Selasa, Maret 10, 2009

MEWUJUDKAN PILKADA YANG DAMAI


Oleh : Ruslan H. Husen

Jika di amati secara seksama judul tulisan ini hanyalah merupakan harapan dan cita-cita untuk konteks ke Indonesiaan. Karena antara idealiatas dengan realitas (das sollen dengan dan saien) sungguh sangat berbeda jauh. Tapi untuk tidak mengurangi semangat, dan tidak muluk-muluk pula tulisan ini memcoba meramaikan pemikiran untuk pemecahan solusi kenegaraan khususnya demokrasi (Pilkada).

Kampanye konstestan Pilkada sudah berlangsung sedemikian gencarnya seakan tidak kenal lelah guna mencari simpatik publik secara luas, walaupun pengumuman resmi kampanye dari KPUD belum dilakukan. Kampanye disini boleh dikata melakukan curi star kampanye, yang kegiatannya telah di bungkus sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan sosial masyarakat seperti, mudik gratis, halal bihalal, pertandingan sepak bola, peresmian gedung, pelantikan pengurus, sumbangan pembangunan fasilitas umum dan berbagai macam agenda lainnya yang tujuannya adalah mencari dan mendapatkan simpati dari masyarakat secara umum.

Fedomena tersebut jika di lihat dari sisi peserta kontestan Pilkada, sudah menjadi kebiasaan yang dianggap sesuatu yang normal dan semua konstenstan telah melakukannya, walaupun kampanye secara resmi belum diumumkan dan diperbolehkan oleh KPU, sehingga masing-masing konstestan saling berlomba-lomba mencari simpati publik. Pembiasaan politik ini-pun dianggap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar dan tidak punya muatan politik tertentu untuk mencari perhatian darinya. Bahkan masyarakat pun dengan sangat antusiasnya mengikuti kegiatan-kegiatan seperti ini, yang jelas mereka beranggapan ada keuntungan materi yang di dapatkannya.

Begitu pula ketika kampanye secara resmi boleh dilakukan, simak saja kejadiaan-kejadian yang terjadi dari akibat kampanye konstestan tersebut, seperti pelemparan sekretariat pemenangan konstestan tertentu, perkelahian massa pendukung sampai pembunuhan. Disini mulai berlaku hukum rimba dimana yang kuat akan memangsa yang lemah demi kepentingannya dan kelompoknya. Semangat emosional tentang ras, agama, daerah, golongan, satu tempat kerja menjadi pertimbangan utama untuk melakukan dukungan, tanpa melihat si konstestan memiliki kapasitas atau tidak untuk memimpin.
Peristiwa berdarah-darah dan pengrusakan fasilitas tertentu terus saja terjadi sampai pengumuman pemenang hasil Pilkada dilakukan secara resmi oleh KPU. Motifnya bisa macam-macam, ada karena dipicu kekalahan, ketidak puasan atau kecurangan salah satu pihak konstestan Pilkada terhadap yang lainnya. Dan yang lagi-lagi menjadi korban utama adalah masyarakat secara umum.

Persoalan yang paling mendasar kenapa tindak kekerasan dalam setiap Pilkada atau Pemilu maupun dalam kehidupan sehari-hari terus saja terjadi adalah karena keahlian dalam berdemokrasi kita belum melembaga sampai ditingkatan paling bawah lapisan masyarakat (akar rumput). Pengetahuan, pemahaman dan perilaku demokrasi cenderung masih hanya dimiliki oleh sebagaian kecil warga saja. Meskipun dalam penyelenggaraan bernegara kita berdasar asas demokrasi, namun masih sebatas pada formalisme, yaitu dengan tersedianya istitusi demokrasi politik seperti partai politik, lembaga legislatif, yudikatif, eksekutif dan lain-lain. Begitu pula demokrasi dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat belum melekat dengan baik, dan masih memetingkan dirinya sendiri alias egoisme pribadi masih menguasainya.

Persyaratan-persyaratan baik yang bersifat normatif maupun empiris harus terpenuhi dalam rangka mewujudkan Pilkada yang damai. Demokrasi yang hanya di pahami oleh elit politik cenderung akan mewujudkan anarki massa, sedangkan demokrasi yang hanya dipahami dikalangan bawah tidak akan mewujudkan ruang artikulasi luas di kalangan publik.

Ada empat persyaratan untuk mewujudkan harapan tentang Pilkada yang damai, yaitu pertama, nilai-nilai demokrasi yang menjadi acuan utama. Harus kita akui bahwa paham demokrasi sesungguhnya tidak berasal dari Indonesia, demokrasi ini berasal dari pencerahan politik yang menjelma dalam revolusi Prancis yang kemudian menjadi nilai universal dan mengglobal. Dalam demokrasi pemerintahan yang dikehendaki oleh rakyat di hasilkan melalui mekanisme kebebasan berpendapat baik oleh individu, kelompok maupun partai. Pembentukan kekuasaan tersebut melalui pertandingan dan yang memperoleh suara yang terbanyak akan lahir sebagai pemenang dan mendapat legitimasi dai publik secara luas. Sementara yang kalah bersedia bekerja sama atau menjadi oposisi yang mengentrol jalannya pemerintahan.

Kedua, kesadaran berdemokrasi yang ada disetiap benak individu. Nilai-nilai demokrasi sudah lama berkembang secara baik, tetapi kesadaran berdemokrasi perindividu belum merata dimasyarakat, kalau-pun ada hanya dimiliki oleh sebagaian kecil saja. Ini dapat dilihat dari kampanye dan pengumuman hasil Pilkada atau Pemilu yang cenderung menimbulkan ketidakpuasan salah satu pihak dan menempuh jalan anarkis sebagai akibat politik yang identik dengan pertumpahan darah. Kalau tindak kekerasan dan mematikan potensi lawan masih tetap ada, maka kesadaran berdemokrasi hanya kesadaran semu dan lahirlah secara terus menerus yang namanya kemunafikan politik, mengaku demokrak tetapi otoriter.

Ketika, perilaku obyektif individual dan sosial. Nilai-nilai dan wacana demokrasi sudah ada di masyarakat, tetapi belum dapat diaktualkan secara baik dan konkret. Demokrasi masih di pahami sebagai sarana untuk menyalurkan pendapat dan aspirasi, tetapi tidak pernah dipahami mendengar aspirasi, pendapat lawan politik. Sehingga yang terjadi adalah melembaganya sifat egosime untuk menang tanpa perduli dengan keadaan pihak lawan. Kalau paradigma ini masih tetap ada, maka kebencian antar kelompok yang berbeda akan terus ada, dan pendidikan politik tidak akan berjalan dengan baik.

Keempat, keberadaan institusi-institusi sosial-politik yang mendorong demokrasi. Pendidikan politik untuk demokrasi harus tetap dilakukan lewat partai politik, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kepemudaan maupun lembaga-lembaga formal lainnya, tetapi juga harus dipraktekkan oleh elit politik secara langsung. Sebab prilaku para elit politik akan cenderung ditiru oleh masyarakat luas terutama oleh pendukungnya. Di samping itu prilaku untuk siap kalah juga harus dimiliki, dengan bersedia bekerja sama atau melakukan oposisi terhadap pemerintahan yang akan berkuasa. Dari berbagai kasus yang telah terjadi utamanya di daerah, yang menang akan mengejek yang kalah, sehingga yang kalah akan berusaha semaksimal mungkin untuk juga bisa menang, maka tidak heran jika sering terjadi perkelahian massa pendukung.
Berbagai tindak kekerasan yang terjadi dalam Pemilu atau Pilkada, mulai dari saat kampanye, pengumuman pemenang dan pasca pengumuman akan terus mewarnai hari-hari kita, apabila kemampuan dan keahlian berdemokrasi kita masih rendah. Untuk dapat mewujudkan pilkada yang damai kedepan, maka setiap individu, kelompok dan institusi-institusi politik harus memiliki kesadaran dan keahlian politik yang handal dan terpuji. Kalau ini tidak ada, maka jangan bermimpi bahwa Pemilu atau Pilkada yang dilaksanakan akan damai, dan yang terjadi pasti akan berujung pada kerusakan dan kekacauan.

0 komentar: