Kamis, Oktober 30, 2008

Politik Pendidikan;Sebuah Orientasi Pendidikan Humanis

Oleh : Ruslan H. Husen

Pendidikan merupakan substansi dan urat nadi kemajuan bangsa dan negara. Tingkat sumber daya manusia menentukan produktifitas bangsa, di samping kepribadian kemanusiaan secara individu dan kolektif. Pendidikan akan memberikan arah dalam pembangunan peradaban sesuai dengan konteks yang diharapkan guna menemukan situasi kehidupan yang humanis.

Oleh karena itu, di setiap konstitusi negara bahkan program pemerintah seharusnya selalu memperhatikan aspek peningkatan mutu dan kemajuan pendidikan. Walhasil, sistem pendidikan menjadi elemen yang memperoleh perhatian serius oleh para pakar pendidikan. Sistem pendidikan itu, merekonstruksi sistem pendidikan klasik yang bersifat tetap, kaku dan stagnan menuju pada paradigma pendidikan yang revolusioner dan pro-perubahan demi menghasilkan peradaban yang memanusiakan dengan mengangkat derajat manusia pada tingkat penghormatan.

Sistem pendidikan dari waktu ke waktu seharusnya di kaji ulang, sebab bisa jadi sistem pendidikan warisan leluhur tidak lagi relevan untuk keadaan sekarang. Agar pendidikan tetap fungsional bagi kehidupan perlu dilakukan revitalisasi sistem pendidikan, karena pendidikan menyangkut permasalahan besar yang menyangkut nasib dan masa depan bangsa dan negara. Karena itu, tuntutan reformasi politik, ekonomi, sosial, HAM tidak akan membuahkan hasil yang baik tanpa reformasi sistem pendidikan.

Darinya itu pendidikan merupakan tempat untuk mendiskusikan masalah-masalah politik dan kekuasaan secara mendasar, karena pendidikan menjadi ajang terjalinnya hasrat, makna, bahasa dan nilai-nilai kemanusiaan. Proses interaksi itu terus berjalan secara terus-menerus, yang selanjutnya akan menghasilkan pengetahuan dan ilmu yang dapat di manfaatkan oleh kemanusiaan.

Selain itu, pendidikan berguna untuk mempertegas keyakinan secara lebih mendalam tentang apa sesungguhnya yang di sebut manusia dan apa yang menjadi impiannya. Keyakinan membutuhkan sistem penjelas yang dibingkai dalam epistemologi holistik agar dapat diterima dan memperoleh penjelasan rasional terhadap masyarakat. Demikian juga dengan idealitas yang menjadi cita-cita kemanusiaan akan di peroleh melalui sistematika pendidikan dan dapat diterapkan oleh siapa-saja.

Cita-cita kemanusiaan itu, yang telah dirumuskan dengan idealnya akan membutuhkan suatu realisasi sebagai bentuk utopia. Olehnya proses pencapaian cita-cita itu di namakan perjuangan, yang tidak jarang dalam prosesnya kadang berhadapan dengan tantangan dan rintangan.

Sebagai sebuah dasar untuk melakukan perubahan, pendidikan merupakan tindakan yang menggabungkan antara rekayasa politik dan upaya untuk menciptakan berbagai alternatif baru. Pendidikan juga menjadi ajang untuk menuangkan komitmen yang tinggi dari para pendidik guna menciptakan sistem politik yang lebih emansipatif, bukan sekedar memenuhi tuntutan pedagogis semata.[1]

Oleh karena itu sistem pendidikan yang di bentuk dengan tujuan humanis-transenden, terlebih dahulu mendapat legalitas dan dukungan dari pelaksana kekuasaan negara yang memiliki posisi strategis dalam melahirkan kebijakan guna pencapaian tujuan pendidikan itu. Di samping itu, peran serta sosial masyarakat juga sangat menentukan sebagai bentuk kerja sama harmonis guna memanusiakan manusia dan membebaskan dari ketertindasan lewat medium sistem pendidikan.

Fenomena Pendidikan
Pendidikan idealnya memanusiakan—manusia, menempatkannya pada sisi penghormatan berdasarkan fitrah yang diberikan oleh Tuhan. Namun realitas pendidikan saat ini sungguh menyedihkan. Pendidikan menjadi medium untuk mencari keuntungan, sehingga substasi pendidikan seolah menjadi alat untuk menguntungkan sebahagian pihak.

Logika pendidikan demikian seperti hubungan nasabah dengan bank, yang oleh Paulo Freire menyebutnya dengan pendidikan gaya bank. Peserta didik (mahasiswa, siswa) sebagai nasabah dan pendidik (guru, dosen) di posisikan sebagai pihak bank. Untuk terjalin dengan baiknya hubungan, nasabah harus menyetor sejumlah uang sesuai ketentuan yang di tetapkan oleh pihak bank. Sementara pihak bank melakukan pelayanan sesuai dengan kepentingan transaksi, adapan kegiatan transaksi di luar hal itu tidak terlalu di hiraukan.

Walhasil pendidikan dengan metode kerja bank itu, menjadikan peserta didik sebagai objek. Sehingga darinya menjadi sumber pendapatan atau ladang deposito. Depositor atau investor adalah guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan dan berkuasa, sementara depositonya adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Anak didik—pun lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya kelak.

Tugas guru dalam proses pendidikan adalah dengan menceritakan realitas-realitas, seolah-olah sesuatu yang tidak bergerak, statis, terpisah satu sama lain, dan dapat diramalkan. Akhirnya guru cuma “mengisi” para murid dengan bahan-bahan yang dituturkan, padahal itu terlepas dari realitas dan terpisah dari totalitas. Pendidikan yang bercerita mengarahkan murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa yang diceritakan kepadanya. Pendidikan menjadi kegiatan “menabung”, ibaratnya para murid adalah celengannya dan para guru adalah penabungnya. Akhirnya, murid hanya beraktivitas seputar menerima pengetahuan, mencatat, dan menghafal.

Jadi pendidik adalah subyek aktif, sedang anak didik adalah obyek pasif yang penurut, dan akan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang diajarkan kepada mereka, sebagian objek ilmu pengetahuan teoritik yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat di mana guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan dihapalkan.[2]

Walhasil, karena guru yang menjadi pusat segala pengetahuan dan ilmu, maka merupakan hal yang lumrah ketika murid-murid kemudian mengidentifikasikan diri seperti gurunya sebagai prototip manusia ideal yang harus ditiru dan diidolakan dalam segala hal. Sementara sistem pendidikan menjadi pendukung status-quo sepanjang masa, bukan menjadi kekuatan penggugah ke arah perubahan dan pembaharuan.

Sehingga, akibat sistem pendidikan yang seperti itu akan menjadikan peserta didik tidak akan bisa lebih pintar dan cerdas dari pendidiknya. Sebab peserta didik hanya diarahkan secara terus-menerus sebagai objek yang selalu harus mengingat dan menghafal materi yang diberikan pendidik kepadanya. Jiwa kekritisan peserta didik di pangkas, yang menjadikannya terus terkungkung dalam lingkaran ketidak—percayaan diri. Hal ini menjadikan mutu pendidikan dari periode apabila terus di pertahankan akan menurunkan mutu pendidikan.

Fenomena lain yang menghantui pendidikan seperti yang disebutkan , yakni gejala komersialisasi pendidikan atau perdagangan ilmu di lembaga pendidikan formal (kampus atau sekolah). Gejala semacam ini memang sudah lama ada, misalnya lembaga pendidikan mewajibkan peserta didik untuk membayar sejumlah diktat atau pungutan-pungutan liar. Sehingga lembaga pendidikan itu sering kali dianggap menguras dan mengeksploitasi.[3]

Dalam hal ini, peran institusi pendidikan yang menutup mata akan kejadian komersialisasi pendidikan, dengan tidak adanya tindakan tegas dalam menghentikan praktek ilegal itu. Fenomena ini memang menjadi dilema, di satu sisi yakni tuntutan untuk mewujudkan sistem pendidikan yang humanis, sementara di sisi lain tuntutan akan kebutuhan dan kepentingan pribadi yang lebih menguasainya. Walhasil mengorbankan kepentingan masa depan pendidikan humanis dengan segala wujud idealnya di atas tuntutan serakah dan arogan guna meraih sejumlah keuntungan dan kesenangan.

Kesan lain dari pendidikan adalah tindakan lembaga pendidikan formal yang membius. Cap ini telah melekat sejak lama. Akibat buruknya, lembaga itu hanya disikapi sebagai lahan cari bendera (ijazah) untuk mengikatkan diri atau bahkan menghambakan diri, tidak perduli kepada siapa—pun, sehingga kepribadian tergadai hanya untuk mendapatkan keuntungan materi (uang).

Ketidak-mampuan lembaga pendidikan formal dalam mengarahkan subjek pendidikan untuk menghasilkan peradaban yang humanis, dengan telah tercorengnya lembaga pendidikan formal itu dengan sejumlah fenomena kerusakan sistem pendidikan meniscayakan pandangan masyarakat bahwa darinya hanya sebagai ladang mencari ijazah yang tidak lebih dari itu. Penurunan fungsi lembaga pendidikan formal kini oleh sebahagian masyarakat, diakibatkan oleh fenomena pendidikan yang telah menhancurkan bangun—dasar pendidikan itu guna mewujudkan peradaban yang humanis.

Anggapan lain bahwa lembaga pendidikan formal sebagai pemegang monopoli atas pengetahuan dan ketrampilan telah menjadi mitos yang menghantui masyarakat. Dari sinilah lembaga pendidikan formal menjadi satu-satunya media untuk memperoleh pengetahuan dan ketrampilan. Seolah ada anggapan, kalau tidak sekolah atau tidak kuliah di lembaga formal tidak akan memiliki kemampuan pengetahuan dan ketrampilan. Walau—pun kondisi itu di temani oleh realitas buruknya dunia pendidikan formal dengan fenomena pendidikan klasik yang di hiasi oleh eksploitasi dan pemerasan terhadap kebebasan dan kreatifitas peserta didik.

Pendidikan Humanis
Pendidikan humanis merupakan model pendidikan yang memanusiakan manusia, dengan membebaskan dari ketertidasan. Dehumanisasi adalah bentuk ungkapan nyata dari proses alienasi sebuah proyek utopia dalam arti yang positif untuk kaum tertindas dan terjajah. Darinya mengimplikasikan sebuah aksi yang dilakukan oleh mereka sendiri dalam kehidupan sosial untuk melanggengkan status quo atau untuk mengubah dunia secara radikal.

Untuk menciptakan pendidikan yang humanis, sekali lagi dibutuhkan aksi sosial untuk menjaga dan memodifikasi realitas yang ada. Dengan ini akan membantah ilusi kaum idealis dan angan-angan pendidikan humanis yang tidak disertai dengan transformasi dunia yang tidak adil dan menindas.[4] Aksi sosial itu merupakan kesadaran yang lahir dari hati-hati masyarakat guna melakukan perubahan sosial atas keterpurukan dan kebobrokan yang telah mereka derita.

Pendidikan humanis menempatkan manusia sebagai subjek baik pendidik maupun peserta didik sementara realitas dijadikan sebagai objek untuk melakukan pengujian terhadap ilmu dan pengetahuan yang sedang dikaji. Olehnya itu pendidikan harus berorietasi pada pencerdasan manusia secara utuh guna menemukan dan menciptakan peradaban yang humanis. Konsepsi-konsepsi itu merupakan penalaran epistemologi yang holistik manusia berdasarkan realitas kehidupan, yang selanjutnya tidak ada nilai eksploitasi, penindasan dan pemerasan di dalamnya.

Tujuan pendidikan humanis merupakan penalaran yang menyangkut sistem nilai dan norma-norma dalam suatu konteks kebudayaan, baik dalam mitos, kepercayaan dan religius, filsafat, ideologi. Dari nilai-nilai humanis itu, menjadikan pendidikan mengemban tugas untuk menghasilkan generasi yang lebih baik, manusia yang memiliki kepribadian secara utuh dan berbudaya luhur. Substasinya terus mengangkat derajat manusia serta membebaskannya dari penindasan dan eksploitasi yang merusak tatanan sosial.

Olehnya itu, pendidikan merupakan proses mendidik yaitu suatu proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungan sekitarnya, sehingga akan menimbulkan perubahan dalam sikap dan tingkah lakunya.[5] Perubahan individual sebagai bukti kesadaran kritis dalam memandang realitas sosial yang memiliki orientasi holistik bersama dengan individu-individu lainnya.

Hakikat pendidikan merupakan upaya untuk membuat perubahan dari jelek atau kurang baik, ke arah yang lebih baik, bukan malah menyesatkan k lembah kebodohan. Pendidikan punya etika dan bukan melecehkan etika. Pendidikan tidak kenal usia, tidak kenal kasta, golongan, tidak kenal kaya—miskin—Semua manusia berhak mendapatkan perlakuan yang sama dalam proses pendidikan.[6]

Olehnya tujuan pendidikan harus mengandung nilai-nilai sebagaimana disebutkan oleh Uyoh Sodullah[7] yakni, pertama, memberikan kesadaran, pengetahuan dan kemampuan secara maksimal kepada individu maupun kelompok, untuk dapat hidup mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik. Dari kesadaran tersebut menimbulkan sikap kritis terhadap realitas sosial, yang terbingkai dalam rangka perbaikan tatanan masyarakat. Bahwa masyarakat merupakan objek pengujian terhadap segala ilmu pengetahuan yang di dapatkan, baik oleh pendidik maupun peserta didik. Darinya prosesi belajar turus berlangsung, yang subjek satu dengan subjek yang lain saling membantu, dalam menghadapi realitas (objek) kehidupan manusai.

Bahwa prosesi belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa—raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif dan psikomotorik.[8] Olehnya belajar merupakan suatu rangkaian yang di lakukan dengan melibatkan unsur jiwa dan raga. Gerak raga yang ditunjukkan harus sejalan dengan proses jiwa untuk mendapatkan perubahan. Perubahan itu, bukan perubahan fisik tetapi perubahan jiwa dengan masuknya kesan-kesan baru. Oleh karena itu perubahan sebagai hasil dari proses belajar adalah perubahan jiwa yang mempengaruhi tingkah laku seseorang. Perubahan yang dimaksud tentu saja perubahan yang sesuai dengan perubahan yang di kehendaki manusia berdasarkan fitrah kemanusiaannya.

Kedua, pendidikan harus memberi kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya dan kehidupan ekonomi dengan memberinya pendidikan dasar yang sama. Bahwa pendidikan merupakan hak semua orang, tanpa di batasi oleh strata sosial dan tingkat ekonomi, yang hal itu hendaknya di topang oleh kebijakan pemerintah yang berpihak kepada rakyatnya. Artinya pemerintah sebagai pemegang kebijakan pertama, memiliki peranan yang efektif guna memberikan dan mendorong masyarakat untuk melaksanakan pendidikan yang layak.

Dengan itu, kesempatan memperoleh pendidikan dapat di nikmati oleh setiap orang yang di dalamnya menentang kapitalisme pendidikan atau menjadikan lembaga pendidikan sebagai ladang mencari keuntungan dengan meng-ekspoloitasi peserta didik. Di dalamnya juga menentang penindasan dan pemerkosaan hak-hak kreatif peserta didik, yang selanjutnya mereka dapat lebih mengembangkan potensi kemanusiaannya guna menghasilkan peradaban yang humanus.

Ketiga, pendidikan akan menjamin pewarisan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pendidikan sebagai media transformasi kebudayaan yang humanis, meniscayakan tersalurkannya beban-beban intelektual dari zaman ke zaman. Prosesi itu akan terus berjalan berdasarkan situasi dan kondisi yang mengitarinya, sehingga menghasilkan kebudayaan yang lebih tinggi dengan menempatkan manusia pada tempat terhormat berdasarkan fitrah kemanusiaan.
Permasalahan pendidikan suatu generasi akan terus dicarikan solusi terbaiknya hingga berakhirnya generasi tersebut, yang selanjutnya akan dilanjutkan oleh generasi baru. Prosesi itu tetap mengutamakan nilai-nilani kemanusiaan yang humanis dengan berorientasi pada melahirkan peradaban dengan tatanan sosial masyarakat adil dan makmur.

Secara internal generasi-generasi zaman memiliki tanggung jawab kemanusiaan secara universal dalam mewujudkan transformasi sosial ke arah pro-perubahan. Olehnya Andrias Harefa menyebutkan adanya tiga tugas dan tanggung jawab kemanusiaan,[9] yakni : Pertama, menjadi manusia pembelajar di sekolah dan universitas kehidupan. Manusia pembelajar diartikan setiap orang yang bersedia menerima tanggung jawab untuk melakukan pengenalan hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya dengan selalu berusaha mencari jawaban yang lebih baik. Serta berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualkan segenap potensi diri, mengekspresikan dan menyatakan dirinya seutuhnya, dengan cara menjadi dirinya sendiri yang utuh.

Kedua, menjadi pemimpin bagi komunitas—kelompok—organisasinya. Pemimpin merupakan tokoh yang memiliki keutamaan-keutamaan dibandingkan dengan individu yang lain. Keutamaan itu menyangkut ilmu dan pengetahuan dalam memandang Tuhan, manusia dan alam semesta yang terbingkai dalam bangun ideologi. Karena keutamaan itu yang didapatkan dalam interaksi horizontal dan vertikal dalam masyarakat, menjadikan ia layak duduk sebagai pemimpin. Hak kepemimpinan ada pada setiap individu, tetapi meraka yang memiliki keutamaan ilmu dan pengetahuan dalam bingkai ideologi holistik-lah yang berhak mendapatkannya.

Pemimpin itu akan merumuskan konsepsi-konsepsi dalam menggerakkan anggotanya untuk orientasi tujuan bersama mewujudkan peradaban yang humanis-transenden. Sehingga pemimpin menjadi tokoh kharismatik di tengah masyarakat yang berkewajiban mencarikan solusi atas penyakit yang di derita masyarakat dengan disertai tindakan pendampingan. Pendampingan meniscakan turut meleburnya unsur penggerak perubahan di masyarakat yang disertai dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat.

Ketiga, menjadi guru bagi sebuah bangsa, bagi bangsa-bangsa, dan bagi seluruh umat manusia. Konsepsi perubahan guna mewujudkan peradaban yang humanis pertama digerakkan oleh tokoh kharismatik. Tokoh kharismatik ini adalah guru setiap zaman yang melintasi ruang, dalam memberikan solusi atas penyakit masyarakat. Olehnya itu, menjadi guru bangsa atau tokoh kharismatik tidak-lah di peroleh dengan sendirinya, melainkan dengan pendidikan yang telah dibina dan ditempa sejak awal dengan menggunakan medium alam semesta dan realitas sosial sebagai objek laboratorium.

Demokratisasi Pendidikan
Bersamaan dengan bergulirnya otonomisasi dan demokratisasi, wacana demokratisasi pendidikan ikut juga bergulir untuk daerah-daerah. Sehingga berdasarkan undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang telah diperbaharui dengan undang-undang nomor 32 tahun 2004 yang meletakkan sektor pendidikan sebagai salah satu bidang yang diotonomisasikan bersama sektor-sektor pembangunan yang berbasis kedaerahan lainnya seperti kehutanan, pertanian, koperasi dan pariwisata. Otonomi sektor pendidikan kemudian di dorong pada sekolah dalam hal ini kepala sekolah dan guru agar memiliki tanggung jawab besar dalam peningkatan kualitas proses pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hasil belajar. Sementara di sisi lain pemerintah daerah memberikan berbagai fasilitas pendidikan, baik sarana, prasarana, ketenagaan, maupun berbagai program pembelajaran yang direncanakan oleh sekolah.[10]
Bersamaan dengan itu, pemerintah juga telah mengeluarkan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yang salah satu isu penting yang di usung adalah pelibatan serta masyarakat dalam pengembangan sektor pendidikan (pasal 9) bahwa masyarakat berhak untuk berperan serta dalam perencanaan dan evaluasi program pendidikan. Pelibatan masyarakat itu agar dinamisasi dan harmonisasi pembelajaran dapat lebih berkualitas dengan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang lebih humanis.

Gagasan demokratisasi ini didasari oleh pertimbangan, yakni memperbesar partisipasi masyarakat dalam pendidikan, sehingga tidak sekedar dalam konteks pembayaran retribusi saja, tetapi juga dalam pembahasan dan kajian sekolah tentang kompetensi peserta didik yang akan dihasilkan. Selanjutnya demokratisasi pendidikan ini juga dikembangkan dengan pelibatan peserta didik secara aktif dalam proses pembelajaran, yang juga mereka diberikan kesempatan untuk menentukan aktivitas belajar yang akan mereka lakukan bersama-sama dengan pendidik. [11]
Pelibatan peserta didik secara aktif dalam membahas perencanaan operasional pengembangan proses belajar, akan membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, dinamis dan penuh keceriaan, karena aspiratif dan sesuai dengan permintaan para pembelajar.

Setidaknya dalam demokratisasi pendidikan yang melibatkan secara penuh tanggung jawab lembaga pendidikan formal, ada tiga aspek yang menjadi pusat perhatian seperti disebutkan Dede Rosyadi[12] yakni, pertama, demokratisasi dalam penyusunan, pengembangan dan implementasi kurikulum. Proses penyusunan, evaluasi dan pengembangan kurikulum yang dilaksanakan dalam prinsip demokratisasi pendidikan dicoba untuk diurai secara detail. Demikian pula dengan kurikulum operasional dikembangkan dengan mempertimbangkan kemampuan siswa sendiri, sehingga ilmu ini dapat diuji kebenaran implementatifnya dengan pengalaman-pengalaman empirik di lapangan.

Kedua, demokratisasi dalam proses pembelajaran sejak penyiapan program pembelajaran sampai implementasi proses pembelajaran dalam kelas dengan memberikan perhatian pada aspirasi siswa, tidak mengabaikan mereka yang lamban dalam proses pemahaman dan tidak merugikan mereka yang cepat dalam pemahaman bahan ajar. Yakni pendidik dan peserta didik membahas apa yang akan mereka pelajari pada hari tertentu dan jam tertentu, sehingga proses pembelajaran menjadi sangat aspiratif, menyenangkan dan peserta didik—pun akan merasa puas, karena mereka merasa dihargai.

Ketiga,demokratisasi perubahan dengan didukung dengan pola pengelolaan lembaga pendidikan yang sesuai. Demokratisasi dalam kurikulum dan proses pembelajaran tidak akan berjalan dengan baik bila pola pengelolaan sekolahnya otokratis, sentralistik dan kurang aspiratif serta kurang pelibatan mitra horizontal lembaga pendidikan. Usulan-usulan kreatif pendidik akan selalu tersandung oleh aturan birikrasi dan kekuasaan vertikal. Olehnya demokratisasi kurikulum dan pembelajaran harus diimbangi dengan demokratisasi dalam pengelolaan dan manajemen lembaga pendidikan, dengan pelibatan seluruh unsur dalam organisasi tersebut, bahkan dalam batas-batas tertentu, dan pengembangan kurikulum, serta upaya-upaya meng-implementasikan berbagai program dan gagasan cerdas pengembangan lembaga pendidikan.

Penutup
Proses belajar merupakan prosesi pembebasan. Proses belajar itu bukannya mengungkung atau justru memenjarakan proses berfikir dari peserta didik. Ini berarti proses belajar bukan hanya dipahami sebagai proses transfer ilmu pengetahuan dari buku-buku atau pun dari pendidik tetapi lebih merupakan proses penyadaran bahwa para peserta didik mempunyai kemampuan untuk belajar sendiri dan mandiri. Darinya akan lahir kesadaran untuk menemu-kenali dirinya sendiri dan lingkungannya.

[1]Paulo Freire, Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Pustaka Pelajar bekerja sama dengan ReaD, Yogjakarta, 2002, hlm 6.
[2] Ibidt., hlm xi.
[3] Syafinuddin Al Mandary, Rumahku Sekolahku, Pustaka Zahra, Jakarta, 2004, hlm 3.
[4] Paulo Freire, Op Cit, hlm 190.
[5] M. Sobry Sutikno, Pendidikan Sekarang dan Masa Depan, NTP Press, Mataram, 2006, hlm 3.
[6] Ibid., hlm 9.
[7] Uyoh Sodullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, Alfabeta, Bandung, 2003, hlm 59.
[8] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm 13.
[9] Andrias Harefa, Sekolah Saja Tidak Pernah Cukup, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, hlm 71-72.
[10] Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, Kencana, Jakarta, 2004, hlm xi.
[11] Ibid., hlm xii
[12] Ibid., hlm xiii.

0 komentar: