Oleh : Ruslan H. Husen
Utopia Politik
Defenisi utopia menurut Sudarsono , adalah orang yang mengimpikan suatu tata masyarakat dan tata politik yang hanya bagus dalam gambaran tetapi sulit untuk diwujudkan. Sedangkan orang yang mengimpikan suatu tata masyarakat dan tata politik yang ideal dari sisi ide namun sulit untuk direalisasikan disebut Utopis. Sedangkan Utopisme merupakan ajaran yang memberi gambaran tentang tata masyarakat dan tata politik yang sempurna, ideal dalam angan-angan namun silit untuk diwujudkan.
Dengan demikian, Utopia Politik menjadi sistem sosial politik yang sempurna dari sisi ide, gagasan dan konseptual. Sistem itu terdiri dari suprastruktur politik dan infrastruktur politik yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya, jika salah satu unsur mendapat gangguan akan mempengaruhi unsur lain, atau mempengaruhi hasil dari pada sistem politik secara keseluruhan. Kedua unsur, sistem politik itu harus jalan bersama dengan orientasi bersama yang telah tertanam dalam dalam sanubari masing-masing pendukung.
Utopia muncul pada masyarakat yang sedang dilanda krisis. Masyarakat secara umum tentu membutuhkan orientasi kesejahteraan bersama. Namun ada kalanya terjadi krisis akibat ketimpangan struktural politik dan ekonomi dari pada pelaksana kekuasaan negara. Kesadaran masyarakat akan hak-haknya yang telah terampas, menyebabkan tatanan sosial berubah kepada suatu orientasi pencapaian tujuan bersama yang selanjutnya akan melakukan perlawanan terhadap sumber terjadinya keterpurukan.
Proses identifikasi dari krisis tersebut, lahir dari kesadaran ideologis. Ideologi-lah yang menjadi inspirasi atau gagasan utopia politik. Dengan adanya ideologi di peroleh pengetahuan yang holistik (utuh) dengan melibatkan dimesi materi dan dimesi non materi. Dari ideologi—pula menumbuhkan semangat untuk melakukan perubahan terhadap keterpurukan yang ada.
Manusia pada hakikatnya ingin mengembangkan potensi kemanusiaannya, karena salah satu dimensi manusia adalah pengetahuan dan belajar. Potensi kemanusiaan itu terdiri dari potensi intelektual, emosional dan spiritual. Proses pengembangan itu terlahir dari kesadaran ideologis, sebagai tanggung jawab kemanusiaan yang di emban dari sang Pemilik Kekuasaan.
Kesadaran ideologis itu sebagai akibat internalisasi ideologi secara menyeluruh. Artinya mengupayakan setiap potensi yang ada untuk menjalankan dan mempertahankan ideologinya. Setiap tingkah laku dari individu atau kelompok ini sebagai tafsir terhadap ideologi. Tafsir itu menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan-Nya, dan menyangkut manusia dengan sesama manusia.
Dari hasil pengembangan potensi kemanusiaan itulah melahirkan suatu gagasan atau ide yang terbingkai dalam utopia politik. Utopia politik sebagai gagasan yang dianggap sempurna akan disosialisasikan dan dipertahankan keberadaannya dalam berbagai macam tekanan dan ancaman. Dari sinilah lahir radikalisme.
Radikalisme sebagai tindak keras dalam politik, menjadi prinsip hidup yang dipertahankan sebagai bagian dari perjalanan ideologi. Radikalisme itu ditimpakan dari luar masyarakat yang tidak memiliki kesamaan ide dari kelompok pro-perubahan itu. Sebab secara internal dalam utopia politik tidak ada pensosialisasian, dengan mengatakan konsep yang dijalankan sebagai pengembangan dari radikalisme. Melainkan golongan-golongan yang diluar-lah yang sering mencap bahwa mereka itu sebagai tipe gerakan radikalis.
Orientasi Bersama Ideologis
Orientasi bersama sebagai bagian dari kesadaran ideologis secara holistik (utuh), akan melahirkan sikap radikal. Seperti telah disebutkan dimuka, radikalisme ini muncul dari anggapan manusia lain, yang tidak mempunyai gagasan yang sama. Sementara secara internal kelompok anggapan itu tidak ada, semuanya lahir dari tafsir bersama ideologi.
Radikalisme gerakan terjadi melalui beberapa bagian, yang hal itu menjadi ciri dari suatu tindakan radikal. Pertama, pemisahan baik dan jahat. Identifikasi kedua bagian itu, menjadikan pemilik gagasan yang dianggap sempurna berada pada bagian yang baik. Sehingga yang menentang gagasan kolektifnya, diposisikan dikelompok jahat.
Sementara dari kelompok yang dianggap jahat, juga berargumen secara internal didalam kelompoknya, bahwa mereka-lah yang terbaik. Sementara kelompok lain yang tidak memiliki kesamaan gagasan, juga diposisikan sebagai bagian dari kejahatan. Secara umum antara kedua kelompok baik-jahat akan membela diri.
Maka dari dua kubu ini akan saling menjatuhkan atau menyerang. Olehnya kedua kelompok itu dikategorikan juga sebagai kelompok radikal dengan masing-masing gagasannya. Antara keduanya dengan yang lain saling memposisikan sebagai musuh. Logika musuh dapat membahayakan dan mematikan potensi, olehnya itu harus dilumpuhkan. Pemusnahan kejahatan ini juga merupakan tafsir kolektif dari ideologi itu. Fenomena ini-lah yang melahirkan peperangan antara berbagai kelompok dengan kelompok lain, negara dengan negara lain.
Kedua, hierari keanggotaan. Dengan adanya struktur organisasi yang bertingkat-tingkat, akan memuncul radikalisme dari anggotanya untuk menduduki posisi atas, apalagi jika organisasi tersebut memiliki pengaruh yang besar didalam kehidupan masyarakat.
Di sini Haryatmoko, mengelompokkan ambisi anggota organisasi sebagai tindakan radikalisme, yang dapat berujung dengan tindakan kekerasan, serta mematikan potensi anggota lain agar mengurangi persaingan.
Sebenarnya untuk naik kepengurus inti organisasi bukan lobi-lobi politik yang diutamakan, tetapi prestasi dan kemampuan untuk menggerakkan organisasi itu. Sebab apalah artinya seorang pemimpin yang tidak mampu menggerakkan organisasi, tidak memiliki konsep perubahan dan memajukan organisasi. Prestasi dan kemampuan itu adalah bentuk penilaian anggota yang lain, bukan kampanye individu atau figur dari sang kandidat. Anggota-lah yang melakukan penilaian, bahwa diantara mereka ada yang layak diangkat sebagai pemimpin. Bagi sang kandidat, jika ia menginginkan menjadi pemimpin atau duduk dalam struktur inti organisasi, yang ditampakkan adalah prestasi dan fisi perubahan dalam menjalankan organisasi.
Ketiga, Puritanisasi gerakan. Dalam gerakan radikalisme penyatuan gagasan dan musuh bersama adalah mutlak. Olehnya sedini mungkin dihindari kontaminasi ajaran. Kalau-pun ada tetap dalam kerangka diskusi dalam rangka penyatuan gagasan. Perbedaan adalah keharusan, agar ada kedewasaan kepribadiaan dari kader-kader organisasi. Artinya dengan perbedaan menciptakan kedewasaan karakter, yang tetap terbingkai dalam satu organisasi.
Tuduhan merupakan salah satu yang mematikan potensi kepribadian dari anggota organisasi akibat perbedaan pendapat. Anggota-anggota organisasi adalah satu tubuh, yang jika tubuh lain sakit maka bagian tubuh yang lain juga merasakan sakit. Dengan peng-klaiman diri sendiri adalah yang paling benar, dan menempatkan anggota lain pada posisi yang buruk, pada hakikatnya dia berdiri pada api kesalahan. Sebab yang diutamakan adalah tindakan aktual dan bermanfaat bagi semua. Apalah artinya pengklaiman kebenaran tanpa ada manfaatnya terhadap orang lain.
Perubahan Sosial; Anak Kandung Krisis Sosial
Dengan adanya krisis ditubuh masyarakat, menyebabkan goyangnya stabilitas kehidupan kolektif. Krisis menjadi realitas yang menghantui dan menghambat potensi kemanusiaan dalam pencapaian kebenaran dan keadilan. Olehnya krisis mendapat perlawanan dari masyarakat. Perlawanan itu dikarenakan tidak adanya pilihan untuk menentukan masa depan selanjutnya.
Dengan krisis yang terus tumbuh, akan melahirkan kekecewaan yang besar ditengah masyarakat ketika mereka membandingkan nasibnya dengan pihak yang diuntungkan oleh rezim. Artinya rezim yang berkuasa berperan sebagai penyebab krisis dan dengan kekuasaan itu pula menguntungkan pihak lain berkat kerja dan jerih payah pihak yang mengalami krisis berkepenjangan itu.
Krisis berkepanjangan sehingga pemenuhan kebutuhan sebagian besar masyarakat terhambat dan kekecewaan terhadap rezim yang menguntungkan pihak lain, akan melahirkan perubahan sosial demi tujuan ideologis bersama. Ada beberapa sebab-musabab terjadinya perubahan sosial menurut Jalaludin Rakhmat , Pertama, adanya kesatuan ide dan gagasan. Kesatuan itu muncul dengan kesadaran kolektif yang telah tertanam dalam diri masing-masing individu. Kesadaran tentang pandangan hidup, yang memuat pandangan tentang Tuhan, manusia dan alam.
Rezim orde baru dapat turun dari kekuasaannya tahun 1998, karena elemen gerakan dan masyarakat secara umum telah memposisikan rezim itu sebagai musuh bersama, dengan adanya krisis yang terus tumbuh dalam masyarakat luas. Masing-masing elemen gerakan dan masyarakat mempunyai ide dan gagasan untuk mengganti pemerintahan rezim orde baru yang otoriter, sentralistik dan korup dengan pemerintahan baru yang lebih demokratis.
Kedua, tokoh-tokoh pelopor yang kharismatik. Perubahan sosial selalu membutuhkan tokoh. Tokoh disini adalah mereka yang memiliki visi masa depan yang kontra status quo, yang sarat akan keburukan dan penderitaan rakyat itu. Tokoh pelopor memiliki utopia politik-religius yang melakukan perlawanan terhadap keterpurukan.
Imam Khomaeni, pemimpin revolusi Islam Iran tahun 1989, adalah contoh tokoh karismatik yang menjadi lokomotif perubahan melawan rezim Syah Pahlewi yang sentralistik dengan dukungan penuh dari negara Amerika Serikat. Iman khomaeni, mengaktualkan utopia politik-religius ditengah keterpurukan atau krisis masyarakat Iran.
Ketiga, organisasi gerakan sosial pro-perubahan. Organisasi sosial ini menghimpun kekuatan-kekuatan secara massa dan kolektif untuk melakukan gerakan bersama. Penghimpunan itu terhadap basis-basis massa yang memiliki kesamaan orientasi dengan telah mengidentifikasi musuh bersama dan kawan.
Organisasi sosial itu terdiri dari kalangan mahasiswa, agamawan, politisi, akademisi, partai politik, media massa dan lainnya yang pro perubahan. Perlawanan yang terorganisir dari pilar perubahan sosial itu dilakukan secara sistematik dan terencana. Masing-masing elemen bergerak dari tingkat profesinya yang akan ketemu pada satu sasaran yaitu sumber, aktor intelektual lahirnya krisis berkepanjangan.
Sedangkan menurut HMI-MPO ada beberapa prasyarat yang dapat dijadikan justifikasi bagi sebuh perubahan yang sifanya revolusioner saat ini . Pertama, adanya ide, gagasan atau konsep mengenai perubahan. Konsep yang utopis itu lahir dari internalisasi pemahaman ideologis lewat pengaktualan dimendi manusia yang salah satunya adalah pengetahuan dan belajar. Dalam rangka itu digunakan alat epitemologi manusia dalam rangka mencapai kebenaran dan keadilan dalam bentuk perumusan ide, gagasan atau konsep.
Kedua, adanya istrumen yang menopang atau dapat mendorong gagasan perubahan itu baik mobilisasi massa maupun informasi. Dari adanya utopia itu, terdapat lokomotif yang bersedia mengawal dan mensosialisasikan gagasan dan ide itu.
Ketiga, adanya public of commen enemy, yakni baik berupa jargon permusuhan, kondisi yang dirasakan untuk bangkitnya semangat untuk berubah. Pada masyarakat yang sedang dilanda krisis, sangat mudah dibangkitkan amarahnya dengan mengangkat musuh bersama dan utama penyebab lahirnya krisis. Jargon perlawanan menjadi kekuatan dan semangat yang mendobrak kebekuan dan pro status quo.
Keempat, adanya harapan akan masa depan atau semangat utopis yang demikian menjanjikan, misalnya tatanan masyarakat yang adil atau sistem negara yang berpihak pada rakyat banyak atau tata masyarakat yang diridhoi Allah Swt. Kondisi yang ideal itu akan menjadi cita-cita yang akan digapai dalam rangka perbaikan peradaban manusia.
Kelima, adanya figur atau tokoh yang bisa menjadi referen atau tauladan yang memiliki tempat di hati rakyat. Tokoh ini bersifat karismatik yang memiliki prestasi dalam pemimpin dan kemampuan menggerakkan pengikutnya serta mampu menyelesaikan permasalahan dengan konsep-konsep revolusionernya.
Keenam, adanya martir atau tumbal. Perjuangan membutuhkan barbagai macam elemen untuk menggerakkan gagasan dan ide yang ideal itu. Elemen itu bisa berasal dari kelompok agamawan, budayawan, akademisi, mahasiswa, media massa dan lainnya. Dari semua itu akan melahirkan pengorbanan baik tenaga, pikiran, modal bahkan nyawa sekalian.
Dari seluruh perasyarat itu tidak mesti harus terpenuhi semua baru ada perubahan sosial, sebagian saja dari keseluruhan prasyarat itu dapat melahirkan perubahan sosial asal substansi perubahan sosial terakomodir. Memang prasyarat perubahan sosial akan terjadi jika syarat-syaratnya terpenuhi, sehingga dapat dikatakan perubahan itu tidak dapat dijadwalkan, dia akan terjadi dengan sendirinya jika prasyarat perubahan sosial telah terpenuhi.
Catatan Kaki
Tulisan ini dibawakan dalam diskusi bedah opini Kabid Wacana HMI-MPO Cab. Palu pada Kamis, 25 Januari 2007 di Sekretariat HMI-MPO Cab. Adapun opini yang dibedah tulisan Haryatmoko, Utopia Politik dan Radikalisme .
Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm 537.
Jalaludin Rakhmat, Rekayasa Sosial, Rosda, Bandung, 2002.
Ubedillah Badrun, Radikalisasi Gerakan Mahasiswa; Kasus HMI MPO, Media Rausanfekr, Jakarta, 2006, hlm 137.
Selasa, Maret 10, 2009
Radikalisme Gerakan; Dinamika Perjuangan
Label: Opiniku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar