Jumat, Mei 01, 2009

Reformasi Pura-Pura Kejaksaan Agung


Oleh: Adnan Topan Husodo*
(Adnan Topan Husodo, adalah wakil koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW))

DARA dan Esther adalah dua nama jaksa yang saat ini ''popularitasnya'' demikian melambung, menandingi artis dan politisi. Sayang, ketenarannya bukan karena torehan prestasi mereka dalam menangani dan membongkar tindak kejahatan, melainkan sebaliknya. Gara-gara ingin memiliki alat komunikasi modern merek BlackBerry, kedua aparat penegak hukum itu telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Polda Metro Jaya karena dianggap menggelapkan dan menjual barang bukti kejahatan narkoba, yakni 343 butir pil ekstasi.


Perbuatan itu bukan hanya mencoreng muka kejaksaan yang tengah menata citra dirinya, tetapi juga sangat mencederai hukum. Mereka (aparat penegak hukum) yang seharusnya menegakkan ketertiban justru menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri. Tidak ada kata lain, kelak hukuman berlipat harus diberlakukan bagi Dara dan Esther jika terbukti bersalah, sebagaimana hukuman terhadap Urip Tri Gunawan yang harus menerima putusan 20 tahun penjara karena menerima suap.

Sesungguhnya desas-desus mengenai transaksi jual beli barang bukti yang dilakukan aparat penegak hukum sudah jauh-jauh hari santer terdengar. Tetapi, ibarat mengungkap borok sendiri, hampir mustahil kasus-kasus semacam itu dapat dibuka ke ruang publik. Terlebih, mereka yang melakukan adalah aparat penegak hukum yang tahu celah aturan dan memiliki otoritas penuh untuk menangani tindak kejahatan. Oleh karena itu, kita dapat berharap agar pengungkapan kasus Dara dan Esther akan menginspirasi munculnya kasus-kasus lain yang sejenis.

Jika Dara dan Esther sebagai jaksa rendahan saja bisa melakukan kejahatan keji semacam itu, pertanyaannya, bagaimana jaksa-jaksa lain yang lebih tinggi pangkat dan kedudukannya? Pertanyaan itu bukan hendak menggeneralisasi bahwa perangai semua jaksa sama. Tetapi, itu mengasumsikan bahwa setiap jabatan dan kekuasaan yang melekat pada diri jaksa berpotensi untuk disalahgunakan.

Maka, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana sebenarnya otoritas kejaksaan telah melakukan upaya-upaya pembenahan internal untuk memperbaiki pandangan dan kepercayaan publik yang merosot terhadap integritas personel kejaksaan? Apakah sistem internal kejaksaan telah memberikan daya dukung yang cukup untuk mengantisipasi dan memberikan respons cepat atas pelanggaran yang dilakukan personelnya?

Dari pemindaian secara umum terhadap situasi di atas, kita harus berani mengatakan bahwa pembenahan internal kejaksaan sebagai mandat reformasi belum membawa angin segar bagi lahirnya kultur aparat penegak hukum yang baru. Dengan kata lain, suasana perubahan yang didorong oleh elite kejaksaan masih kental dengan kepura-puraan dan tendensi seremonialnya jauh lebih menonjol. Maka, tak heran bila kasus Dara dan Esther muncul justru di tengah-tengah usaha kejaksaan membina jajarannya.

Sejauh mengamati proses hukum Dara dan Esther, sikap petinggi kejaksaan dalam menanggapi kasus tersebut juga setali tiga uang, kian mengkristalkan kepercayaan publik bahwa institusi kejaksaan belum banyak berubah. Bukan malah membantu, justru menghalangi. Begitu kira-kira kata yang tepat mewakili keputusan kejaksaan untuk tidak memberikan perpanjangan penahanan bagi kedua tersangka. Padahal, Polda Metro Jaya sudah menyurati jauh-jauh hari sebelum penahanan pertama habis masa berlakunya. Urusan lantas dibuat kian rumit karena untuk memeriksa dua jaksa tersebut muncul syarat baru yang diajukan, yakni perlu ada izin pemeriksaan dari jaksa agung.

Keputusan yang kontroversial sekaligus kontraproduktif tersebut tidak menguntungkan sama sekali bagi reformasi internal kejaksaan secara keseluruhan. Argumentasi apa pun yang dibangun oleh juru bicara kejaksaan justru memperkuat keyakinan publik bahwa semangat melindungi korps jauh lebih dihargai daripada mempermudah penanganan kasus penggelapan dan penjualan pil ekstasi oleh tersangka Dara dan Esther. Pendek kata, jika partai politik sering disebut bunker (tempat berlindung) para koruptor, sangat mungkin kejaksaan juga bisa menjadi tempat berlindung bagi jaksa pelaku kriminal.

Oleh karena itu, kasus Dara dan Esther adalah cermin kejaksaan. Mereka tidak dapat dikatakan sebagai anomali sepanjang tindakan yang seharusnya diambil oleh otoritas kejaksaan justru memiliki tujuan untuk memberikan proteksi kepada mereka. Kebijakan petinggi kejaksaan yang terkesan melemahkan proses hukum terhadap Dara dan Esther adalah masalah yang telah mendarah daging.

Wajar jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak terlalu banyak berharap dari kejaksaan. Barometernya bisa dilihat dari kampanye keberhasilan pemberantasan korupsi periode kepemimpinan SBY menjelang pemilu legislatif lalu. Sepanjang rekaman penulis terhadap kampanye pemberantasan korupsi SBY, gebrakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru lebih banyak dijadikan latar belakang kampanye, baik dalam bentuk iklan media maupun advertorial di televisi.

Hal itu sungguh ironis karena KPK adalah lembaga independen. Artinya, keberhasilan KPK tidak serta merta diklaim sebagai keberhasilan pemerintahan SBY karena setiap langkah dan keputusan yang diambil pimpinan KPK dalam memberantas korupsi tidak ada kaitan sama sekali dengan campur tangan SBY sebagai presiden. Bahwa Presiden SBY memberikan dukungan politik dalam bentuk tidak campur tangan dalam penanganan kasus-kasus korupsi di KPK adalah sesuatu yang bisa jadi benar. Namun, menguasai secara sepihak sepak terjang KPK sebagai langkah pemberantasan korupsi eksekutif adalah tidak etis secara politik.

Tetapi, hal itu lantas bisa dimaklumi karena tidak ada cerita heroik dari Gedung Bundar yang bisa dijadikan bahan kampanye Presiden SBY (Partai Demokrat). Padahal, dipandang dari sudut tatanan negara, kejaksaan adalah lembaga penegak hukum di bawah kendali top eksekutif (presiden). Logikanya sederhana, jaksa agung adalah jabatan setingkat menteri yang posisinya ditentukan oleh presiden. Dengan demikian, seharusnya jika ingin bersikap lebih elegan, keberhasilan kejaksaan dalam memberantas korupsi adalah keberhasilan pemerintahan SBY, bukan nyasar ke KPK.

Pertanyaan penutup, apakah dengan begitu Jaksa Agung Hendarman Supandji sebenarnya tidak lagi dapat diharapkan oleh presiden untuk mempercantik citra sehingga harus menumpang keberhasilan KPK dalam memberantas korupsi sebagai bahan utama kampanye SBY kemarin? Bisa jadi itu adalah sinyal yang positif untuk melakukan perombakan secara lebih serius di internal Kejaksaan Agung jika kelak SBY terpilih untuk kali kedua sebagai presiden RI. Saya kira, sudah selayaknya jaksa agung membaca tanda-tanda ini.

0 komentar: