Jumat, Februari 06, 2009

LK II; Melahirkan Intelektual Tercerahkan


(Oleh : Ruslan)

LK II lagi!? Demikian mungkin pertanyaan yang ada dalam diri sebahagian kader HMI. Atau juga sebagian kader ada yang meresahkan training ini. Mungkin juga ada yang mempertanyakan buat apa buat LK II. Toh untuk mendapatkan kecerdasan itu, mediumnya tidak mesti LK II, bisa kegiatan lain yang lebih menyenangkan.
Demikianlah, nalar-imajinasi anak-anak HMI ketika melakukan sesuatu. Segala sesuatu dipertanyakan, bahkan pertanyaan itu sendiri yang ditanya. Segala hal membutuhkan penjelasan—diskusi. Mencari mana yang terbaik, argumentasi yang bisa diterima.

Memang LK II dianggap sebagai media peningkatan dan pematangan potensi kemanusiaan baik potensi intelektual, spiritual dan emosional. Harapannya setiap peserta dapat mengambil pelajaran sebanyak-banyaknya dari kegiatan ini. Bukan malah mendapatkan lelah yang tidak terkira, mengeluh-kesah. Sebab hampir setiap materi diharuskan membuat makalah. Jelasnya peserta yang “lambat loding” atau lambat mengetik akan terpesona dan mengakui ketidak-mampuannya melalui ladang pendarahan intelektual ini.

Masalah Lepasan LK II
Uraian ini bukan bermaksud melakukan gugatan terhadap pelaksanaan LK II itu, tetapi sebagai gambaran masalah yang sering dialami oleh kader setelah mengikuti training ini. Adapun masalah itu, diantaranya : pertama, lepasan training minim karya ilmiah. Dalam proses LK II, setiap peserta digembleng untuk menyelesaikan makalah begitu banyak dalam waktu yang singkat. Disana kesabaran diuji, ketekunan dipupuk, intelektual diasah. Sehingga dalam LK II, membuat makalah bukanlah hal yang susah, semua peserta dapat menghasilkan makalah, yang merupakan buah pikirannya sendiri.
Tetapi, kenyataan itu berbanding terbalik, ketika kader yang bersangkutan selesai training yakni menjadi malas menulis, atau tidak percaya diri dalam mempublikasikan tulisannya. Berbagai macam hal digeluti, tapi karya ilmiah tak kunjung datang. Bahkan paling celaka, jika karya ilmiah dalam bidang akademiknya sendiri semisal proposal-skripsi juga kadang tidak bisa menyelesaikan atau membuatnya.

Kenyataan ini sebenarnya tidak berlaku umum bagi setiap lepasan training. Kita patut juga bersyukur karena ada sebagian kader yang memaksimalkan potensi dirinya, dengan menghasilkan karya-karya ilmiah produktif. Sebelumnya tidak membuat karya ilmiah, namun setelah ikut training menjadi produktif dalam mengghasilkan karya ilmiah. Dari sinilah kita ingin berkaca, mempelajari rahasia keberhasilannya, untuk memaksimalkan potensi diri agar setiap lepasan training menjadi tidak asing dalam menghasilkan karya ilmiah.

Kedua, sombong, lupa diri dengan kemampuan vokalnya. Dalam proses training LK II, setiap peserta diasah kecerdasan vokalnya, guna berbicara di depan umum, mengemukakan pendapat-argumentasinya secara bertanggung jawab. Sehingga banyak sekali lepasan training, menjadi pembicara yang ulung dalam berbagai forum, handal dalam mengemukakan pendapat, memiliki argumentasi yang kuat.
Dari situlah menjadi pangkal kesombongan, menganggap diri paling pintar, paling mengetahui segala hal. Walaupun kebanyakan argumentasi yang dikemukakan hanya bersifat “pembenaran”.

Ketiga, lari dari barisan jamaah. Untuk tipe ini, boleh jadi mengikuti training hanya ingin mencari pengalaman. Hanya ingin merasakan, bagaimana rasanya ikut LK II. Setelah semua itu didapatkan, yang bersangkutan kembali lagi dengan aktivitasnya selama ini. Dia lupa atau pura-pura tidak tahu, tentang kewajibannya dalam berjuang bersama dalam jamaah HMI, untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat lain, khususnya pada kader sendiri. Walhasil yang bersangkutan, tetap sibuk dengan aktivitasnya selama ini, menjadi serba cuek-dengan jamaah.

Peran Training
Secara normatif HMI mendefenisikan training, baik LK I maupun LK II sebagai bagian perkaderan organisasi yang secara sistematis untuk mensosialisasikan dan mengamalkan nilai-nilai Islam. Serta mengaktualisasikan potensi kader sehingga tercapai tujuan HMI. Secara sederhana perkaderan HMI memiliki dua dimensi, yaitu; dimensi internal dan dimensi eksternal.

Dimensi internal, adalah pemahaman tentang training sebagai bagian perkaderan untuk wahana sosialisasi dan pengamalan nilai-nilai Islam ke dalam diri kader. Dalam pendekatan dimensi ini maka akan terlihat bahwa training HMI merupakan kanal transformasi nilai, atau ikhtiar menggeser nilai anutan para kader dari nilai jahiliyah menuju kearah nilai Islam. Perkaderan menjadi arena menawarkan nilai Islam sebagai nilai alternatif yang harus dipilih oleh kader HMI.

Sementara itu, dimensi eksternal perkaderan adalah menempatkan perkaderan sebagai ajang kontestasi dan ruang aktualisasi potensi diri kader. Dimensi ini memberi ruang yang lebih luas bagi pengembangan minat dan bakat seseorang yang berproses dalam perkaderan HMI. Perkaderan menjadi ajang mimikri kultural antara tradisi lokal dan nilai Islam yang menjadi muatan utama perkaderan HMI.
Nah, apakah selesai training setiap kader dapat memaksimalkan potensi kediriannya? Atau malah betah dalam “alam kegelapan” yang penuh dengan kebodohan dan kemerosotan moral. Pertanyaan ini untuk semua kader HMI.

Intelektual Tercerahkan Dalam Perjuangan HMI
Dalam segala level perkaderan termasuk training HMI, dikhususkan untuk melahirkan kader yang memiliki potensi kemanusiaan, yakni potensi intelektual, emosional dan spiritual. Dalam setiap aktivitas perkaderan, sesungguhnya merupakan aplikasi atau pembentukan kader. Guna melahirkan kader yang bertanggung jawab atas terbinanya tatanan masyarakat yang diridhoi Allah Swt.

Kader yang mampu mengidentifikasi sumber kerusakan sosial, kemudian terjun langsung sebagai aktor pembaharu perubahan sosial. Terjun sebagai generasi intelektual yang melakukan pencerahan dan pendampingan terhadap masyarakat. Generasi yang ikut merasakan penderitaan masyarakat, bukan malah bertahta dalam menara kemewahan.
Fungsi HMI sebagai organisasi perkaderan dan kemahasiswaan secara langsung menyisaratkan pada aktivitas utama organisasi ini, yaitu aktivitas pembinaan insan akademis (mahasiswa). Platform ini tersurat pada tujuan HMI. Berpijak dari fungsinya sebagi organisasi perkaderan posisi dan Peran HMI dalam dunia Kemahasiswaan dan Kepemudaan di tuntut untuk menjadi yang terdepan (pelopor) baik dari segi ide maupun pelaksanaan hasil pemikiran kadernya, karena pada hakikatnya setiap individu yang berilmu tentunya pula harus melakukan kerja kemanusiaan (amal) dalam bentuk pengabdian secara nyata.

Peran HMI dalam sejarah kehidupan bangsa dan negara indonesia merupakan sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan. HMI dengan sengaja telah ikut mewarnai sejarah indonesia dengan menjalankan fungsinya sebagai organisasi kader. Cukup banyak tokoh yang telah di lahirkan dari rahim training (perkaderan) HMI, baik itu yang berkiprah di tingkat nasional maupun lokal. Namun bukan tanpa menafikan sebuah proses alamiah yang terjadi pada manusia, dimana sesuai dengan fitrahnya manusia memiliki kecenderungan berbuat benar dan salah, banyak pula kader bangsa hasil didikan HMI yang menjadi faktor dan aktor terjadinya krisis multidimensi negeri ini. Kondisi seperti ini mengisyaratkan kepada HMI untuk senantiasa melakukan perbaikan-perbaikan kualitas dan kapasitas kadernya, sehingga seorang sarjana HMI mampu berfikir dan berbuat lebih dari kalangan yang tidak pernah mengikuti perkaderan HMI.

Penyebab munculnya permasalahan HMI dalam menjalankan fungsinya secara internal adalah adanya inkonsistensi dalam menjalankan sistem perkaderan di HMI. Permasalahan ini akhirnya berimbas kepada HMI dalam menjalankan perannya sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan. Tanpa adanya konsistensi yang kuat dalam melakukan peningkatan kualitas kader maka akan sangat mempengaruhi peran kejuangan HMI, hal ini juga akan mengakibatkan terjadinya efek domino terhadap HMI dalam mengembangkan missinya. Perjuangan dalam melakukan kerja kemanusian (amal) bagi seorang HMI apabila tanpa di bekali ilmu tentunya akan menjadi sebuah kesia-siaan.

Sebagai organ dari gerakan mahasiswa perjuangan misi HMI tidak akan lepas dari dunia kampus, perkembangan jumlah perguruan tinggi dan bertambahnya jumlah mahasiswa di indonesia sangat akan menunjang HMI di masa datang. Menjadi tantangan pula kemampuan HMI untuk bertahan dalam mengikuti seleksi alam persaingan antar oganisasi sejenis.
Peran HMI dalam melakunan rekayasa sosial kebangsaan masih sangat terbuka apabila HMI mampu melahirkan kader – kader terbaiknya di bumi Indonesia, rekayasa sosial HMI menuju terwujudnya tatanan masyarakat yang di ridhoi Allah SWT tidak akan terjadi apabila HMI hanya stagnan atau bahkan dalam kemunduran. Kegagalan HMI menjalankan misinya dalam menghadapi tantangan Globalisasi Kapitalisme (neoliberalisme) akan semakin nyata ketika HMI menjadi barisan kaum kalah dengan tanpa perlawanan dari sebuah pertarungan, atau bahkan apabila HMI hanya menjadi mur dan baut penguat sistem kerja mesin kapitalisme internasional. Kegalagalan seperti ini tentunya sangat tidak di harapkan oleh generasi penerus HMI, dimana tanggung jawab kader HMI bukan sekedar kepada dirinya dan organisasi HMI sendiri, tetapi kepada umat dan bangsa.
Apakah Lepasan LK II siap mengambil peran itu? Yakin Usaha Sampai.

0 komentar: