Kamis, Oktober 30, 2008

Wajah Buruk Dunia Pendidikan

Oleh : Ruslan H. Husen, SH

Hak setiap orang atas pendidikan formal atau non-formal merupakan salah satu dari wajah hak asasi manusia (HAM). Pendidikan dalam standar HAM mempunyai makna luas dan berhubungan dengan hak-hak asasi yang lainnya. Seperti, hak atas pendidikan berkaitan dengan hak atas kesehatan: perlindungan negara terhadap hak setiap orang atas kesehatan termasuk memberikan pendidikan kepada anak-anak, orang tua tentang pentingnya kesehatan, bahaya penyakit. Sebaliknya, pelanggaran hak atas pendidikan ini dapat juga diakibatkan dari pelanggaran HAM yang lain. Sebagai contoh, pelanggaran atas hak ekonomi masyarakat mengakibatkan penurunan pendapatan ekonomi penduduk, yang berimbas pada penurunan kualitas pendidikan keluarga, anak-anak.

Negara, utamanya pemerintah, wajib menyusun program Nasional dan implementasi hak atas pendidikan bagi setiap orang tanpa diskriminasi, pembedaan apa pun. Standar HAM bahkan memberikan perhatian khusus hak atas pendidikan bagi orang cacat. Pada dasarnya, jika Negara memenuhi pendidikan untuk warga negarannya merupakan penanaman modal (investasi) yang paling baik dan jitu untuk meningkatkan harkat dan martabat sebuah bangsa – termasuk investasi dalam upaya peningkatan ekonomi.

Kewajiban Negara mencakup juga pendidikan publik tentang para orang cacat – agar kelompok masyarakat ini terlepas dari prasangka buruk dan hukuman sosial dari publik. Perhatian khusus, juga diberikan oleh standar HAM kepada para orang tua, usia lanjut. Ditahun 1991, Mahkamah Umum PBB bahkan mengadopsi Prinsip-prinsip PBB untuk Orang Usia Lanjut. Dalam prinsip ini dimuat hak para orang tua untuk mendapatkan akses pendidikan dan aktivitas kebudayaan.

Komersialisasi Pendidikan
Lalu bagaimana realitas penerapan nilai-nilai dan peraturan-peraturan pelaksanaan pendidikan oleh negara? Yang nampak adalah, minimnya akses pendidikan, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya mutu pendidikan, terbatasnya sarana pendidikan, disorientasi kurikulum, rendahnya kesejahteraan guru, komersialisasi pendidikan, tingginya angka buta huruf, minimnya subsidi pendidikan dan membludaknya sarjana yang menganggur cukup menggambarkan kondisi dunia pendidikan kita yang buruk.

Kenyataan ini tidak terlepas dari praktek dominasi imperialisme dan negara sebagai alat kekuasaan (the rulling classes) imperialisme. Dominasi imperialisme yang berkolaborasi dengan klas-klas yang berkuasa dalam negeri menjadikan pendidikan layaknya barang dagangan. Pendidikan tidak lagi diartikan sebagai media untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kehidupan masyarakat dari keterbelakangan melainkan hanya sebagai alat untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya.

Lepasnya tanggung jawab negara dan penetrasi modal asing telah merubah pendidikan sebagai komoditi bisnis yang mendatangkan keuntungan bagi pengelola jasa pendidikan. Sementara output pendidikan, tidak mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Ini terlihat jelas dengan dimasukkannya pendidikan dalam General Agreement On Trade in Service (GATS). Dimana dalam GATS, pendidikan masuk kedalam sektor jasa, selain 11 bidang jasa lainnya. Dengan begitu orientasi pendidikan telah bergeser dari proses pelayanan negara terhadap rakyat menjadi industrti disektor jasa yang berorientasi semi profit.
Pendidikan yang merupakan tanggung jawab negara terhadap rakyatnya sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan Konvenan Hak-hak Ekosob ternyata tidak terbukti. Pemerintah sebagai pelaksananya justru terkesan berusaha melepaskan tanggung jawabnya. Sektor pendidikan hingga kini belum mendapatkan prioritas utama dalam kebijakan-kebijakan negara. Bahkan kebijakan-kebijakan tersebut cenderung tidak pernah berpihak pada kepentingan rakyat.

Setiap kebijakan pemerintah di sektor pendidikan selalu ditujukan untuk kepentingan para pemodal (imperialis). Dimulai dari penghapusan subsidi sosial untuk rakyat guna mempermudah jalan penguasaan terhadap sektor publik dari pemerintah ke tangan swasta atau asing melalui jalan privatisasi. Kebijakan mengurangi subsidi terhadap sektor pendidikan seperi tertuang dalam Letter of Intent (LOI) pemerintah RI dengan IMF pada tahun 1999, mengakibatkan biaya pendidikan naik setiap tahunnya
Hal ini didukung dengan penetapan PP No.60 dan 61 Tahun 1999, UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003, SK Mendiknas No. 045/2002 tentang kurikulum pendidikan tinggi, dan peraturan pemerintah tentang status BHMN bagi Perguruan Tinggi Negeri ( PP No.152,153,154 Tahun 2002). Sementara itu untuk pendidikan dasar kebijakan pemerintah mengenai program BOS belum dapat dilihat hasilnya secara maksimal bahkan program BOS ini malah berpotensi menjadi celah untuk terjadinya praktek-praktek korupsi.

Sesuai dengan PP No. 60 Tahun 1999 dan PP No.61 Tahun 1999, institusi pendidikan tinggi negeri (PTN) berubah statusnya dari lembaga yang berada dibawah Depdiknas menjadi sebuah lembaga otonom yang dapat dimiliki oleh pihak swasta. Tahun 2000, dikeluarkan peraturan pemerintah tentang perubahan status beberapa PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Proses pem-BHMN-an PTN mengakibatkan kampus negeri yang sempat menjadi harapan rakyat indonesia menjadi semakin sulit terjangkau, karena biayanya yang menjadi semakin mahal.

Mahalnya biaya pendidikan ini didasari oleh alasan yang sederhana bahwa untuk meningkatkan mutu dan kualitas diperlukan biaya. Pada kenyataannya kenaikan ini tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas pendidikan. Minimnya fasilitas dan bahkan sulit untuk diakses ditambah lagi dengan kualitas tenaga pengajar yang rendah. Rendahnya kualitas tenaga pengajar ini dikarenakan rendahnya tingkat kesejahteraan mereka.

Ditambah lagi dengan permasalahan kurikulum pendidikan yang didesain sesuai dengan kebutuhan pasar. Kurikulum pendidikan tidak lagi didasarkan pada kepentingan rakyat. Sehingga sekolah dan PT hanya menjadi sumber tenaga kerja murah tanpa memiliki skill yang memadai. Akhirnya banyak lulusan dari institusi pendidikan kita yang menjadi pengangguran dan menjadi kuli dinegeri orang.

Permasalahan diatas semakin diperparah dengan merajalelanya praktek korupsi dalam dunia pendidikan kita. Praktek korupsi dalam dunia pendidikan ini muncul karena tidak adanya transparansi dan akuntabilitas dalam hal pengelolaan. Sehingga banyak tenaga akademik yang menjadi tersangka kasus korupsi, salah satunya adalah Rektor Untad Sahabudin Mustafa.

Pendidikan Dasar
Bahwa berdasakan Pasal 14 Kovenan Internasional tentang Hak-ha Ekonomi, Sosial dan Budaya pendidikan dasar wajib hukumnya, difasilitasi dan disediakan Negara bagi setiap orang, setiap warga negara, utamanya, para anak-anak usia sekolah, secara cuma-cuma. Karenanya, pemerintah mesti mengambil langkah-langkah secara terencana untuk mewujudkan pemenuhan hak setiap orang untuk mendapatkan pendidikan dasar tanpa ada diskriminasi, pembedaan apa pun. Pendidikan dasar ini, bisa saja diterjemahkan ditingkat pendidikan formal, yakni: Sekolah Dasar (SD).

Pendidikan dasar cuma-cuma, mempunyai makna ketersediaan pendidikan dasar tanpa ada pungutan biaya yang dibebankan kepada anak-anak, orang tua atau walinya. Biaya-biaya yang dipungut pemerintah, otoritas lokal atau sekolah dan institusi lain merupakan ancaman bagi pemenuhan hak-hak ini, sekaligus dapat menjadi bentuk pelanggaran terhadap realisasi dari hak ini.

Pemerintah Indonesia sendiri, sebenarnya sudah mencanangkan program wajib belajar 9 tahun untuk anak-anak usia sekolah. Hal ini berarti, pemerintah meyakini pentingnya setiap orang mengenyam minimal pendidikan SD hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bahkan Amandemen (Perubahan) Konstitusi, Undang-undang Dasar (UUD) 1945, dengan tegas memuat aturan pengalokasian dana untuk pendidikan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), minimal sebesar 20 persen dari total Anggaran. Namun demikian, Kebijakan Wajib Belajar, belum disertai dengan kebijakan dan pelaksanaannya secara gratis atau cuma-cuma. Demikian juga soal pengalokasian dana pendidikan. Di dalam APBD yang disusun di tingkap Propinsi, juga masih belum mencapai minimal 20 persen.

Mulai dari mahalnya biaya pendidikan, pendidikan yang tidak merata, orientasi pendidikan yang tidak ilmiah, pro imperialis dan anti rakyat serta sistem pendidikan yang tidak demokratis adalah realitas pendidikan kita. Lalu, apakah kita hanya diam melihat kondisi ini? Mari bangkit, bergerak dan mengorganisasikan diri untuk menuntut tanggung jawab negara demi terwujudnya pendidikan nasional yang ilmiah, demokratis dan bervisi kerakyatan.

0 komentar: