ruslan, SH dari LBH Sulteng.
Para peserta cukup antusias dalam mengajukan pertanyaan dan komentar sehubungan dengan materi yang disampaikan para Narasumber.

Foto-foto lainnya dalam kegiatan tersebut, selengkapnya di bawah ini.






selengkapnya...

Senin, Februari 09, 2009

Sarasehan Pembentukan Serikat Tani


Untuk memperjuangan hak-hak dasar kaum tani, sekaligus melakukan refleksi atas makna kemerdekaan. Maka dari Jalan Kartini Sangele Pamona Utara Kabupaten Poso, dilaksanakan Sarasehan Pembentukan Organisasi Masyarakat Tani dengan tema “Mencari Makna Kemerdekaan Ditengah Perjuangan Hak-Hak Kaum Tani.”
Kegiatan ini Hasil Kerja sama LSM Wasantara, Radio Rasta FM dan LBH Sulteng pada tanggal 27-29 Agustus 2008 dengan Narasumber Kepala BPN Poso, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Badan Pekerja LBH Sulteng (Ruslan, SH)

Dalam kesempatan itu pula, masyarakat juga memanfaatkan keberadaan LBH Sulteng untuk mengkonsultasikan permasalahan hukum yang mereka hadapi. Ya.. semoga saja, masyarakat secara umum mendapatkan manfaat dari kegiatan ini, dalam mengetahui hak-hak dasarnya sekaligus berani tampil untuk memperjuangkannya.

Untuk Foto-Foto Anda dapat klik di bawah ini











selengkapnya...

PERLINDUNGAN KEBEBASAN BERSERIKAT PEKERJA


Oleh : Ruslan, SH

Fadlun (30 thn) seorang karyawan PT. Green Agro Palu Sulawesi Tengah harus mengalami PHK dari manajemen Perusahaan, lantaran dia membentuk Serikat Pekerja. Peristiwa itu terjadi sekitar medio November 2008, yang sempat mengundang reaksi dari Serikat Pekerja/Buruh yang ada di Kota Palu. Peristiwa PHK sepihak itu hanyalah merupakan sebahagian masalah yang dialami oleh pekerja, disamping masalah lain semisal penerapan upah dibawah standar UMP/UMK, masalah jaminan sosial, masalah diskriminasi dalam pekerjaan, masalah hak memperoleh cuti dan masalah lainnya.

Jika ditelisik lebih dalam, khusus hak pekerja untuk menjadi anggota serikat pekerja atau mendirikan serikat pekerja merupakan sebahagian hak asasi yang dimiliki oleh pekerja. Hak itu tidak bisa di halang-halangi pemenuhannya oleh siapapun juga. Jika penghalang-halangan itu terjadi, maka sesungguhnya itu merupakan pelanggaran terhadap hak asasi pekerja atau pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Dari itu pelaksana kekuasaan negara harus segera melakukan tindakan tegas. Tindakan yang dapat mengembalikan pemenuhan hak itu, tindakan yang menjamin agar hak normatif pekerja itu tidak terlanggar lagi oleh pihak pengusaha.

Perlunya Menjadi Anggota Serikat Pekerja
Masalah tersebut diatas hanya merupakan sebahagian dari masalah pekerja yang dilanggar hak normatifnya oleh pihak pengusaha. Masalah yang terjadi akibat kurang tegasnya tindakan pengawasan yang dilakukan Pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja. Sehingga untuk meminimalisir pelanggaran terhadap hak normatif pekerja, atau memperjuangkan hak normatif pekerja, perlu kiranya keterlibatan serikat buruh. Keterlibatan yang secara pro aktif berhubungan dengan semua pihak, guna memperjuangkan dan memberikan pencerahan kepada pihak terkait. Sebab salah satu unsur pihak yang berperan dalam mewujudkan hubungan industrial yang adil dan harmonis adalah keberadaan serikat pekerja.

Keberadaan serikat pekerja ini pada intinya ada, untuk kepentingan dari pada pekerja. Olehnya perlu bagi kaum pekerja untuk segera bergabung membentuk serikat pekerja di tempat kerja masing-masing. Pertama, serikat pekerja melindungi dan memperjuangkan perbaikan upah dan kondisi kerja. Tuntutan pekerja untuk memperoleh upah yang layak tidak akan didengar dan pekerja terpaksa harus menerima begitu saja apa yang ditawarkan pengusaha kalau masing-masing pekerja mengajukan tuntutan sendiri-sendiri dan tidak mau bergabung menjadi satu. Hanya bila pekerja mau bersatu dalam serikat pekerja/serikat buruh, barulah mereka dapat mendesak pengusaha untuk memberikan upah yang layak yakni sesuai standar upah UMP/UMK. Dengan bersatu dalam serikat pekerja/serikat buruh, pekerja dapat membuat perjanjian atau persetujuan kerja dengan pengusaha dan mengawasi agar pengusaha menepati perjanjian itu. Perjanjian atau persetujuan kerja ini juga dapat mencakup hal-hal yang berhubungan dengan hari-hari libur, uang lembur, tunjangan kesehatan, pensiun dan lain-lain.

Kedua, serikat pekerja/serikat buruh melindungi pekerja terhadap ketidakadilan dan diskriminasi. Seorang pekerja tidak akan sanggup berjuang sendirian melawan ketidakadilan di tempat kerja, misalnya, seandainya mereka dipecat secara semena-mena, atau diperlakukan seenaknya oleh atasan. Tetapi bila pekerja itu menjadi anggota serikat pekerja, serikat pekerja akan bertindak mewakili kepentingannya dan membantunya pada saat ia dikenai tindakan disiplin atau dipecat, serta memastikan agar pekerja itu mendapatkan perlakukan yang adil.

Ketiga, memperbaiki kondisi kerja dan melindungi lingkungan kerja. Pekerja menghadapi banyak resiko kesehatan dan keselamatan kerja. Karena itu, serikat pekerja bertanggung jawab menekan pengusaha agar memperbaiki kondisi kerja yang ada. Mewujudkan situasi kerja yang dapat menjamin keselamatan dan kesehatan kerja. Termasuk menekan Pengusaha untuk memberikan jaminan kesehatan (jaminan sosial) terhadap pekerja yang mengalami kecelakaan kerja. Jika tidak ada serikat pekerja, maka pekerja bisa jadi tidak diharaukan Pengusaha dalam memperoleh hak kesehatan dan keselamatan kerja.

Keempat, mengupayakan agar manajemen mendengarkan suara pekerja sebelum membuat keputusan. Dengan menyatukan kepentingan bersama, maka melalui serikat pekerja, pekerja memiliki kedudukan yang kuat untuk menekan dan mempengaruhi kebijakan dan keputusan yang dibuat perusahaan. Jadi, meskipun serikat pekerja terpisah dari manajemen perusahaan, serikat pekerja juga mempunyai hak untuk mengetahui rancangan keputusan yang akan diambil pihak manajemen. Selain itu, sebelum membuat keputusan-keputusan penting, pihak manajemen hendaknya juga mengkonsultasikannya terlebih dahulu dengan serikat pekerja.

Kelima, mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja. Hal ini merupakan bagian tugas serikat pekerja untuk berjuang melindungi pekerja-pekerja yang menjadi anggotanya agar mereka tidak sampai diputuskan hubungan kerjanya, dan untuk memastikan agar pekerja mendapatkan jaminan yang memadai untuk dapat terus bekerja. Hal ini jelas tidak mudah, khususnya pada masa-masa sulit yang diakibatkan oleh krisis ekonomi.

Landasan Normatif Serikat Pekerja
Perubahan yang paling signifikan dalam tonggak sejarah pergerakkan serikat pekerja di Indonesia adalah melalui Ratifikasi Konvensi Internasional Labour Organisation (ILO) No. 87 tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi. Konvensi ini diratifikasi Indonesia pada tanggal 9 Juni 1998. Dari sebelum diratifikasinya Konvensi ILO ini, terjadi “monopoli” serikat pekerja dan “larangan” berserikat untuk pegawai BUMN dan Pegawai Negeri Sipil.

Tujuan dari Konvensi ILO No. 87 tahun 1948 ini adalah untuk memberikan jaminan kepada pekerja/buruh dan pengusaha akan kebebasan untuk mendirikan dan menjadi anggota organisasinya, demi kemajuan dan kepastian dari kepentingan-kepentingan pekerjaan mereka, tanpa sedikitpun ada keterlibatan negara. Bebas mendirikan organisasi tanpa harus meminta persetujuan dari institusi publik yang ada; tidak adanya larangan untuk mendirikan lebih dari satu organisasi di satu perusahaan, atau institusi publik, atau berdasarkan pekerjaan, atau cabang-cabang dan kegiatan tertentu ataupun serikat pekerja nasional untuk tiap sektor yang ada. Bebas bergabung dengan organisasi yang diinginkan tanpa mengajukan permohonan terlebih dahulu. Bebas mengembangkan hak-hak pekerja tanpa pengecualian apapun, dikarenakan pekerjaan, jenis kelamin, suku, kepercayaan, kebangsaan dan keyakinan politik .

Konvensi ILO No. 87 tahun 1948 ini juga menjamin perlindungan bagi organisasi yang dibentuk oleh pekerja ataupun pengusaha, sehingga tanpa adanya campur tangan dari institusi publik, mereka dapat : Bebas menjalankan fungsi mereka, termasuk untuk melakukan negosiasi dan perlindungan akan kepentingan-kepentingan pekerja; Menjalankan AD/ART dan aturan lainnya, memilih perwakilan mereka, mengatur dan melaksanakan berbagai program aktifitasnya; Mandiri secara finansial dan memiliki perlindungan atas aset-aset dan kepemilikan mereka; Bebas dari ancaman pemecatan dan skorsing tanpa proses hukum yang jelas atau mendapatkan kesempatan untuk mengadukan ke badan hukum yang independen dan tidak berpihak; Bebas mendirikan dan bergabung dengan federasi ataupun konfederasi sesuai dengan pilihan mereka, bebas pula untuk berafiliasi dengan organisasi pekerja/pengusaha internasional. Bersamaan itu, kebebasan yang dimiliki federasi dan konfederasi ini juga dilindungi, sama halnya dengan jaminan yang diberikan kepada organisasi pekerja dan pengusaha.

Implementasi dari konvensi itu juga memastikan bahwa pegawai negeri dan pegawai BUMN/BUMD memiliki hak untuk kebebasan berserikat dan perlindungan hak berorganisasi. Sejalan dengan ratifikasi Konvensi ILO tersebut pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Undang-undang ini menjamin pada intinya menjamin : Hak pekerja untuk mendirikan dan menjadi anggota serikat pekerja; Hak serikat pekerja untuk melindungi, membela dan meningkatkan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya; dan Perlindungan terhadap pekerja dari tindakkan diskriminatif dan intervensi serikat pekerja.

Oleh karena itu, tindakan penghalang-halangan sampai pada tindakan PHK sepihak yang dialami oleh salah seorang karyawan seperti telah disebutkan di muka adalah merupakan bentuk pelanggaran nyata terhadap UU serikat pekerja yang dilakukan pihak manajemen perusahaan. Pelanggaran terhadap hak-hak normatif pekerja yang dijamin dalam konstitusi dan perundangan ketenagakerjaan.

Jika ditelisik lebih dalam lagi maka perusahaan yang bersangkutan dapat ditindak, dengan landasan normatif UU serikat pekerja/serikat buruh. Di dalam Pasal 28 disebutkan ”siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerj/serikat buruh dengan cara: (a) melakukan PHK, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi; (b) tidak dibayar atau mengurangi upah pekerja/buruh; (c) melakukan intimidasi dalam bentuk apapun; (d) melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.

Dari pasal ini telah menyebutkan pihak manapin itu dilarang untuk menghalang-halangi pembentukan serikat pekerja. Sehingga siapun yang melakukan penghalangan itu, dapat ditindak sesuai dengan isi Pasal 43. Pasal 43 merupakan penguatan bilamana melanggar pasal 28 “….dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000, (seratus juta) dan paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta).

Lantas bagaimana pelaksanaan atau penegakan dari aturan ini?. Untuk tahap awal, yang berwenang melakukan pengawasan sampai tahap penindakan adalah Pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja. Pemerintah mestinya menempuh jalur mediasi (non litigasi), agar perselisihan pekerja dan pengusaha dapat terselesaikan dengan baik. Agar ada titik cerah penyelesaian ataupun pencerahan atas kedua belah pihak. Jangan sampai ada “permainan” atau tindakan tidak tegas yang pada nantinya mengorbankan hak salah satu pihak yang bersengketa. Butuh ketegasan Pemerintah dalam menegakkah hukum ketenagakerjaan dalam pemenuhan hak-hak normatif buruh. Sebab jika bukan pemerintah yang menindak, lantas siapa lagi. Pemerintah dalam hal Dinas Tenaga Kerja di berikan tugas dan kewajiban untuk melaksanakan dan menyelesaikan semua itu.

Kemudian jika dalam penghalang-halangan pembentukan serikat pekerja itu ada indikasi tindak pidana, maka pihak Kepolisian harus segera bertindak. Kepolisian sebagai bagian dari negara, untuk menjamin pemenuhan hak normatif (hak asasi) setiap warga negara.

Penutup; Sebuah Harapan
Perusahaan dalam hal ini masih memposisikan serikat pekerja sebagai lawan tanding atau bagian yang dapat menghambat produktifitas perusahaan. Atau juga dianggap sebagai pihak yang menggangu aktivitas perusahaan. Padahal seyogyanya, perusahaan harus menempatkan serikat pekerja sebagai patner dalam mewujudkan iklim industrial yang adil dan harmonis. Sebab susah terwujud iklim industrial yang adil dan harmonis tanpa peran pihak serikat pekerja, perusahaan.

Disamping itu juga pemerintah harus senantiasa memaksimalkan perannya untuk pemenuhan hak-hak normatif buruh, bukan malah lebih terpengaruh dengan intervensi asing (kapitalis) yang memonopoli penguasaan sumber daya alam Indonesia. Peran pemerintah itu baik dalam hal pembinaan, pengawasan sampai penindakan perusahaan yang lalai atau melanggar pemenuhan hak normatif pekerja.

© Makalah ini sebagai bahan Dialog Interaktif di RRI Palu pada 21 Januari 2009, dengan disunting dari berbagai sumber, utamanya: http://unionism.wordpress.com dan http://pcspamkbogor.wordpress.com.
☺ Ruslan, SH Adalah Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan LBH Sulteng.

selengkapnya...

Jumat, Februari 06, 2009

LK II; Melahirkan Intelektual Tercerahkan


(Oleh : Ruslan)

LK II lagi!? Demikian mungkin pertanyaan yang ada dalam diri sebahagian kader HMI. Atau juga sebagian kader ada yang meresahkan training ini. Mungkin juga ada yang mempertanyakan buat apa buat LK II. Toh untuk mendapatkan kecerdasan itu, mediumnya tidak mesti LK II, bisa kegiatan lain yang lebih menyenangkan.
Demikianlah, nalar-imajinasi anak-anak HMI ketika melakukan sesuatu. Segala sesuatu dipertanyakan, bahkan pertanyaan itu sendiri yang ditanya. Segala hal membutuhkan penjelasan—diskusi. Mencari mana yang terbaik, argumentasi yang bisa diterima.

Memang LK II dianggap sebagai media peningkatan dan pematangan potensi kemanusiaan baik potensi intelektual, spiritual dan emosional. Harapannya setiap peserta dapat mengambil pelajaran sebanyak-banyaknya dari kegiatan ini. Bukan malah mendapatkan lelah yang tidak terkira, mengeluh-kesah. Sebab hampir setiap materi diharuskan membuat makalah. Jelasnya peserta yang “lambat loding” atau lambat mengetik akan terpesona dan mengakui ketidak-mampuannya melalui ladang pendarahan intelektual ini.

Masalah Lepasan LK II
Uraian ini bukan bermaksud melakukan gugatan terhadap pelaksanaan LK II itu, tetapi sebagai gambaran masalah yang sering dialami oleh kader setelah mengikuti training ini. Adapun masalah itu, diantaranya : pertama, lepasan training minim karya ilmiah. Dalam proses LK II, setiap peserta digembleng untuk menyelesaikan makalah begitu banyak dalam waktu yang singkat. Disana kesabaran diuji, ketekunan dipupuk, intelektual diasah. Sehingga dalam LK II, membuat makalah bukanlah hal yang susah, semua peserta dapat menghasilkan makalah, yang merupakan buah pikirannya sendiri.
Tetapi, kenyataan itu berbanding terbalik, ketika kader yang bersangkutan selesai training yakni menjadi malas menulis, atau tidak percaya diri dalam mempublikasikan tulisannya. Berbagai macam hal digeluti, tapi karya ilmiah tak kunjung datang. Bahkan paling celaka, jika karya ilmiah dalam bidang akademiknya sendiri semisal proposal-skripsi juga kadang tidak bisa menyelesaikan atau membuatnya.

Kenyataan ini sebenarnya tidak berlaku umum bagi setiap lepasan training. Kita patut juga bersyukur karena ada sebagian kader yang memaksimalkan potensi dirinya, dengan menghasilkan karya-karya ilmiah produktif. Sebelumnya tidak membuat karya ilmiah, namun setelah ikut training menjadi produktif dalam mengghasilkan karya ilmiah. Dari sinilah kita ingin berkaca, mempelajari rahasia keberhasilannya, untuk memaksimalkan potensi diri agar setiap lepasan training menjadi tidak asing dalam menghasilkan karya ilmiah.

Kedua, sombong, lupa diri dengan kemampuan vokalnya. Dalam proses training LK II, setiap peserta diasah kecerdasan vokalnya, guna berbicara di depan umum, mengemukakan pendapat-argumentasinya secara bertanggung jawab. Sehingga banyak sekali lepasan training, menjadi pembicara yang ulung dalam berbagai forum, handal dalam mengemukakan pendapat, memiliki argumentasi yang kuat.
Dari situlah menjadi pangkal kesombongan, menganggap diri paling pintar, paling mengetahui segala hal. Walaupun kebanyakan argumentasi yang dikemukakan hanya bersifat “pembenaran”.

Ketiga, lari dari barisan jamaah. Untuk tipe ini, boleh jadi mengikuti training hanya ingin mencari pengalaman. Hanya ingin merasakan, bagaimana rasanya ikut LK II. Setelah semua itu didapatkan, yang bersangkutan kembali lagi dengan aktivitasnya selama ini. Dia lupa atau pura-pura tidak tahu, tentang kewajibannya dalam berjuang bersama dalam jamaah HMI, untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat lain, khususnya pada kader sendiri. Walhasil yang bersangkutan, tetap sibuk dengan aktivitasnya selama ini, menjadi serba cuek-dengan jamaah.

Peran Training
Secara normatif HMI mendefenisikan training, baik LK I maupun LK II sebagai bagian perkaderan organisasi yang secara sistematis untuk mensosialisasikan dan mengamalkan nilai-nilai Islam. Serta mengaktualisasikan potensi kader sehingga tercapai tujuan HMI. Secara sederhana perkaderan HMI memiliki dua dimensi, yaitu; dimensi internal dan dimensi eksternal.

Dimensi internal, adalah pemahaman tentang training sebagai bagian perkaderan untuk wahana sosialisasi dan pengamalan nilai-nilai Islam ke dalam diri kader. Dalam pendekatan dimensi ini maka akan terlihat bahwa training HMI merupakan kanal transformasi nilai, atau ikhtiar menggeser nilai anutan para kader dari nilai jahiliyah menuju kearah nilai Islam. Perkaderan menjadi arena menawarkan nilai Islam sebagai nilai alternatif yang harus dipilih oleh kader HMI.

Sementara itu, dimensi eksternal perkaderan adalah menempatkan perkaderan sebagai ajang kontestasi dan ruang aktualisasi potensi diri kader. Dimensi ini memberi ruang yang lebih luas bagi pengembangan minat dan bakat seseorang yang berproses dalam perkaderan HMI. Perkaderan menjadi ajang mimikri kultural antara tradisi lokal dan nilai Islam yang menjadi muatan utama perkaderan HMI.
Nah, apakah selesai training setiap kader dapat memaksimalkan potensi kediriannya? Atau malah betah dalam “alam kegelapan” yang penuh dengan kebodohan dan kemerosotan moral. Pertanyaan ini untuk semua kader HMI.

Intelektual Tercerahkan Dalam Perjuangan HMI
Dalam segala level perkaderan termasuk training HMI, dikhususkan untuk melahirkan kader yang memiliki potensi kemanusiaan, yakni potensi intelektual, emosional dan spiritual. Dalam setiap aktivitas perkaderan, sesungguhnya merupakan aplikasi atau pembentukan kader. Guna melahirkan kader yang bertanggung jawab atas terbinanya tatanan masyarakat yang diridhoi Allah Swt.

Kader yang mampu mengidentifikasi sumber kerusakan sosial, kemudian terjun langsung sebagai aktor pembaharu perubahan sosial. Terjun sebagai generasi intelektual yang melakukan pencerahan dan pendampingan terhadap masyarakat. Generasi yang ikut merasakan penderitaan masyarakat, bukan malah bertahta dalam menara kemewahan.
Fungsi HMI sebagai organisasi perkaderan dan kemahasiswaan secara langsung menyisaratkan pada aktivitas utama organisasi ini, yaitu aktivitas pembinaan insan akademis (mahasiswa). Platform ini tersurat pada tujuan HMI. Berpijak dari fungsinya sebagi organisasi perkaderan posisi dan Peran HMI dalam dunia Kemahasiswaan dan Kepemudaan di tuntut untuk menjadi yang terdepan (pelopor) baik dari segi ide maupun pelaksanaan hasil pemikiran kadernya, karena pada hakikatnya setiap individu yang berilmu tentunya pula harus melakukan kerja kemanusiaan (amal) dalam bentuk pengabdian secara nyata.

Peran HMI dalam sejarah kehidupan bangsa dan negara indonesia merupakan sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan. HMI dengan sengaja telah ikut mewarnai sejarah indonesia dengan menjalankan fungsinya sebagai organisasi kader. Cukup banyak tokoh yang telah di lahirkan dari rahim training (perkaderan) HMI, baik itu yang berkiprah di tingkat nasional maupun lokal. Namun bukan tanpa menafikan sebuah proses alamiah yang terjadi pada manusia, dimana sesuai dengan fitrahnya manusia memiliki kecenderungan berbuat benar dan salah, banyak pula kader bangsa hasil didikan HMI yang menjadi faktor dan aktor terjadinya krisis multidimensi negeri ini. Kondisi seperti ini mengisyaratkan kepada HMI untuk senantiasa melakukan perbaikan-perbaikan kualitas dan kapasitas kadernya, sehingga seorang sarjana HMI mampu berfikir dan berbuat lebih dari kalangan yang tidak pernah mengikuti perkaderan HMI.

Penyebab munculnya permasalahan HMI dalam menjalankan fungsinya secara internal adalah adanya inkonsistensi dalam menjalankan sistem perkaderan di HMI. Permasalahan ini akhirnya berimbas kepada HMI dalam menjalankan perannya sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan. Tanpa adanya konsistensi yang kuat dalam melakukan peningkatan kualitas kader maka akan sangat mempengaruhi peran kejuangan HMI, hal ini juga akan mengakibatkan terjadinya efek domino terhadap HMI dalam mengembangkan missinya. Perjuangan dalam melakukan kerja kemanusian (amal) bagi seorang HMI apabila tanpa di bekali ilmu tentunya akan menjadi sebuah kesia-siaan.

Sebagai organ dari gerakan mahasiswa perjuangan misi HMI tidak akan lepas dari dunia kampus, perkembangan jumlah perguruan tinggi dan bertambahnya jumlah mahasiswa di indonesia sangat akan menunjang HMI di masa datang. Menjadi tantangan pula kemampuan HMI untuk bertahan dalam mengikuti seleksi alam persaingan antar oganisasi sejenis.
Peran HMI dalam melakunan rekayasa sosial kebangsaan masih sangat terbuka apabila HMI mampu melahirkan kader – kader terbaiknya di bumi Indonesia, rekayasa sosial HMI menuju terwujudnya tatanan masyarakat yang di ridhoi Allah SWT tidak akan terjadi apabila HMI hanya stagnan atau bahkan dalam kemunduran. Kegagalan HMI menjalankan misinya dalam menghadapi tantangan Globalisasi Kapitalisme (neoliberalisme) akan semakin nyata ketika HMI menjadi barisan kaum kalah dengan tanpa perlawanan dari sebuah pertarungan, atau bahkan apabila HMI hanya menjadi mur dan baut penguat sistem kerja mesin kapitalisme internasional. Kegalagalan seperti ini tentunya sangat tidak di harapkan oleh generasi penerus HMI, dimana tanggung jawab kader HMI bukan sekedar kepada dirinya dan organisasi HMI sendiri, tetapi kepada umat dan bangsa.
Apakah Lepasan LK II siap mengambil peran itu? Yakin Usaha Sampai.

selengkapnya...

Kamis, Februari 05, 2009

Tunjangan Profesi Guru Palu Dipotong Rp 1,6 Miliar


PALU, - Kejati Sulteng saat ini masih mendalami kasus pemotongan tunjangan profesi guru di Kota Palu yang jumlahnya mencapai Rp 1,6 miliar.

Jumlah tersebut merupakan akumulasi potongan dari tenaga pengajar yang berjumlah 4.096 orang sejak 2007 silam. Uang tunjangan setiap pengajar dipotong sebesar Rp 400.000.

Berita selengkapnya dari webblog LBH Sulteng, klik disini OK

selengkapnya...

HMI Palu Rayakan Milad 62 Dengan Seminar Pendidikan


Himpunan Mahasiswa Islam (HMI MPO) Cabang Palu pada Kamis, 5 Februari 2009 merayakan ulang tahun HMI ke 62 di Aula SMK Negeri I Palu. Perayaan itu dirangkaikan dengan Seminar Pendidikan dengan Tema "Kontroversi UU BHP; Antara Peningkatan Mutu dengan Komersialisasi Pendidikan". Seminar itu menghadirkan Narasumber Dr. Christian Tinjabathe, Arsyad Mardani, SE (PR II Untad), Dikjar Sulteng, dan Rektor Unismu dengan Peserta mulai dari mahasiswa, guru, pelajar, organisasi mahasiswa dan masyarakat, serta masyarakat umum.









selengkapnya...

Senin, Februari 02, 2009

Modus dan Aktor Kejahatan DAK


Analisis Bulan Januari 2008, Dengan Kutipan Berbagai Sumber

Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disebut DAK adalah dana yang bersumber dari pada APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu pendanaan kegiatan khusus yang merupakan bagian dari program prioritas nasional dan merupukan urusan daerah.
DAK Pendidikan dialokasikan untuk menunjang pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun yang bermutu. Dimana kegiatannya diarahkan untuk rehabilitasi ruang kelas dan pembangunan serta sarana sekolah.


Tanggungjawab Bupati/ Walikota
Dua dari delapan tugas dan tanggung jawab Bupati/Walikota berdasarkan Peraturan Menteri No.10 tahun 2008 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan DAK bidang Pendidikan tahun anggaran 2008 adalah, pertama, menyalurkan DAK bidang pendidikan dari rekening sekolah secara langsung dan utuh tanpa ada potongan maupun pajak. Kedua, bertanggungjawab terhadap pelaksanaan DAK dan menyampaikan laporan triwulan dan laporan akhir yang memuat laporan pelaksanaan kegiatan dan penggunaan DAK.

Modus Kejahatan
Modus kejahatan yang terjadi adalah pengambilalihan kegiatan swakelola dari Panitia Sekolah ke Dinas Dikjar secara sepihak terpusat dan satu pintu, kebijakan inilah yang menjadi awal rusaknya seluruh pelaksanaan program DAK, menariknya kadang kebijakan ini disponsori oleh Bupati dan DPRD Donggala, alias adanya indikasi permufakatan jahat.

Selanjutnya Bupati Donggala melakukan pemindah-bukuan dari rekening Kas Umum Daerah yang dikuasai oleh Bupati ke rekening Dinas Dikjar, yang semestinya secara mekanisme berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan No.04/PMK.07/2008 tentang pelaksanaan dan pertanggung jawaban anggaran transfer ke daerah tanggal 28 januari 2008.

Dimana dana tersebut langsung dipindah-bukukan ke rekening dinas dalam hal ini PPTK jelas merupakan penyimpangan Keuangan Negara yang dilakukan Bupati Donggala dan PPTK Dikjar Donggala, dan sangat jelas ini adalah indikasi perbuatan perencanaan.

Kemudian, setelah dana tersimpan atau dikuasai di rekening dinas, kemudian dana disalurkan ke rekening sekolah secara bertahap dan mendapat surat rekomendasi Kadis Dikjar, baru pihak Bank Pembangunan Daerah Donggala memindah-bukukan ke nomor rekening sekolah yang ditunjuk dalam surat rekomendasi terbuat baik jumlah maupun nomor rekening sekolah, dan tidak tanggung-tanggung dana tersebut diberikan di tahun 2008. Ini adalah membuat aturan sendiri berdasarkan selera penguasa, yang merugikan negara dan rakyat, dan inilah tahap pelaksanaan dari sebuah indikasi perencanaan jahat tersebut.

Semestinya aturan menegaskan bahwa seluruh kegiatan DAK pendidikan tahun 2008 berakhir pada 31 Desember 2008, manakala ada dana yang tidak terpakai sampai pada batas waktu tersebut harus disetor ke Kas Negara. Melakukan kegiatan uji petik atau menyeleksi penerbit buku yang siap melakukan pengadaan sarana sekolah berupa Buku dan alat peraga lainnya. Maka pada tanggal 11 November 2008 Kadis Dikjar melakukan pertemuan di Kampung Nelayan dengan 12 perusahaan Penerbit yang dianggap lolos uji petik yaitu : Gemini Lestari, Wahana, Sawemase, Widya Pustaka, Toko Buku Mandiri, Mata Alo Mandiri, Adyaksa, Proneotek, dan Global.

Perlu diketahui 12 perusahaan yang lolos uji petik satupun tidak ada sebagai penerbit buku. Yang berbuntut pada penemuan dilapangan banyak kegiatan pengadaan yang menyimpang dari spesifikasi, mark up serta tidak memiliki HAKI. Dilapangan ditemukan banyak buku yang isinya poto copi/hitam putih, sementara spesifikasi isi buku harus full colour, akibatnya murid tidak dapat lagi membedakan warna ayam, sapi, harimau dan monyet, juga tidak dapat membedakan jenis buah-buahan karena semuanya jadi berwarna hitam.

Juga, Bupati Donggala membuat laporan triwulan dan laporan akhir (format DAK 1 sampai pada format 6a-DAK dan 6b-DAK), diisi tidak sesuai dengan fakta di lapangan, alias ada indikasi membuat laporan palsu kepada Menteri Pendidikan Nasional.
Terakhir kacaunya kegiatan program DAK Pendidikan dilapangan karena Juknis DAK Pendidikan Dasar dan Menengah No.1675/C.C2/KU/2008 yang dikirim kepada Bupati Donggala tidak disosialisasikan kepada Kepala Sekolah dan Komite Sekolah penerima DAK, sementara ada anggaran sosialisasi 3% dari DAK Pendidikan yang diambil dari APBD sebagai biaya umum.

Dari uraian modus penyelewengan keuangan negara lewat program DAK Pendidikan, sangat jelas bahwa perencanaan dan penanggung jawab penyelewengan keuangan Negara dan penyelewengan jabatan adalah Bupati.

Tindakan Bupati dengan tidak menggunakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.10 Tahun 2008 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan DAK Pendidikan tahun Anggaran 2008 sebagai acuan dasar merupakan perbuatan yang memiliki konsekwensi jabatan yakni tidak loyal terhadap pemerintah pusat, menghambat program prioritas pembangunan nasional, telah terjadi perbuatan penyalahgunaan jabatan dan telah terjadi kerugian negara serta telah terjadi proses pembodohan terhadap seluruh rakyat di Kabupaten Donggala dan terjadi pembodohan kepada murid, guru dan komite sekolah (orang tua murid) sehingga degradasi kualitas pendidikan di Donggala.

selengkapnya...

Minggu, Februari 01, 2009

Dugaan Korupsi DAK Palu Dan Donggala

Oleh : Ruslan
(Berita Aktual di Bulan Januari 2009. Diolah Dari Berbagai Sumber)

Djikra Jadi Tersangka
PALU, setelah melakukan rangkaian pengusutan, akhirnya penyidik Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Reskrim Polda Sulteng menerapkan lima tersangka dugaan korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) di Dinas Pendidikan dan Pengajaran (Dikjar) Kota Palu 2006.


Tiga diantara lima tersangka adalah, Drs. Djikra Garontina (mantan Kadis Dikjar Palu), Mamnun AR S.Sos (Pemimpin Kegiatan merangkap sebagai Sekretaris II Pengelola DAK 2006), dan Isran A Umar (Kasubag Keuangan merangkap sebagai Sekretaris Pengelola DAK 2006). Sedangkan kedua tersangka lainnya adalah konsultan pelaksana proyek DAK tersebut.

Djikra Gorontina, Mamnun dan Isran A Umar ditetapkan sebagai tersangka setelah diperiksa oleh Tim Penyidik Tipikor. Sedangkan dua konsultan yang sudah berstatus sebagai tersangka juga akan diperiksa.

Kabid Humas Polda Sulteng AKBP Irfaisal Nasution mengatakan penyimpangan DAK 2006 sebesar Rp.7 milyar lebih itu terjadi pada tahap pelaksanaan. Dana yang diperuntukkan bagi rehab sekolah, pengadaan buku, dan moiler sekolah dilaksanakan tidak sesuai petunjuk teknis pelaksanaan (Juknis/Juklak) DAK.

“Yang seharusnya melaksanakan proek adalah pihak kepala sekolah. Tapi dalam realisasinya, yang melaksanakan proyek ini justru Dinas Pendidikan. Dinas menunjuk rekanan yang melaksanakan kegiatan,” jelas Irfaisal di Mapolda.

Menurut Kabid Humas, kemungkinan jumlah tersangka kasus ini bertambah. Tergantung pada bukti-bukti dan keterangan yang telah dikumpul. “Pemeriksaannya kan masih berjalan. Nanti kita lihat perkembanganna, apakah tersangkanya masih bertambah atau tidak?. Tuturnya.

Cudy Dukung Tipikor
Walikota Palu Rusdy Mastura mengaku mendukung langkah penyidik Tipikor Reskrim Polda Sulteng yang menetapkan Mantan Kadisdik Kota Palu Djikra Gorontina sebagai tersangka duaan korupsi DAK Dikjar Kota Palu.

Hal itu dikatakan Cudy sapaan akrab Rusdy Mastura di Kantor Walikota selasa (6/1). Menurutnya langkah Tipikor perlu dihargai sebagai upaya penegakan supremasi hukum.

“Yang menentukan orang bersalah atau tidak adalah pengadilan. Kita tinggal menghargai proses hukum yang sedang berjalan,” Terang Cudy.


Kaimuddin Jadi Tersangka
DONGGALA, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) Dana Alokasi Khusus (DAK) di Dinas Pendidikan dan Pengajaran (Dikjar) Kabupaten Donggala, Kaimuddin Ponulele, ditetapkan sebagai tersangka.

Penetapan tersangka itu seiring dengan ditingkatkannya penyelidikan kasus dugaan korupsi pengelolaan DAK 2008 di Dikjar Donggala ke tingkat penyidik, oleh Kejari Donggala. “Dari pemeriksaan, kasus itu dinyatakan layak untuk ke penyidikan. Jelasnya, silahkan tanya ke Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus (Kasipidsus)” terang Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Donggala Sudiharto.

DPRD Donggala Dukung Pemeriksaan
DPRD Kabupaten Donggala mendukung Kejari guna mengungkap dugaan penyelewengan DAK bidang Pendidikan TA 2008 di Donggala senilai Rp.26 milyar.termasuk memeriksa sejumlah pejabat yang diduga mengetahui secara persis DAK.

“Komisi D memberi apresiasi terhadap penyidik dalam melakukan tugas-tugasnya mengusut tuntas DAK 2008,” kata Ketua Komisi D, H. Aslan A Rembagau. Ia sepakat pula, Kejari selaku penegak hukum tidak setengah hati menunaskan kasus tersebut, terlebih Kejari telah menetapkan seorang tersangka yakni Kaimuddin Ponulele sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) DAK Donggala 2008. Termasuk selanjutnya adalah memeriksa Kepala Dinas Pendidikan Donggala Abdul Main Amir selaku pengguna anggaran DAK 2008. “Siapapun yang terlibat penyalahgunaan itu harus bertanggung jawab,” tegasnya .

Kadis Terlibat!
Dugaan korupsi DAK di Disdikjar Donggala, pemeriksaannya dilanjutkan oleh Kejari dengan meminta keterangan lima saksi, masing-masing tiga dari Disdikjar dan dua dari pihak rekanan.

Kepala Kejari Donggala, sudiharto diruang kerjanya,Senin (19/1) mengatakan bahwa pemeriksaan kepada lima orang, diantaranya Kadis Dikjar, Bendahara, dan dua orang dari pihak rekanan dari CV Cahaya Adhyaksa dan CV Wahana yang mesih berstatus sebagai saksi itu, merupakan tindak lanjut dari agenda pemeriksaan DAK 2008 yang melibatkan sedikitnya 20 orang.

Hasil pemeriksaan, Kadis Dikjar Abd Main Amir diperiksa oleh Kepala Seksi Intelejen, Sutikno, SH dan Bendahara Disdikjar, Isra diperiksa Kasi Pidsus, Suharto, SH. Tiga saksi lain diperiksa di ruangan lainnya. “Belum ada tersangka dari lima orang yang diperiksa, karena masih akan dikembangkan lagi,” Ujar Sudiharto.

Diduga Terlibat Bank Sulteng, Diperiksa
Diduga banyak terlibat dalam proses pencairan DAK ke kepala-kepala sekolah, Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sulteng ranting Donggala akan turut diperiksa. Demikian Kasi Pidsus Kejari Donggala, Suharto, SH usai memeriksa sejumlah saksi, selasa (20/1).

Pemeriksaan BPD Sulteng akan dlakukan setelah menggali lebih dalam keterangan dari pada rekanan dan kepala sekolah. Bagaimanapun pihak BPD Dongggala dianggap mengetahui adanya pemotongan dana sejumlah Rp.8,5 juta per sekolah. “Pihak Bank tetap akan kita periksa. Arahnya juga sudah kesana,” Ujar Suharto.

Dugaan korupsi DAK yang telah menetapkan tersangka Kaimuddin Ponulele yang merupakan Pejabat Pelaksana Teknis (PPTK), menurut Suharto, masih terus dilakukan pendalaman. Pemeriksaan yang dilakukan terhadap sejumlah rekanan belum dapat disimpulkan oleh pihak Kejari Donggala.

selengkapnya...