Oleh : Ruslan, SH
Fadlun (30 thn) seorang karyawan PT. Green Agro Palu Sulawesi Tengah harus mengalami PHK dari manajemen Perusahaan, lantaran dia membentuk Serikat Pekerja. Peristiwa itu terjadi sekitar medio November 2008, yang sempat mengundang reaksi dari Serikat Pekerja/Buruh yang ada di Kota Palu. Peristiwa PHK sepihak itu hanyalah merupakan sebahagian masalah yang dialami oleh pekerja, disamping masalah lain semisal penerapan upah dibawah standar UMP/UMK, masalah jaminan sosial, masalah diskriminasi dalam pekerjaan, masalah hak memperoleh cuti dan masalah lainnya.
Jika ditelisik lebih dalam, khusus hak pekerja untuk menjadi anggota serikat pekerja atau mendirikan serikat pekerja merupakan sebahagian hak asasi yang dimiliki oleh pekerja. Hak itu tidak bisa di halang-halangi pemenuhannya oleh siapapun juga. Jika penghalang-halangan itu terjadi, maka sesungguhnya itu merupakan pelanggaran terhadap hak asasi pekerja atau pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Dari itu pelaksana kekuasaan negara harus segera melakukan tindakan tegas. Tindakan yang dapat mengembalikan pemenuhan hak itu, tindakan yang menjamin agar hak normatif pekerja itu tidak terlanggar lagi oleh pihak pengusaha.
Perlunya Menjadi Anggota Serikat Pekerja
Masalah tersebut diatas hanya merupakan sebahagian dari masalah pekerja yang dilanggar hak normatifnya oleh pihak pengusaha. Masalah yang terjadi akibat kurang tegasnya tindakan pengawasan yang dilakukan Pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja. Sehingga untuk meminimalisir pelanggaran terhadap hak normatif pekerja, atau memperjuangkan hak normatif pekerja, perlu kiranya keterlibatan serikat buruh. Keterlibatan yang secara pro aktif berhubungan dengan semua pihak, guna memperjuangkan dan memberikan pencerahan kepada pihak terkait. Sebab salah satu unsur pihak yang berperan dalam mewujudkan hubungan industrial yang adil dan harmonis adalah keberadaan serikat pekerja.
Keberadaan serikat pekerja ini pada intinya ada, untuk kepentingan dari pada pekerja. Olehnya perlu bagi kaum pekerja untuk segera bergabung membentuk serikat pekerja di tempat kerja masing-masing. Pertama, serikat pekerja melindungi dan memperjuangkan perbaikan upah dan kondisi kerja. Tuntutan pekerja untuk memperoleh upah yang layak tidak akan didengar dan pekerja terpaksa harus menerima begitu saja apa yang ditawarkan pengusaha kalau masing-masing pekerja mengajukan tuntutan sendiri-sendiri dan tidak mau bergabung menjadi satu. Hanya bila pekerja mau bersatu dalam serikat pekerja/serikat buruh, barulah mereka dapat mendesak pengusaha untuk memberikan upah yang layak yakni sesuai standar upah UMP/UMK. Dengan bersatu dalam serikat pekerja/serikat buruh, pekerja dapat membuat perjanjian atau persetujuan kerja dengan pengusaha dan mengawasi agar pengusaha menepati perjanjian itu. Perjanjian atau persetujuan kerja ini juga dapat mencakup hal-hal yang berhubungan dengan hari-hari libur, uang lembur, tunjangan kesehatan, pensiun dan lain-lain.
Kedua, serikat pekerja/serikat buruh melindungi pekerja terhadap ketidakadilan dan diskriminasi. Seorang pekerja tidak akan sanggup berjuang sendirian melawan ketidakadilan di tempat kerja, misalnya, seandainya mereka dipecat secara semena-mena, atau diperlakukan seenaknya oleh atasan. Tetapi bila pekerja itu menjadi anggota serikat pekerja, serikat pekerja akan bertindak mewakili kepentingannya dan membantunya pada saat ia dikenai tindakan disiplin atau dipecat, serta memastikan agar pekerja itu mendapatkan perlakukan yang adil.
Ketiga, memperbaiki kondisi kerja dan melindungi lingkungan kerja. Pekerja menghadapi banyak resiko kesehatan dan keselamatan kerja. Karena itu, serikat pekerja bertanggung jawab menekan pengusaha agar memperbaiki kondisi kerja yang ada. Mewujudkan situasi kerja yang dapat menjamin keselamatan dan kesehatan kerja. Termasuk menekan Pengusaha untuk memberikan jaminan kesehatan (jaminan sosial) terhadap pekerja yang mengalami kecelakaan kerja. Jika tidak ada serikat pekerja, maka pekerja bisa jadi tidak diharaukan Pengusaha dalam memperoleh hak kesehatan dan keselamatan kerja.
Keempat, mengupayakan agar manajemen mendengarkan suara pekerja sebelum membuat keputusan. Dengan menyatukan kepentingan bersama, maka melalui serikat pekerja, pekerja memiliki kedudukan yang kuat untuk menekan dan mempengaruhi kebijakan dan keputusan yang dibuat perusahaan. Jadi, meskipun serikat pekerja terpisah dari manajemen perusahaan, serikat pekerja juga mempunyai hak untuk mengetahui rancangan keputusan yang akan diambil pihak manajemen. Selain itu, sebelum membuat keputusan-keputusan penting, pihak manajemen hendaknya juga mengkonsultasikannya terlebih dahulu dengan serikat pekerja.
Kelima, mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja. Hal ini merupakan bagian tugas serikat pekerja untuk berjuang melindungi pekerja-pekerja yang menjadi anggotanya agar mereka tidak sampai diputuskan hubungan kerjanya, dan untuk memastikan agar pekerja mendapatkan jaminan yang memadai untuk dapat terus bekerja. Hal ini jelas tidak mudah, khususnya pada masa-masa sulit yang diakibatkan oleh krisis ekonomi.
Landasan Normatif Serikat Pekerja
Perubahan yang paling signifikan dalam tonggak sejarah pergerakkan serikat pekerja di Indonesia adalah melalui Ratifikasi Konvensi Internasional Labour Organisation (ILO) No. 87 tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi. Konvensi ini diratifikasi Indonesia pada tanggal 9 Juni 1998. Dari sebelum diratifikasinya Konvensi ILO ini, terjadi “monopoli” serikat pekerja dan “larangan” berserikat untuk pegawai BUMN dan Pegawai Negeri Sipil.
Tujuan dari Konvensi ILO No. 87 tahun 1948 ini adalah untuk memberikan jaminan kepada pekerja/buruh dan pengusaha akan kebebasan untuk mendirikan dan menjadi anggota organisasinya, demi kemajuan dan kepastian dari kepentingan-kepentingan pekerjaan mereka, tanpa sedikitpun ada keterlibatan negara. Bebas mendirikan organisasi tanpa harus meminta persetujuan dari institusi publik yang ada; tidak adanya larangan untuk mendirikan lebih dari satu organisasi di satu perusahaan, atau institusi publik, atau berdasarkan pekerjaan, atau cabang-cabang dan kegiatan tertentu ataupun serikat pekerja nasional untuk tiap sektor yang ada. Bebas bergabung dengan organisasi yang diinginkan tanpa mengajukan permohonan terlebih dahulu. Bebas mengembangkan hak-hak pekerja tanpa pengecualian apapun, dikarenakan pekerjaan, jenis kelamin, suku, kepercayaan, kebangsaan dan keyakinan politik .
Konvensi ILO No. 87 tahun 1948 ini juga menjamin perlindungan bagi organisasi yang dibentuk oleh pekerja ataupun pengusaha, sehingga tanpa adanya campur tangan dari institusi publik, mereka dapat : Bebas menjalankan fungsi mereka, termasuk untuk melakukan negosiasi dan perlindungan akan kepentingan-kepentingan pekerja; Menjalankan AD/ART dan aturan lainnya, memilih perwakilan mereka, mengatur dan melaksanakan berbagai program aktifitasnya; Mandiri secara finansial dan memiliki perlindungan atas aset-aset dan kepemilikan mereka; Bebas dari ancaman pemecatan dan skorsing tanpa proses hukum yang jelas atau mendapatkan kesempatan untuk mengadukan ke badan hukum yang independen dan tidak berpihak; Bebas mendirikan dan bergabung dengan federasi ataupun konfederasi sesuai dengan pilihan mereka, bebas pula untuk berafiliasi dengan organisasi pekerja/pengusaha internasional. Bersamaan itu, kebebasan yang dimiliki federasi dan konfederasi ini juga dilindungi, sama halnya dengan jaminan yang diberikan kepada organisasi pekerja dan pengusaha.
Implementasi dari konvensi itu juga memastikan bahwa pegawai negeri dan pegawai BUMN/BUMD memiliki hak untuk kebebasan berserikat dan perlindungan hak berorganisasi. Sejalan dengan ratifikasi Konvensi ILO tersebut pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Undang-undang ini menjamin pada intinya menjamin : Hak pekerja untuk mendirikan dan menjadi anggota serikat pekerja; Hak serikat pekerja untuk melindungi, membela dan meningkatkan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya; dan Perlindungan terhadap pekerja dari tindakkan diskriminatif dan intervensi serikat pekerja.
Oleh karena itu, tindakan penghalang-halangan sampai pada tindakan PHK sepihak yang dialami oleh salah seorang karyawan seperti telah disebutkan di muka adalah merupakan bentuk pelanggaran nyata terhadap UU serikat pekerja yang dilakukan pihak manajemen perusahaan. Pelanggaran terhadap hak-hak normatif pekerja yang dijamin dalam konstitusi dan perundangan ketenagakerjaan.
Jika ditelisik lebih dalam lagi maka perusahaan yang bersangkutan dapat ditindak, dengan landasan normatif UU serikat pekerja/serikat buruh. Di dalam Pasal 28 disebutkan ”siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerj/serikat buruh dengan cara: (a) melakukan PHK, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi; (b) tidak dibayar atau mengurangi upah pekerja/buruh; (c) melakukan intimidasi dalam bentuk apapun; (d) melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.
Dari pasal ini telah menyebutkan pihak manapin itu dilarang untuk menghalang-halangi pembentukan serikat pekerja. Sehingga siapun yang melakukan penghalangan itu, dapat ditindak sesuai dengan isi Pasal 43. Pasal 43 merupakan penguatan bilamana melanggar pasal 28 “….dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000, (seratus juta) dan paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta).
Lantas bagaimana pelaksanaan atau penegakan dari aturan ini?. Untuk tahap awal, yang berwenang melakukan pengawasan sampai tahap penindakan adalah Pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja. Pemerintah mestinya menempuh jalur mediasi (non litigasi), agar perselisihan pekerja dan pengusaha dapat terselesaikan dengan baik. Agar ada titik cerah penyelesaian ataupun pencerahan atas kedua belah pihak. Jangan sampai ada “permainan” atau tindakan tidak tegas yang pada nantinya mengorbankan hak salah satu pihak yang bersengketa. Butuh ketegasan Pemerintah dalam menegakkah hukum ketenagakerjaan dalam pemenuhan hak-hak normatif buruh. Sebab jika bukan pemerintah yang menindak, lantas siapa lagi. Pemerintah dalam hal Dinas Tenaga Kerja di berikan tugas dan kewajiban untuk melaksanakan dan menyelesaikan semua itu.
Kemudian jika dalam penghalang-halangan pembentukan serikat pekerja itu ada indikasi tindak pidana, maka pihak Kepolisian harus segera bertindak. Kepolisian sebagai bagian dari negara, untuk menjamin pemenuhan hak normatif (hak asasi) setiap warga negara.
Penutup; Sebuah Harapan
Perusahaan dalam hal ini masih memposisikan serikat pekerja sebagai lawan tanding atau bagian yang dapat menghambat produktifitas perusahaan. Atau juga dianggap sebagai pihak yang menggangu aktivitas perusahaan. Padahal seyogyanya, perusahaan harus menempatkan serikat pekerja sebagai patner dalam mewujudkan iklim industrial yang adil dan harmonis. Sebab susah terwujud iklim industrial yang adil dan harmonis tanpa peran pihak serikat pekerja, perusahaan.
Disamping itu juga pemerintah harus senantiasa memaksimalkan perannya untuk pemenuhan hak-hak normatif buruh, bukan malah lebih terpengaruh dengan intervensi asing (kapitalis) yang memonopoli penguasaan sumber daya alam Indonesia. Peran pemerintah itu baik dalam hal pembinaan, pengawasan sampai penindakan perusahaan yang lalai atau melanggar pemenuhan hak normatif pekerja.
© Makalah ini sebagai bahan Dialog Interaktif di RRI Palu pada 21 Januari 2009, dengan disunting dari berbagai sumber, utamanya: http://unionism.wordpress.com dan http://pcspamkbogor.wordpress.com.
☺ Ruslan, SH Adalah Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan LBH Sulteng.
Senin, Februari 09, 2009
PERLINDUNGAN KEBEBASAN BERSERIKAT PEKERJA
Label: Kegiatan, Ketenagakerjaan, Opiniku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar