Selasa, Maret 10, 2009

Sosialisme Religus; Mencari Persinggungan Antara Marxisme Dengan Islam


Oleh : Ruslan H. Husen

Tangan penguasa yang bersimbah darah akan
Melahirkan generasi yang menghunus pedang. (Syafinuddin Al-Mandary)


Peradaban Yang Tidak Berprikemanusiaan
Di tengah kebimbangan masyarakat dunia dalam menemukan titik-titk terang kehidupan, manusia cenderung terjebak di dalam pusaran ideologi-ideologi paragmatis semata seperti, Utilitarianisme, individualisme, materialisme, paragmatisme dan hedonisme.

Ideologi tersebut begitu deras mengaliri otak-otak manusia hingga menyumbat naluri dan akal sehat kemanusiaan, untuk berfikir dan berbuat sesuai dengan fitrah kemanusiaannya untuk turut serta melakukan perbaikan terhadap diri dan lingkungannya.
Realitas yang sedang terjadi begitu nyata terlihat dan telanjang, bagaimana kemudian manusia dipaksa oleh sistem penguasa untuk mengakui kesalahan sebagai suatu kebenaran yang diikuti, karena dia memiliki kekuasaan dan otoritas yang mutlak. Sementara kebenaran sendiri bersembunyi di balik topeng para pecundang publik, para topeng institusi otoritas yang memonopoli kebenaran, yang mengklaim diri sebagai sumber kebenaran zaman dan peradaban. Hingga setiap gerakan-gerakan ideologis harus melalui jaring-jaring dan sistemnya, yang apabila tidak sesuai dengan arah geraknya maka harus siap dianggap sebagai gerakan sesat dan harus di musnahkan dan dihancurkan.

Hukum dan keadilan semakin menjadi benda sejarah yang tidak layak lagi di pertontonkan di publik, sementara ketimpangan dan keserakahan diusung kepermukaan dan di tonjolkan untuk diterima dan diakui. Kini, politik layaknya pasar para pedagang sapi yang hanya mencari keuntungan mateil semata. Agama telah banyak dipelintar kekiri dan kekanan, ayat-ayat Tuhan telah di rubah dan di legitimasi untuk melegalkan tindakan penindasan dan pemerasan yang dipelopori oleh pihak bermodal dengan legitimasi piahk penguasa. Budaya tidak lagi hadir untuk memberi kesejahteraan terhadap jiwa yang dahaga, tetapi telah hadir dan merembak ke relung-relung sakral seni kemanusiaan yang dilakukan semata-mata demi kepuasaan semu dan kepentingan uang dan terus demi uang. Ia telah memanjakan selera mata, telinga dan seluruh organ tubuh manusia yang hilang akan kendali dan orientasi. Kemerdekaan kemanusiaan telah disalah artikan menjadi kebebasan absolut tanpa batas, yang secara tidak disadari ia justru terjebak ke dalam penjajajahan terhadap totalitas eksistensi dan esensi manusia itu sendiri kini dan masa yang akan datang.

Umat manusia kini sudah kehilangan harta yang sangat berharga, yakni hati nurani dan akal sehat kemanusiaannya. Tapi sungguh sangat disayangkan kehilangan itu masih dianggap sebagai suatu hal yang biasa yang tidak perlu di cari atau disesalkan karena alasannya zaman telah berubah dan terus menuju kesempurnaan yang nilai atau norma dahulu belum tentu sesuai dengan norma di zaman sekarang ini. Akal sehat dan hati nurani kini dikubur dan diganti dengan ideologi para penjajah dan pemilik modal. Cara pandang dan gaya hidup, serta pilihan hidup semua menuju kubangan besar yang bernama hedonisme, yang hanya mencari kenikamatan sesaat, kepuasan sementara yang semuanya semu dan hanya menambah hausnya jiwa akan pemenuhan materi yang tidak akan ada ujung pangkalnya.

Dalam konteks global, dunia ketiga termasuk juga negara Indonesia, telah dijajah habis oleh para peguasa peradaban. Kekayaan alam dikeruk dan dikuras di balik jargon-jargon basi seperti liberalsime ekonomi, HAM, Demokrasi dan perdagangan bebas. Slogan kebebasan digembor-gemborkan di balik niat penghancuran dari dalam. Hantu terorisme terus digencarkan dan dipelihara dibalik niat pembunuhan dan penculikan aktivis serta memperoleh keuntungan materil yang tidak ada putusnya, sebab di sana tersedia proyek pengamanan daerah konflik, operasi keamanan sampai pada rekonstruksi fasilitas pasca konflik. Ketakutan dan kecemasan terus dihembuskan, sehingga memaksa para penakut untuk bersembunyi dan berlindung di balik para pengacau dan penjajah yang sebenarnya. Penjajahan dan penindasan kemerdekaan terus dilakukan atas dasar membebaskan rakyat dari rezim dari pemerintahan otoriter yang katanya tidak berperikemanusiaan. Bukankan itu semua yang namanaya suatu tipu daya yang lebih kejam dan sadis dari setan sekalipun.

Tapi, masyarakat dunia ketiga tidak lagi memiliki apa pun selain hati nurani dan akal sehat yang telah terkoyak dan tak berarti lagi. Ketidak berartian itu selanjutnya diserahkan kepada Tuhan pemilik segala kuasa di bumi dan di langit guna mendapatkan mukjizat dengan terus berdoa dan bersabar di bawah penindasan. Karena mereka tidak lagi punya nyali dan keberanian untuk melawan dan memberontak, sehingga hanya Tuhan yang sanggup untuk membantu dan melawan setan-setan panjajah peradaban.

Kini dunia tidak lagi memiliki kehendak dan daya, semua mengalami penundukan dan meluncur kearah barat. Dunia sedang berada dalam cengkrama Barat dalam segala sisi kehidupannya baik politik, hukum, sosial budaya, ekonomi dan hankam. Kini telah sangat sulit diketemukan sebuah negara yang benar-benar bersih dan bebas dari pengaruh barat. Masyarakat secara umum telah terpengaruh dan menderita sehingga penyelesaian itu dianggap hanya ada pada peradaban barat saja.

Kini peradaban dunia sangat membutuhkan orang-orang yang bernyali besar dan kharismatik untuk berani melawan dan menyelesaikan peradaban dunia yang destruktif untuk keluar dari penjajah dan penjarah hegemoni peradaban. Kehadiranya sebagai motor penggerak perubahan masyarakat menuju keadaan yang lebih baik sangat di nanti, dengan orientasi yaitu peradaban yang berprikemanusiaan beserta hasil-hasilnya.

Tentunya perannya dalam perubahan, tidak bisa dilepaskan dari ideologi yang melingkupinya, karena ideologi menentukan karakter, paradigma dan cara berfikir dalam memandang segala sesuatu termasuk kerusakan kemanusiaan yang ditimbulkan oleh pihak bermodal dengan legitimasi penguasa. Ideologi dunia terbesar sekarang disamping ideologi kapitalisme adalah ideologi sosialisme dan Islam. Kedua ideologi besar dunia ini mempunyai titik singgung dalam melihat realitas kerusakan kemanusiaan yang diakibatkan pengaruh ideologi kapitalisme yaitu sama-sama menentang kapitalisme, disamping pertentangan diantara mereka.

Sosialisme dalam Praktek
Sejarah telah mencatat bahwa sosialisme merupakan gerakan ideologis yang cukup besar dan berpengaruh kuat dalam paradigma masyarakat dunia. Sosialisme digunakan untuk mengacu pada bangun kepercayaan komprehensif atau idealisme tentang sebuah masyarakat dan negara sesuai dengan cita-cita penggagasnya. Para sosialis mendasarkan idenya pada nilai-nilai perjuangan terhadap persamaan, keadilan sosial, kemajuan, kebebasan individu dan kontrol negara terhadap barang.

Sosialisme memiliki idealisme hendak mewujudkan tatanan masyarakat tanpa kelas, dengan melenyapkan kapitalisme yang digantikan dengan kepemilikan bersama, yang produksi dan distribusinya sepenuhnya dikontrol oleh pemerintah. Gerakan yang dilakukan untuk mencapai masyarakat yang diidealkan tersebut melalui jalur konstitusi negara atau melalui gerakan revolusioner.

Dalam perkembangan selanjutnya, sosialisme versi Karl Marx dipopulerkan dengan sebutan Marxisme. Istilah ini sendiri adalah sebutan bagi pembakuan ajaran resmi Karl Marx yang dilakukan oleh temannya yaitu Friendrich Engels dan Karl Kautsky. Dengan sebutan baru itu, Marxisme menjadi ideologi gerakan yang cukup populer dalam mewujudkan masyarakat tanpa kelas dan mempengaruhi pemikiran berbagai kelas sosial.
Dalam menjelaskan doktrin Marxisme tersebut, Engels mengajukan thesis bahwa alam menghasilkan sejarah panjang pengalaman dan masyarakat ditentukan oleh hubungan-hubungan ekonomi, produksi, dan pertukaran (distribusi). Bahwa seluruh perkembangan sejarah bersumber pada faktor-faktor ekonomi dan revolusi proletar, sehingga orintasi Marxisme, masyarakat tanpa kelas merupakan akibat yang tidak dapat dihindari dari hukum-hukum obyektifitas gerakan kapitalisme.

Sementara dari sudut politik, Engels menjelaskan pemikiran Marx yang mengidealkan masyarakat tidak bernegara dalam sebuah masyarakat komunis. Selain itu mengkritik keberadaan perwakilan politik (wakil rakyat) yang berada di parlemen yang cenderung mengalienasi masyarakat dan mendukung eksistensi kapitalisme.

Karakteristik Agama Islam
Sejarah membuktikan bahwa Islam sendiri muncul sebagai agama revolusioner dan sejak itu pula telah bekerja sebagai suatu gerakan revolusioner yang membebaskan manusia dari berbagai penyimpangan yang menyebabkan penderitaan. Dalam konteks sejarah pula, masyarakat muslim telah mencapai tingkat solidaritas sosial yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa serta berhubungan dengan bangsa-bangsa lain.

Hubungan egaliter antara kelompok masyarakat yang terbagi menjadi suku-suku terbangun setelah kehadiran Islam di negara Arab. Peran seorang Muhammad Saw, dalam mendamaikan antar kelompok sosial sangat signifikan karena ia dikenal oleh tiap-tiap kelompok sosial yang ada sebagai manusia berperikemanusiaan dan tidak memiliki cacat moral, ia dipercaya oleh mereka secara obyektif dan sebenarnya.

Islam sebagaimana halnya kapitalisme, secara normal juga mengakui kebebasan berusaha dengan lembaga kepemilikan pribadi, sistem pemasaran dan keuntungan. Akan tetapi, ia berbeda dengan kapitalisme, karena hak milik dalam Islam bukan seluruhnya, baik dalam esensi maupun milik pribadi. Ada sebagian harta yang menjadi hak bagi golongan masyarakat lain sebagai manifestasi tanggung jawab sosial, yaitu pada golongan yang lemah dan terpinggirkan (mustad’afin). Prinsip tersebut biasanya dikenal dan disalurkan dengan mekanisme zakat, sedekah dan infaq.

Dengan cara pandang demikian, Islam mensyaratkan kepemilikan pribadi tidak semata-mata digunakan untuk memenuhi kebutuhan, melanikan juga harus berfungsi sosial. Kepemilikan tidak hanya bergulir dalam rotasi kelompok bermodal saja, tetapi juga alur distribusinya juga harus merambah kekalangan miskin dan lemah. Kecenderungan monopoli tidak memperoleh legalitas karena cenderung pada perampasan hak orang-orang miskin, seperti penumpukan harta, kikir dan penguasaan sumber ekonomi oleh kelompok kecil masyarakat.

Islam sebagai ideologi pembebasan, sangat konsen terhadap kaum tertindas, tertekan, dan teraniaya. Sampai-sampai Muhammad Saw, sebagai pembawa ajaran Islam ini yang bukan hanya mengajarkan zikir dan doa saja tetapi juga mengajarkan dan mensyariatkan untuk melakukan pembelaan terhadap kaum lemah dan terpinggirkan. Islam sebagai ideologi dunia dan berperan dan berorientasi sebagai rahmat bagi semua manusia, yang didalamnya terdapat kesejahteraan dan keadilan. Berisi gerakan dan upaya perwujudan nilai-nilai perjuangan pemusnahan penindasan bagi orang-orang miskin dan terpinggirkan serta persamaan hak dan kewajiban diantara seluruh masyarakat.

Membebaskan kelompok lemah dan terpinggirkan dari kekuasaan rezim yang diktator dan tidak berpihak kepada rakyat, dalam Islam merupakan tugas mulia dan agung. Melaksanakannya adalah jihad yang cukup berat. Hingga Alquran mengilustrasikan sebagai jalan yang menanjak dan terjal, dalam surat Al-Balad ayat 12-18 :

“Dan Bagaimanakah kamu dapat memikirkan apa itu jalan menanjak lagi terjal itu ? yaitu membebaskan manusia dari perbudakan atau memberi makan pada hari kelaparan, seorang yatim piatu kerabat dekat, atau seorang (asing) yang kekurangan terbaring diatas tanah berdebu dan, dengan demikian, termasuk orang-orang yang telah mencapai iman, dan yang saling menyuruh untuk sabar dalam penderitaan, dan saling menyuruh untuk berkasih sayang. Demikian itulah orang yang telah mencapai sisi yang benar (yaitu kebajikan).”

Terjadinya praktek penindasan merupakan tanggung jawab seluruh komponen masyarakat, termasuk didalamnya kelompok-kelompok yang terlibat penindasan itu. Dalam mencapai perubahan sosial, Islam membangkitkan kesadaran kelas secara humanistik. Oleh sebab itulah baik penindas maupun yang tertindas sama-sama bertanggung jawab atas praktek sistem yang ada dan tidak adil. Penindas bersalah karena arogansi karena kekuasaanya menyebabkan masyarakat melupakan hak-haknya. Sebaliknya orang tertindas juga menjadi orang bersalah jika mereka hanya diam tidak melakukan perlawanan.

Kondisi masyarakat di bawah kontrol otoriter para pemilik modal, telah menggiring mereka pada pandangkalan makna Islam yang hanya dipahami sekedar aktivitas ritual dan fiqih yang tidak menjangkau wilayah politik, terlebih masalah sosial kemasyarakatan. Seharusnya Islam sebagai suatu mazhab sosiologi ilmiah harus difungsikan sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan rakyat tertindas, baik serara kultural maupun politik. Islam sebagai sebagai mazhab meyakini bahwa perubahan sosial termasuk revolusi dan perkembangan masyarakat merupakan organisme hidup, memiliki norma-norma kekal dan norma-norma yang tergugat dan dapat diperagakan secara ilmiah. Selanjutnya, manusia memiliki kebebasan dan kehendak bebas, sehingga dengan campur tangannya dalam menjalankan norma masyarakat, setelah mempelajarinya dengan menggunakannya, dapat berencana meletakkan dasar-dasar bagi masa depan yang lebih baik untuk individu maupun masyarakat.

Pertentangan Marxisme dengan Agama (Islam)
Agama dan Marxisme dipandang sebagai dua kekuatan yang kontradiktif dan cenderung bertolak belakang. Kecenderungan ini bisa dipahami karena secara konseptual di dalamnya terdapat semacam aksioma yang sangat kontras antara agama dan marxisme. Marxisme tidak mungkin hadir secara bersama-sama sebagai sistem dimana keduanya dapat hidup dalam kesatuan, sehingga hubungan yang terjalin ada saling mematikan potensi.
Marxisme dikutuk karena telah menolak eksistensi agama. Lebih keras lagi agama memandang Marxisme sebagai doktrin yang sesat yang tidak perlu diikuti bahkan kalau perlu dimusnahkan. Realitas tersebut didasari oleh Marxisme mengangkat salah satu dogma yang menunjukkan sikap anti pati terhadap keyakinan pada sifat-sifat metafisik non materi. Marxisme menyatakan bahwa agama adalah candu bagi masyarakat (religion is the opium). Agama dianggap telah mengalienasi manusia dan dirinya sendiri.

Sebaliknya, Marxisme memandang agama tidak jarang tampil sebagai pendukung status quo. Agama sering di salah gunakan dalam menentang perubahan dan proses transpormasi, bahkan lebih cenderung mengabsahkan stagnasi tradisi yang telah sejak lama eksis di tengah masyarakat. Dalam konteks sejarah pun, agama pernah mengalami penyalahgunaan oleh penguasa dan pemuka agama demi kepentingan tertentu dalam masyarakat. Bahkan lebih jauh, agama justru dimanfaatkan oleh mereka untuk membungkam dan mengelabui masyarakat dari kesadaran untuk melihat segala bentuk kekeliruan dan ketidakadilan.
Polemik yang terjadi seputar dua ediologi tersebut tidak pernah menyisakan suatu hubungan yang saling bertemu satu sama lainnya. Marxisme senantiasa menempatkan diri kontra agama tanpa pembelaan sedikit pun juga. Marxisme dan agama saling mematikan potensi, yang tidak dapat hidup bersama-sama dalam suatu ruang dan waktu.

Sosialisme Religius; Mungkinkah ?
Secara esensi gerakan sosialisme muncul sebagai bentuk protes atas kapitalisme yang timpang dan menindas. Dari seluruh rentangan sejarah yang pernah ada, lahir dan bertumbuhnya sosialime diinspirasi oleh segala bentuk praktek yang tidak wajar. Ketimpangan dan ketidak semestian dilakukan oleh sekelompok manusia terhadap manusia lain.

Sementara dalam sisi ini, jelas Islam jelas dapat mencapai kesepahaman, meskipun dalam tataran yang masih dangkal. Akan tetapi seperti halnya Marxisme, Islam yang sesungguhnya sebagai bagian dari korpus besar mush Marxisme, mengalami kesulitan untuk menemukan model sintesanya.

Jika kita berusaha dalam melacak akar permasalahannya, ternyata Islam dan Marxisme lahir dari kandungan yang sangat berbeda dan berkembang tidak saling kenal satu sama lainnya bahkan saling mematikan potensi. Marxisme yang anti agama tidak pernah menemukan Islam dalam sosok aslinya sebagai agama revolusioner. Kekeliruan sejarah yang menggiring keduanya dalam hubungan saling mematikan adalah asingnya Marxisme dari wawasan keilmuan Islam. Yang didapatkan hanyalah wajah-wajah agama yang secara kebetulan berwatak garang, eksploitatif dan menindas.

Seperti halnya dengan Islam, agama yang sesungguhnya menentang segala bentuk penindasan, membebaskan kaum lemah dan terpinggirkan yang secara prinsipnya membawa misi pembebasan manusia yang setidaknya seide dengan gagasan Marxisme.

Tapi sangat disayangkan dalam perjalanan sejarah, kedua ideologi ini tidak pernah bertemu dalam suatu ruang dan waktu. Keduanya bertemu setelah tampil dengan wajah besarnya masing-masing tanpa mengenal latar belakang dan akar pertumbuhanya secara langsung. Hingga dalam perkembangannya masing-masing bersikukuh dengan prinsipnya baik yang bersifat universal maupun partikular.

Islam dan Marxisme adalah dua hal yang sangat sulit dipertemukan. Marxisme yang menuduh agama sebagai candu masyarakat, sangat dinilai oleh Islam sebagai kesalahan yang sulit dipahami. Dalam persoalan ini agama selayaknya harus dilihat dari konteks sosiologis dan juga filosofis. Agama dapat menjadi candu atau menjadi kekuatan tergantung pada kondisi sosial budaya yang melingkupinya dan individu atau kelompok mana yang akan bersekutu dengan agama, apakah kaum revolusioner atau para status quo.
Dalam alurnya, Islam sebagai ideologi universal tetap berada pada ranah yang cukup berbeda dengan ide dan pemikiran lainnya termasuk Marxisme. Adapun kalau aksi-aksi dan peran Muhammad saw dan tokoh-tokoh terkemuka Islam yang dikedepankan oleh Islam memiliki kesamaan dengan ide dan gagasan Marxisme, itu karena Islam mengandung kesesuaian dengan nilai-nilai yang universal yang diakui oleh semua manusia yang hampir semua ideologi juga mengakuinya.

Setidaknya dalam hal ini ada dua hal yang dapat disepakati yang merupakan persinggungan antara Marxisme dengan Islam, yaitu pertama bahwa antara Islam dan Marxisme sama-sama merupakan gerakan yang konsen dalam pembelaan kaum lemah dan terpinggirkan serta membebaskannya menuju keadaan yang lebih baik dimana terdapat kesejahteraan yang merata. Keduanya tidak ada yang membenarkan kezaliman terjadi di masyarakat apalagi melakukan legalitas. Bahkan keduanya melakukan perlawanan yang begut gencarnyan.

Kedua, perjuangan untuk melawan eksploitasi manusia oleh manusia lain harus tetap tetap berlangsung sampai terjadinya perubahan sebagaimana yang diinginkan. Antara Marxisme dan Islam memiliki cita-cita ideal, yang harus terwujud walaupun harus berhadapan dengan berbagai macam rintangan, hambatan dan gangguan.

Catatan Kaki
Eko Supriyadi, Sosialisme Islam, Pemikiran Ali Syariati Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm 59
www.alquran-digital.com, Alquran Digital Versi 2.0, Maret 2005.

0 komentar: