Sabtu, Februari 14, 2009

Wacana dan Aksi Masyarakat Sipil Di Indonesia


Oleh : Ruslan
Penulis adalah Alumni Fakultas Hukum Untad, kini sebagai Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Badan Pekerja LBH Sulteng

Konsepsi tentang masyarakat sipil mulai dikenal dan marak dibicarakan di Indonesia sejak awal tahun 1990-an. Dalam pada itu, masyarakat sipil tidak hanya berkembang dalam arti teoritis, tetapi juga merupakan tipe ide tentang realitas sosial tertentu yang diharapkan kelak akan terwujud. Salah satu hal yang sering mengemuka adalah dalam kaitannya dengan wacana masyarakat sipil ditingkatan organisasi non pemerintah (ornop) dalam hubungannya dengan negara maupun dengan sesama masyarakat sipil. Ornop dituntut senantiasa memiliki kemampuan dalam mengembangkan ciri-ciri kemandirian, keswadayaan, dan keswasembadaan.


Adanya beberapa kasus yang berkenaan dengan penindasan rakyat yang sering dilakukan oleh penguasa dan merupakan realitas yang sering kita lihat dan dengar dalam setiap pemberitaan media massa. Baik melalui media elektronika maupun media cetak. Sebut saja salah satu contoh penindasan yang terjadi di Indonesia ketika orde baru berkuasa yakni penindasan terhadap keberadaan hak rakyat terhadap tanah yang diambil oleh penguasa dengan alasan pembangunan. Atau juga realitas pengekangan dan pembungkaman kebebasan pers dengan adanya pembredelan beberapa media massa. Penculikan para aktivis pro demokrasi dan adanya pembatasan ruang publik untuk mengemukakan pendapat di muka umum.

Hal tersebut bisa dikaji pada perlunya sebuah kekuatan masyarakat sipil dalam konteks interaksi kontrol sosial, baik antara rakyat dengan negara, maupun antara rakyat dengan rakyat. Kedua pola hubungan interaktif tersebut akan memposisikan rakyat sebagai bagian integral dalam komunitas negara yang memiliki kekuatan posisi dan menjadi komunitas masyarakat sipil yang memiliki kecerdasan, analisa kritis yang tajam serta mampu berinteraksi di lingkungannya secara demokratis dan berkeadaban.

A. Konsepsi Masyarakat Sipil
Istilah masyarakat sipil merupakan padanan kata “civil society,” “masyarakat madani,” “masyarakat warga,” “masyarakat kewargaan,” dan “masyarakat beradab.” Wacana masyarakat sipil ini, merupakan wacana yang telah mengalami proses yang panjang. Ia muncul bersamaan dengan proses modernisasi, terutama saat terjadi transformasi dari masyarakat feodal menuju masyarakat barat modern, yang saat itu lebih dikenal dengan istilah civil society. Dalam tradisi Eropa sekitar pertengahan abad XVIII, pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian negara (state) yakni satu kelompok/ kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain.

Akan tetapi pada ujung abad XVIII, terminologi ini mengalami pergeseran makna. State dan civil society dipahami sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan sosial dan perubahan-perubahan struktur politik di eropa sebagai pencerahan dan moderenisasi dalam menghadapi persoalan duniawi. Dalam mendefenisikan term masyarakat sipil ini sangat bergantung pada kondisi sosio-kultural suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep masyarakat sipil merupakan bangunan term yang lahir dari sejarah pergulatan bangsa eropa barat.

Kelompok Islam misalnya, memberi makna masyarakat sipil sebagai “masyarakat madani”, kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tidak terlalu akur dengan militer memaknainya sebagai “masyarakat sipil.” Sedangkan kelompok ilmuwan tertentu memaknainya sebagai “masyarakat warga” atau “masyarakat kewargaan”. Sementara kalangan agamawan menyebutnya dengan “masyarakat beradab.”

Untuk keperluan penulisan makalah ini, Penulis lebih mengkonsetrasikan memakai kata “masyarakat sipil,” yang hal itu berpadanan dengan kata lain “civil society,” “masyarakat madani,” “masyarakat warga,” “masyarakat kewargaan,” dan “masyarakat beradab. Ini dikarenakan, yang akan diuraikan adalah berkaitan hubungan antara ornop dengan negara, maupun ornop dengan sesama masyarakat sipil lainnya.

1. Makna Masyarakat Sipil

Masyarakat sipil sebagai sebuah konsep memiliki beragam makna. Pemaknaan itu diantaranya, diberikan oleh Adi Suryadi Culla, yang memaknai masyarakat sipil, Pertama, masyarakat sipil identik dengan negara yang dipertentangkan dengan kebiasaan masyarakat. Kedua, masyarakat sipil adalah suatu wilayah masyarakat ekonomi atau keadaan yang berbeda dan berdiri terpisah dari negara. Ketiga, masyarakat sipil adalah wilayah organisasi-organisasi masyarakat bersifat otonom, berdiri terpisah dari atau berbeda dengan negara dan masyarakat ekonomi. Sementara Larry Diamond, mendefinisikan civil society sebagai kehidupan sosial yang terorganisasi, tumbuh secara sukarela, umumnya bersifat swadaya dan tidak terkooptasi oleh pemerintah.

Secara mendasar masyarakat sipil menempatkan dirinya dalam posisi yang kritis terhadap negara dengan terus melakukan upaya perubahan-perubahan dalam bidang-bidang sosial, ekonomi dan politik serta kontrol terhadap kekuasaan. Dalam realitas empirisnya masyarakat sipil mengorganisasi dirinya secara independen dari negara sekaligus mempunyai landasan pengetahuan yang menjadikan mereka berbeda dari masyarakat biasa yang tidak kritis dan pasif dalam struktur sosial yang bisa jadi menindas mereka.

Selain kritis terhadap negara, masyarakat sipil mempunyai kemandirian dalam banyak hal. Bahwa masyarakat sipil adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung kehidupan material, dan tidak terserap dalam jaringan-jaringan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas (the free public sphere), tempat dimana transaksi komunikasi yang bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat.

Masyarakat sipil yang kritis dan mandiri secara esensial didukung oleh orientasi pasarnya, sehingga para aktor di dalamnya mengakui prinsip-prinsip otoritas negara dan rule of law. Agar bisa tumbuh berkembang dan mendapat jaminan rasa aman ia membutuhkan perlindungan dari tatanan hukum yang terlembagakan. Sehingga, masyarakat sipil bukan hanya membatasi kekuasaan negara tetapi juga melegitimasi otoritas negara bila otoritas itu didasarkan pada rule of law.

Berkaitan dengan pencirian masyarakat sipil, Diamond mengajukan lima ciri masyarakat sipil. Pertama, masyarakat sipil memusatkan perhatiannya pada tujuan-tujuan publik bukannya tujuan privat. Kedua, masyarakat sipil dalam beberapa hal berhubungan dengan Negara tetapi tidak berusaha merebut kekuasaan atas Negara atau mendapat posisi dalam negara; ia tidak berusaha mengendalikan politik secara menyeluruh. Ketiga, masyarakat sipil mencakup pluralisme dan keberagaman. Artinya, organisasi yang sektarian dan memonopoli ruang fungsional atau politik dalam masyarakat bertentangan dengan semangat pluralistik. Keempat, masyarakat sipil tidak berusaha menampilkan seluruh kepentingan pribadi atau komunitas. Namun, kelompok-kelompok yang berbeda akan menampilkan atau mencakup kepentingan berbeda pula. Kelima, masyarakat sipil haruslah dibedakan dari fenomena Civic community yang lebih jelas meningkatkan demokrasi. Civic community adalah konsep yang lebih luas dan lebih sempit sekaligus: lebih luas karena ia mencakup semua jenis perhimpunan (termasuk parokial); lebih sempit karena ia hanya mencakup perhimpunan yang terstruktur secara horizontal di seputar ikatan yang sekira mempunyai kebersamaan, kooperatif, dan saling mempercayai.

2. Bagian Masyarakat Sipil
Persoalan mendasar lainnya setelah pendefinsian adalah siapa yang merupakan bagian dari masyarakat sipil. Pada level ini seringkali terjadi persoalan karena kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat seringkali menunjuk kepada kelompok yang lain bukan sebagai bagian dari masyarakat sipil tetapi sebagai masyarakat politik. Bahwa masyarakat sipil mencakup beragam organisasi, formal dan informal, meliputi : ekonomi, kultural, informasi dan pendidikan, kepentingan, pembangunan, berorientasi isu, dan kewarganegaraan.

Seringkali organisasi yang menjadi bagian dari masyarakat sipil adalah kalangan NGOs (Non Government Organizations/Lembaga Swadaya Masyarakat-LSM) atau Organisasi Non Pemerintah (Ornop) dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berbasis komunitas dan professional yang didalamnya ada kelompok keagamaan yang kritis independen, kaum bisnis maupun media.

B. Hubungan dan Hambatan Masyarakat Sipil
Selama pemerintahan Orde Baru berkuasa, lembaga legislatif/ DPR belum dapat berfungsi secara efektif dan berperan secara optimal menyalurkan aspirasi masyarakat. DPR dalam posisi yang sangat lemah, hampir tidak mampu menggunakan hak-hak yang dimiliki dan kedudukan mereka di bawah kekuatan eksekutif. Dalam menyampaikan hak anggaran, hak mengajukan pertanyaan atau hak minta keterangan biasanya memang bisa lantang. Tetapi dalam menyampaikan hak melakukan perubahan, hak menyampaikan pendapat dan prakarsa serta hak penyelidikan dinilai tidak pernah optimal, apalagi dalam mengajukan perubahan UUD. Kondisi semacam itu kemudian melahirkan hubungan antara eksekutif dan legislatif di daerah banyak diwarnai sifat interaksi superordinasi-subordinasi. Kedua institusi tersebut tidak pernah berdiri sejajar, sehingga mudah dimengerti apabila badan legislatif sukar melakukan fungsi kontrol pada kebijaksanaan publik yang diintroduksi oleh eksekutif.

Harapan agar DPR menjadi mitra Pemerintah dan memiliki kedudukan serta kesempatan yang sama dalam proses pengambilan keputusan-keputusan krusial yang berdampak luas bagi masyarakat hanyalah jargon politik yang sukar sekali diwujudkan. Sudah jelas bukan berarti bahwa semua anggota DPR mandul dalam proses pengambilan keputusan, tetapi bahwa eksekutif lebih dominan dari pada legislatif yang hampir terjadi di semua daerah. Para anggota DPR hanya terlibat dalam proses formulasi keputusan, tetapi kurang diperhitungkan dalam proses eksekusi keputusan.

Prinsip-prinsip seperti dikehendaki oleh ide masyarakat sipil (seperti : tidak ada pemaksaan kehendak, tidak ada monopoli, tidak ada manipulasi dan ada kemauan hidup dalam rasa sepenanggungan), ternyata masih belum dapat direalisasikan dengan baik. Kalangan tertentu ditengarai masih memiliki peluang memanfaatkan kekuasaannya, dan atas nama negara kalangan itu bisa melakukan hal-hal yang kurang terpuji. Hak-hak masyarakat belum utuh terlindungi, sehingga menempatkan masyarakat pada posisi yang inferior dan selalu tertekan. Era reformasi dan transisi ketika negara sangat adi kuasa, atau dalam posisi yang sangat dominan dan meminggirkan masyarakat, bentuk respons yang berkembang dalam masyarakat terutama adalah penguatan dan idealisasi masyarakat.

Pilihan strategi perjuangannya adalah melakukan gerakan moral, dengan menekankan diri pada kegiatan pembelaan, sehingga masyarakat dari segala bentuk penindasan. Kegiatan yang dilakukan antara lain adalah mengidentifikasi hak-hak masyarakat yang dirampas, kemudian membangun kesadaran bahwa hak-hak tersebut harus dikembalikan lagi. Dengan kata lain gerakan mereka adalah memberi tekanan pada membangun atensi, oleh karena itu persoalan klaim kerapkali sangat ditonjolkan. Forum utama kegiatan semacam itu adalah media massa (baik cetak maupun elektronik), dan berusaha menempatkan diri sebagai broker yang menjembatani kemauan masyarakat dengan kepentingan pemerintah.
Di samping itu juga dibangun jaringan yang dapat memonitor isu-isu dan kasus-kasus aktual yang terjadi dalam masyarakat, sehingga berbagai bentuk tindakan yang dilakukan memiliki kadar visibilitas yang tinggi. Bersamaan dengan itu sebetulnya ada pula yang melakukan gerakan politik. Pilihan strategi perjuangannya adalah menciptakan aksi protes, memobilisasi dukungan masyarakat dan mencampuri urusan kekuasaan. Posisi yang dikembangkan bukan lagi sebagai broker, tetapi sebagai aktor politik.

Respons semacam itu memberikan indikasi bahwa kendatipun negara sangat kuat dan sangat determinan dalam proses pengambilan keputusan publik, namun sebenarnya tidak pernah mampu mematikan ide masyarakat sipil. Itu berarti bahwa kendatipun kecil, di dalam masyarakat sebenarnya tetap tumbuh keinginan untuk merdeka, bebas dari segala bentuk penindasan, dan tetap ada kesadaran hidup dalam rasa sepenanggungan. Oleh karena itu, ide masyarakat sipil sesungguhnya bisa hidup subur dalam kehidupan masyarakat kita, meskipun barangkali harus melewati jalan terjal dan membutuhkan waktu relatif lama. Kendalanya bukan hanya terletak pada institusi birokrasi atau institusi politik, melainkan juga pada ciri-ciri hubungan antara kedua institusi tersebut dengan pelaku bisnis, serta pada nilai-nilai sosial yang berkembang dalam kehidupan masyarakat sendiri.

Berikut beberapa hal yang diperkirakan menjadi kendala membangun masyarakat sipil di negeri ini. Pertama adalah masalah akses publik. Selama ini institusi birokrasi publik kita bekerja hampir tidak disertai mekanisme kontrol eksternal baik dari pihak institusi politik (partai dan legislatif) maupun dari media massa dan kelompok kepentingan. Kalaupun dahulu pernah ada, kontrol eksternal itu lebih sering palsu, tidak jujur, dan hanyalah sebuah rekayasa untuk menyenangkan atau mengelabuhi masyarakat. Hal ini terjadi karena pada saat itu rejim yang berkuasa berada pada puncak strata, dan dengan sewenang-wenang memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki untuk kepentingan politiknya sendiri. Institusi birokrasi dan institusi politik tidak netral, tidak mampu melakukan fungsi kontrol, dan menjadi kepanjangan tangan rejim itu.

Oleh karena kontrol eksternal hampir tidak ada, maka rejim penguasa serta aparatur pemerintah di bawahnya sangat leluasa melakukan korupsi dan berbagai bentuk penyimpangan lain yang merugikan hak-hak masyarakat. Konsekuensi yang terlihat sekarang adalah terjadi apa yang lazim disebut kurangnya transparasi publik yang membuat segala bentuk kebijakan pemerintah selalu dicurigai, sehingga sulit membangun komitmen anggota masyarakat. Benar memang pemerintah yang sekarang sudah memperoleh legitimasi yang kuat karena dipilih oleh rakyat melalui Pemilu yang demokratis. Tetapi karena masih banyak warisan masalah politik yang belum dapat diselesaikan dengan tuntas, maka masih sulit menciptakan transparansi publik.

Kedua adalah masalah pengusaha/ pemilik modal, yang melekat dalam interaksi antara pemerintah dan pelaku bisnis atau pengusaha. Sedikitnya ada dua macam tipe pengusaha yaitu: (1) pengusaha yang tumbuh besar dengan fasilitas yang diberikan pemerintah, dan (2) pengusaha yang tumbuh dan berkembang atas etos dan kemampuannya sendiri. Selama ini yang berkembang adalah tipe pengusaha tumbuh besar dengan difasilitasi pemerintah, pengusaha tipe ini pada umumnya tidak memiliki skill yang baik dalam melakukan bisnis yang kompetitif. Mereka sangat tergantung pada kekuatan dan kemurahan penguasa, sehingga yang mereka kembangkan sebenarnya bukan nilai bisnis yang bisa mengembangkan usaha, tetapi lebih pada bagaimana mengembangkan hubungan baik dengan penguasa. Mereka sangat diuntungkan ketika penguasa memonopoli pasar dan berbagai perlakuan khusus dalam kegiatan bisnis.Sebaliknya, tipe pengusaha yang kedua (pengusaha dengan etos kerja), kendatipun mereka memiliki skill yang cukup, namun mereka tidak mudah mengembangkan usahanya. Mereka selalu kalah bersaing kecuali harus menjadi bagian dari pemerintah.

Pada era reformasi sekarang memang sudah mulai terjadi keterbukaan dalam dunia bisnis, tidak ada lagi monopoli yang berlebihan dari penguasa. Tetapi situasinya masih jauh dari yang diharapkan bagi terciptanya masyarakat sipil, karena dunia bisnis kita sebenarnya masih banyak dikuasai oleh pengusaha bentukan pemerintah tersebut.

Ketiga adalah masalah patrimonalisme. Bentuk struktur kekuasaan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat kita adalah bersifat monolitik, di puncak strata ada sekelompok elit minoritas yang superior kemudian pada strata dibawahnya adalah kelompok massa mayoritas yang inferior. Kelompok elit sangat mendominasi berbagai keputusan-keputusan penting, sedangkan kelompok massa tidak berdaya dan hanya mengikuti kehendak kelompok elit.

Dalam kehidupan masyarakat kita menjadi semakin kompleks ketika warna patrimonialisme itu tidak hanya terkait dengan daerah melainkan juga dengan etnis dan agama. Dalam sifat hubungan semacam ini, di setiap daerah terdapat sejumlah pemimpin yang ditempatkan sebagai patron dalam berbagai macam persoalan politik. Apabila di daerah itu terdapat sejumlah etnis, maka akan diketemukan sejumlah pemimpin etnis yang seringkali juga ditempatkan sebagai patron dalam masalah politik.

Demikian pula apabila di daerah itu terdapat sejumlah agama, maka akan didapati pula sejumlah pemimpin agama yang kerapkali menjadi patron dalam masalah politik pula. Bentuk struktur kekuasaan semacam itu sangat sulit mengembangkan perbedaan pendapat dan kritik (termasuk kritik yang konstruktif). Perbedaan pendapat biasanya dianggap ancaman solidaritas dan kritik biasanya dianggap cerminan rendahnya loyalitas, padahal dua hal tersebut sebenarnya sangat dibutuhkan sekali bagi terciptanya masyarakat sipil.

Walaupun dalam meretas hambatan dalam pengembangan masyarakat sipil tersebut ada pilar yang kiranya dapat terus dikembangkan seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, Pers, Partai Politik, Perguruan Tinggi, serta adanya supremasi hukum yang jelas, namun sepertinya sebagian dari pilar tersebut justru mengarah kepada “penghambat” laju pengembangan masyarakat sipil itu sendiri.

Lembaga swadaya Masyarakat misalnya, melalui penelitian yang dilakukan oleh Dr. Mansoer Fakih terhadap perkembangan LSM dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, menunjukkan bahwa di kalangan aktivis LSM sendiri masih adanya kegelisahan terhadap peran mereka dalam proses perubahan sosial bagi tercipanya masyarakat sipil. Kegelisahan itu justru muncul dalam kekecewaan yang mempertanyakan misi, visi dan paradigma LSM itu sendiri tentang perubahan sosial. Belum lagi masalah internal partai politik yang belum menunjukkan kemanjuan dalam berdemokrasi yang tentunya dapat menghambat perkembangan masyarakat sipil itu sendiri.

Walaupun sebagian dari LSM telah membuat sebuah perubahan yang berarti, seperti melakukan advokasi akan hak-haknya sebagai warga negara dan memberi pendidikan bagi masyarakat baik dalam bidang social, politik, ekonomi serta hukum. Tentu ini adalah langkah awal yang berarti demi terwujudnya masyarakat sipil di negeri ini

Masa Depan Masyarakat Sipil di Indonesia
Sebagai bekas negara jajahan, kemunculan masyarakat sipil banyak dipengaruhi oleh campur tangan lembaga internasional yang menghendaki tumbuhnya nilai-nilai demokrasi. Tetapi akan menjadi pertanyaan sejauhmana kontribusi organisasi masyarakat sipil ketika donasi lembaga internasional tidak dilanjutkan kembali. Sudah menjadi rahasia umum, keberlangsungan organisasi masyarakat sipil di Indonesia tidak terlepas dari program yang ditawarkan oleh institusi asing. Sebagai contoh dengan mengusung tema demokratisasi, aliran donasi asing masuk ke Indonesia untuk mendukung perwujudan kehidupan demokrasi hal ini terlihat dalam pemilu 1999 dan 2004. Dan ini berimbas pada ketergantungan organisasi masyarakat sipil terhadap kucuran dana dari lembaga internasional.

Hal tersebut yang menjadi salah satu kelemahan dari proses pengembangan kekuatan masyarakat sipil di Indonesia. Selain itu kegiatan yang dilakukan biasanya hanya sekali jalan tanpa tindaklanjut yang jelas seperti sosialisasi kepada publik dan keberadaan program lanjutan. Sesungguhnya dari program yang dijalankan oleh organisasi masyarakat sipil diharapkan menjadi “bola salju” yang mampu memberdayakan warga negara dan tidak berhenti begitu saja.

Dapat dikatakan belum banyak kontribusi berarti dari organisasi masyarakat sipil untuk memperkuat partisipasi publik dalam penentuan dan pengawasan kebijakan pemerintah. Andi Widjajanto menyarankan supaya muncul cara pandang baru yang dapat menghubungkan poros warga dengan poros negara atau poros pasar karena masyarakat akar rumput merupakan penopang dari proses transformasi global. Akan lebih baik bagi organisasi masyarakat sipil untuk memperluas kajiannya, membuat kerja sama dengan organisasi lain, dan memperkuat database-nya sebagai upaya merumuskan alternatif-alternatif kebijakan publik.

Penutup
Pentingnya sebuah pendidikan politik bagi masyarakat akan meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap kewajiban dan hak apa yang harus dilaksanakan dalam statusnya sebagai warga negara yang berhadapan dengan negara. Pendidikan politik yang benar akan menuntun dan memperbaiki budaya politik yang selama ini melekat dalam diri masyarakat Indonesia. Minimal dimulai dari pengetahuan politik yang benar.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) harus memposisikan diri sebagai lembaga yang mengawal proses perubahan sosial demi terwujudnya civil society. Posisi itu ditemukan dalam pembuatan visi dan misi yang jelas disertai program yang mendukungnya. Pelaksanaan dialog dan diskusi yang berkelanjutan akan membangkitkan pengetahuan dan kekritisan di kalangan aktivis LSM yang nantinya akan menaruh kepedulian terhadap proses perubahan sosial di negeri ini.

Perguruan tinggi dengan mahasiswa sebagai garis terdepannya, dituntut untuk senantiasa melakukan moral force dalam mengkritisi kebijakan pemerintah serta juga pers yang bebas secara sehat dalam memberitakan informasi yang dapat memupuk pengetahuan politik warga negara melalui fungsi edukasi dan sosialisasi informasi yang bersifat politis. Sehingga nantinya diharapkan akan tercipta sebuah tatanan masyarakat yang diidamkan yakni terciptanya masyarakat sipil Indonesia yang mandiri, sejahtera dan beradab.

Catatan Kaki :
Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society; Wacana dan Aksi Ornop Di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2006, hlm 203.
Ibid; hlm 34.
Ibid, hlm 204.
Larry Diamond, “Journal of Democracy”, Vol. 5 Juli 1994.
Hikam, AS, Muhammad. 1996. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES, hlm 3.
Diamond, Larry. 2003. Developing Democracy toward consolidation. Yogyakarta: IRE Press.
Diamond, Ibid, hlm: 281-283.
http://ham-demokrasi.blogspot.com/2007_07_01_archive.html
http://naonsyah26.multiply.com/reviews/item/18

0 komentar: