Selasa, Maret 10, 2009

Agama dan Negara; Dinamika Pertentangan Ideologi Dunia


Oleh : Ruslan H. Husen

Pengantar
Tulisan ini sebagai tanggapan penulis terhadap Opini Mun’im A Sirry di salah satu surat kabar nasional dengan judul “Islam, Sekularisme dan Negara”. Hal ini bukan bermaksud melakukan penentangan secara radikal dengan menganggap tulisan tersebut tidak benar, tetapi lebih pada pengayaan wacana untuk peningkatan potensi intelektual.

Di dalam tulisannya itu, Mun’im A Sirry pada intinya ingin menyatukan atau merumuskan cara pandang baru tentang Islam dan sekularisme berhubungan dengan dinamika bernegara. Cara pandang itu terlahir akan realitas dan dinamika kehidupan bernegara didunia. Penyatuan itu terlahir dari cara pandang atau penafsiran dari masing-masing, yang dilakukan tidak secara rigid (tekstual) melaikan secara liberal. Sebab baginya ideologi itu ditentukan dari cara pandang masing-masing penganutnya. Seperti yang ditulisnya :

“Islam sangat terbuka untuk ditafsirkan secara rigid atau liberal. Apabila Islam dan sekularisme ditafsirkan secara liberal, tidak ada masalah dengan Islam dalam tataran sekuler”.

Baginya, apabila sekulerisme dan Islam ditafsirkan secara rigiq, maka kedua-duanya akan saling bertentangan, tetapi bila ditafsirkan secara liberal bisa saja keduanya menjadi kesatuan yang utuh atau muncul ideologi baru sebagai hasil penyatuan itu. Maka dengan ini tujuan dari masing-masing ideologi itu dapat terpenuhi, dengan bekerja sama menggunakan segenap potensi yang ada.

Untuk menguatkan argumentasinya itu diambil berbagai macam contoh negara yang menerapkan sekulerisme dan Islam dalam kehidupan bernegara. Misalnya Rusia dan Cina yang memisahkan agama dalam penyelenggaraan negara. Negara-negara itu dapat mensejahterakan rakyatnya tanpa memasukkan unsur-unsur agama kedalam negara. Begitu pula dengan dinamika kehidupan bernegara di Turki yang beraroma sekuler, bahkan mematikan simbol-simbol keagamaan termasuk gerakannya yang berusaha muncul. Turki berusaha mempertahankan identitas sekulernya, dengan menjauhkan penyelenggaraan negara dari nuansa agama khususnya Islam.

Alat Epistemologi Melahirkan Perbedaan Ideologi
Setiap ideologi terlahir akibat cara pandang terhadap alam yang berbeda. Perbedaan itu terlahir dengan penggunaan alat epistemologi yang berbeda. Islam menggunakan alat epistemologi yaitu, indera, akal dan hati (intuisi). Sementara sekularisme yang beranjak dari filsafat materialisme tidak menggunakan hati (intuisi) sebagai alat epistemologinya. Alat epistemologi itu menjadi suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan menggunakannya secara keseluruhan maka akan didapatkan pengetahuan yang holistik (utuh).

Pengalaman empirik yang dilakukan oleh indera terlahir sebagai pengetahuan, tetapi itu belum sepenuhnya betul sebab indera sering mengalami kesalahan didalam kerjanya. Misalnya, pensil yang dimasukkan kedalam gelas bening berisi air jernih akan tampak seperti bengkok, dalam pengetahuan inderawi khususnya mata, hal itu adalah realitas yang tampak, tetapi kenyataan yang sesungguhnya tidaklah demikian.

Makanya untuk mengimbangi keterbatasan indera itu perlu ditunjang oleh potensi akal. Dengan penalaran rasio keterbatasan inderawi dapat teratasi. Dalam kasus pensil itu, akal akan berkata, pensil ini tetap lurus yang menyebabkan bengkok hanya biasan dalam air.

Untuk memaksimalkan potensi epistemologi itu sangat perlu ditunjang oleh peran hati (intuisi). Dengan hati pengetahuan dibalik realitas yang tampak akan diketahui. Dalam kerjanya tidak hanya melibatkan unsur fisika saja tetapi juga unsur metafisika menjadi bagian tidak terpisahkan. Kerja hati ini diibaratkan dengan kerja cermin, tetapi tidak dapat disamakan dengan cermin. Sebab cermin hanya menampilkan bayangan yang ada didepannya, sementara hati bekerja menampilkan realitas yang tampak maupun hakikat yang tidak tampak. Dari sini-lah Tuhan, malaikat, setan dan jin dipahami.
Islam pada hakikatnya berorientasi sebagai petunjuk manusia demi keselamatan didunia dan kebahagiaan akhirat. Olehnya itu Islam memuat ajaran atau aturan yang berhubungan manusia dengan Tuhan (Allah), manusia dengan sesama manusia dan lingkungannya.

Untuk ideologi sekulerisme yang beranjak dari faham materialisme, tidak menggunakan hati (intuisi) sebagai alat epistemologinya, sehingga orientasinya terbatas pada sisi keduniaan saja. Kalau-pun ada penalaran yang metafisika telah dikongkretkan dalam bentuk materi yang dan dapat diinderai. Misalnya, unsur Tuhan telah diubah menjadi materi yang dapat dibentuk dengan sesuka hati oleh manusia.

Demikian pula dengan hasil kebudayaannya, kebanyakan mengandung bebas nilai yang lebih mengutamakan keuntungan dan kesenangan belaka, dengan menghinakan dan mematikan fitrah kemanusiaan serta kerusakan alam.

Islam Sebagai Dasar Negara
Islam pada dasarnya mempunyai falsafah hidup, asas-asas sendiri yang berbeda dengan ideologi lainnya. Ideologi Islam ini pada dasarnya sebagai medium (sarana) dalam mencapai kejayaan dunia dan kebahagiaan akhirat, dengan penyeimbangan antar keduanya. Umat Islam dalam menjalani kehidupan ini, pada hakikatnya adalah beribadah, sehingga setiap dimensi sisi kehidupan manusia adalah sarana ibadah, baik berhubungan dengan Tuhannya maupun dengan sesama manusia. Seperti yang terdapat dalam Surat Adz-Dzariyat : 56 “Tidak Aku jadikan Jin dan Manusia itu, hanyalah untuk beribdah kepada-Ku”.

Olehnya itu umat Islam dalam menjalani kehidupan ini diberi aturan baik yang berhubungan manusia dengan Tuhan, maupun manusia dengan sesama manusia dan lingkungannya. Pelaksanaan aturan itu mesti didukung oleh negara. Artinya negara mesti memberikan kebebasan kepada warganya untuk melaksanakan agamanya itu. Dengan demikian negara harus menyediakan ruang aktualisasi pelaksanaan agama, dengan tidak melakukan intervensi apalagi mematikan gerakan beragama itu.

Islam menghapuskan segala macam kependetaan dalam beribadah. Kependetaan itu menjadi alat jamaah dalam berhubungan dengan Tuhannya yang diangkat melalui upacara-upacara keagamaan. Ulama dalam Islam dianggap sebagai guru dari berbagai macam cabang ilmu pengetahuan, tetapi tidak menjadi jembatan untuk menghubungkan hamba dengan Tuhannya, seperti pendeta dengan jamaahnya.

Islam sebagai agama paripurna yang mengatur setiap dimendi manusia, termasuk yang berhubungan dengan negara. Agama bukanlah merupakan ancaman dalam bergeraknya negara, tetapi agama menjadi suatu yang substansi dalam penyelenggaraan negara. Agama menjadi dinamisator dan keseimbangan bernegara untuk memperbaiki hubungan antar sesama manusia demi perdamaian dunia.

Dasar negara atau konstitusi yang merupakan hukum dasar berjalannya negara harus berurat dan berakar atas kepribadian bangsa. Kepribadian itu menjadi keyakinan yang telah hidup dan berkembang dan menguasai alam pikiran, perasaan yang teraktualkan dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula dengan aturan pelaksana dari konstitusi itu, merupakan kebudayaan yang telah tumbuh dan berkembang dimasyarakat secara luas.

Sekularisme Atau Agama
Sekularisme adalah faham tentang suatu cara hidup yang mengandung tujuan dan sikap hidup pada sisi realitas keduniaan saja. Faham ini sebagai perkembangan dari pemikiran materialisme yang tidak mengenal akhirat, Tuhan, malaikat. Namuan untuk waktu tertentu kadang-kala juga mengakui adanya Tuhan ketika ada kepentingan.

Sekularisme dalam perkembangannya tidak mengakui adanya wahyu sebagai sumber kepercayaan dan pengetahuan. Pengetahuan sekularisme sepenuhnya dikembangkan pada sisi keduniaan, kalau-pun ada yang bersifat metafisika telah diterjemahkan dalam bentuk yang materi (fisika). Pengetahuan itu lahir dari penggunaan alat epistemologi empirik dan rasional, tanpa melibatkan hati (intuisi) yang kerjanya kebanyakan bersifat non-material.

Hal itu juga menjadikan sekularisme memisahkan pengetahuan dan etika. Pengetahuan ilmiah menjadi kebenaran mutlak yang mereka temukan, sementara etika hanya bergantung pada manusianya. Beda manusianya, maka beda pula etikanya, sementara kebenaran ilmiah tidak berubah dimanapun dan kapanpun. Dari sini peraturan keagamaan hanya dianggap sebagai kebiasaan belaka yang dilaksanakan turun temurun dan tidak memiliki kekritisan terhadap realitas zaman. Seolah-olah agama dipahami sebagai kebiasaan dalam antrian membeli karcis pertandingan sepak bola.

Pemisahan pengetahuan dan etika itu juga menjadikan nilai-nilai kemanusiaan yang fitrah tidak memperoleh tempat yang terhargai, misalnya kumpul kebo bukan merupakan pelanggaran terhadap kesusilaan sebab terjadi dengan suka sama suka (S3). Etika itu berhubungan dengan mayoritas pendukung dan merupakan kebiasaan yang terpisah dengan agama. Nilai-nilai kemanusiaan atau-pun keTuhanan hanya lahir dari kebiasaan yang berkembang dan telah mereka ciptakan sendiri. Dari sini etika dapat berbeda berdasarkan tempat dan waktunya, sesuai dengan keinginan mayoritas.

Penutup

Keinginan Mun’im A Sirry dalam merumuskan cara pandang baru dalam penyatuan Islam dan Sekularisme berhubungan dengan negara memang sulit untuk diwujudkan. Sebab keduanya memiliki kerangka epistemologi yang berbeda serta orientasi yang berbeda pula. Memang dari tujuan akhir ideologi itu dapat menemui kesamaan yaitu kesejahteraan dan keadilan sosial, tetapi bukan berarti hal itu dapat terjawab dengan menyatukan keduanya dalam proses mencapai tujuan itu.

Antara Islam dan sekularisme masing-masing memiliki prinsip dan falsafah hidup sendiri yang berbeda antara satu dengan lainnya. Perbedaan itu, tidak dapat menyatukan keduanya dalam proses menjapai tujuan bersama. Jika keduanya ditafsirkan tergantung bagaimana cara penafsiran, maka dari itu akan melahirkan bias makna. Artinya esensi ajaran dari ideologi itu tidak akan sesuai lagi dengan yang sebenarnya.


0 komentar: