Oleh : Ruslan H. Husen
Setiap ideologi tentu memiliki orientasi masa depan, menyangkut cita-cita yang ingin dicapai sebagai suatu yang ideal dalam mengisi peradaban. Orientasi itu berhubungan dengan keyakinan yang tertanam didalam hati sanubari penganutnya. Dimana penganutnya akan mengaktualkan keyakinan itu, serta menyebarkannya kepada orang lain.
Nilai ideologi itu berhubungan dengan pandangan alam, yang berhasil ditangkap oleh alat epistemologi manusia. Alat epistemologi itu menyakut pengetahuan inderawi, pengetahuan rasional dan pengetahuan lewat hati (qalbu). Perbedaan pandangan alam ini pula yang menyebabkan tafsiran terhadap ideologi juga beragam.
Islam misalnya sebagai suatu ideologi, walaupun banyak juga pihak tidak bersepakat menyebutnya Islam sebagai ideologi karena berasal langsung dari Tuhan. Tetapi bagi penulis, Islam adalah ideologi karena memuat berbagai macam gagasan dan ide yang rasional tentang Tuhan, manusia dan alam yang terpahami lewat budaya manusia.
Dalam Islam yang sumber konstitusinya Al-Quran dan Hadits, juga menimbulkan beragam penafsiran sehingga membagi umat Islam kedalam bagian-bagian. Tetapi bagian-bagian itu bukan untuk menentangkan antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini tidak lebih dari pemahaman dan penafsiran mereka terhadap Quran dan Hadits itu.
Bagian-bagian umat Islam itu diklasifikasikan menjadi empat bagian. Pertama, kaum klasik. Mereka ini memahami Islam secara tradisional dan berlangsung turun-temurun. Didalamnya pula telah bercampur dengan aliran-aliran kepercayaan nenek moyang. Penganutnya tidak memiliki daya atau potensi untuk melakukan pengkajian secara mendalam terhadap Islam itu, sehingga pemahamannya bersifat kaku dengan menafikkan penjelasan rasionalitas. Biasanya bagian umat Islam ini hidup secara berkelompok dalam suatu daerah dan memiliki hubungan dan kekerabatan yang erat.
Kedua, kaum fundamentalis. Mereka ini berkeyakinan segala masalah keduniaan memiliki jawaban pada Al-Quran dan Hadits, diluar dari pada itu tidak ada dan hanya fenomena yang menipu. Doktrin-doktrin keagamaan begitu kental, sehingga pemahaman agama secara tekstual dengan jeneralisasi segala masalah tanpa memandang wilayah dan waktu kejadian. Pemahaman secara tekstual ini pula kadang mengundang sikap radikalis untuk mempertahankan dirinya atau untuk mencapai cita-citanya. Sehingga berperang atas nama Tuhan dengan menumpahkan darah adalah hal yang wajar.
Ketiga, Kaum transpormatif. Melihat segala masalah keumatan berdasarkan waktu dan tempatnya. Konstitusi Islam ditafsirkan secara kontekstual, dengan melihat subtansi ajaran kemanusiaan itu. Bahwa setiap individu memiliki peran yang sama dalam mengembangkan peradaban, tanpa harus melihat dari kelompok mana ia berasal. Dorongan untuk berlomba-lomba berbuat baik adalah isu yang dijalankannya.
Ketiga bagian umat Islam itu bukan bagian yang baku, bisa berubah-ubah tergantung siapa yang mengklasifikasikannya. Tetapi yang penting adalah jangan sampai pembagian itu menumbuhkan semangat bermusuhan antara satu dengan lainnya. Bagian itu hanya untuk menunjukkan penafsiran terhadap konstitusi Islam, yang semuanya tetap bagian dari Umat yang satu yakni Islam yang mempunyai Tuhan Esa dan memiliki orienatsi keselamatan dunia dan akhirat.
Fundamentalisme Agama
Tema-tema ini adalah bagian yang menyentuh bagian keberagaman terhadap fenomena kekinian yang menerpa umat Islam dan umat-umat lain. Media barat sering memberi kesan bahwa bentuk keagamaan yang saling bertentangan dan diwarnai kekerasan yang dikenal dengan fundamentalisme cuma ada pada fenomena Islam. Kesan ini sepenuhnya salah, sebab fundamentalisme agama adalah fakta global dan muncul pada semua ideologi dan kepercayaan sebagai reaksi atas masalah medernisasi.
Dalam hal ini selain ada gerakan Islam fundamentalis, juga ada gerakan Kristen fundamentalis, Hindu fundamentalis, Sikh fundamentalis, Judaisme fundamentalis, dan bahkan konfusianisme fundamentalis . Gerakan fundamentalisme itu tidak muncul begitu saja, tetapi sebagai respon spontan terhadap datangnya modernisasi yang dianggap sudah keluar terlalu jauh dari humanisme. Semua orang berusaha mereformasi budaya mereka dengan memadukan dengan kebudayaan modern. Ketika cara-cara modern dianggap tidak membantu, sebagian diantara mereka menggunakan metode yang lebih ektrim, dan saat itulah gerakan fundamentalisme lahir.
Fundamentaslime terjadi oleh suatu orientasi masa depan atas nama Tuhan. Legalitas tindakan atas nama kehendak Tuhan, bahwa Tuhan berada dipihaknya. Makanya untuk melakukan tindakannya itu, terformat dalam bingkai jihad perang suci yang didalamnya terdapat berbagai macam tindakan dan hambatan.
Fundamentalisme pada hakikatnya memiliki karakteristik , Pertama, merumuskan ideologi tertentu sebagai ancaman terhadap keberlangsungan hidup mereka. Alat ukur untuk menentukan itu adalah dari pemahaman dan keyakinan yang dianut. Argumentasi semakin kuat ketika melihat aksi-aksi ideologi yang dirumuskan sebagai bahaya menimbulkan dampak terhadap kemanusiaan, kerusakan alam dan penghinaan nilai-nilai kemanusiaan.
Pola pikir ini berangkat dari nalar yang telah dipahami sebelumnya, sehingga dengan nalar itu menghadang pemikiran ideologi dari luar. Walhasil pertentangan menjadi bagian dari dinamika ini. Telah tertanan dalam keyakinan untuk melakukan perlawanan dengan segala macam cara.
Kedua, adanya dikotomi dunia menjadi dua bagian yakni dunianya orang muslim dan dunianya orang kafir. Siapa yang berada dalam golongan mereka termasuk golongan yang selamat, dan siapa yang berada diluar itu termasuk orang sesat dan kafir yang untuk saat tertentu halal darahnya untuk ditumpahkan.
Dikotomi semacam ini hanya akan melahirkan permusuhan dan kesengsaraan yang panjang. Sebab dendam dan amarah akan terus diumbar atas nama membela Tuhan. Klain kebenaran sebagai pemiliki otoritas salah-benar, akan menimbulkan perpecahan. Sebab siapa-pun dia tidak akan rela ikhlas diklaim sebagai penyebab masalah dan penyakit dengan menisbatkan kesalahan sepenuhnya kepadanya, tentu ia akan melakukan pembelaan dan perlawanan.
Dikotomi itu diperlukan manakalah menumbuhkan semangat kemanusiaan, dalam rangka merebut hak-hak yang telah dicuri dan diperkosa oleh pihak diktator dari agama apapun dia. Jadi tidak selamanya dikotomi itu tidak tepat, untuk hal ini pembagian akan menumbuhkan semangat perlawanan terhadap kemunduran dan kebobrokan, bahwa golongan yang terpuruk dapat bangkit dari keadaannya itu menuju keadaan yang lebih baik.
Ketiga, terikat oleh doktrin dan praktik masa lampau. Sikap keberagaman memang banyak dipengaruhi oleh sejarah, terutama dalam mengatasi perbedaan. Penyelesaian masalah untuk konteks kekinian dengan mengambil rujukan dan sumber solusi atas referensi masa lalu, walaupun zaman telah berubah. Penyamaan kondisi dahulu dengan kondisi kekinian, sehingga lahir tafsir sepihak yang terkawal lewat komitmen dan radikalisasi.
Ketiga karakteristik tersebut mendapat legitimasi dengan munculnya berbagai asumsi yang menguatkan. Asumsi itu didapatkan dari doktrin maupun pengalaman sejarah. Asumsi itu adalah, kebenaran mutlak itu bersumber dari agama. Agamalah yang menjadi tolak ukur guna menentukan suatu persoalan baik-atau buruk, sehingga akan melahirkan pertarungan kebenaran mutlak agama dengan realitas jahat.
Disamping itu, dasar agama yang setiap saat tidak berubah sepanjang masa, menjadikannya tetap eksis sebagai ajaran kemanusiaan yang cocok diterapkan dimana-pun dan kapan-pun. Kalau ada perubahan itu hanya pada sisi ijtihad manusia dalam menyelesaikan urusan kemanusiaan yang bersifat duniawi.
Dari berbagai asumsi itulah yang terpadu dengan karakteristik kaum fundamentalis, kadang melahirkan fenomena berperang atas nama Tuhan dibawa bendera jihad. Darah golongan sesat apalagi golongan kafir menjadi halal. Agama kembali ditegakkan atas dasar kekerasan, walaupun Islam sendiri mengajarkan perdamaian dan agama cinta.
Fundamentalisme sebagai reaksi terhadap segala bentuk kebobrokan moral dan spiritual manusia, sebagai perjuangan untuk pembebasan suatu bangsa, menghapuskan hegemoni dan penindasan, mendorong kita untuk memberikan toleransi kepadanya atau bahkan mendukungnya, selama tindakan-tindakan yang mereka lakukan tidak melampaui batas yang sudah digariskan Tuhan, meskipun cara yang paling damai dan maslahat harus menempati prioritas pertama sehingga sebisa mungkin terhindar dari upaya “melenyapkan kekerasan dengan kekerasan” atau “menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan”. Karena tidak ada dalam Islam yang menghalalkan kekerasan terhadap siapapun dan dalam bentuk apapun yang membahayakan perdamaian hidup manusia di muka bumi ini. Sudah sejak lama diketahui bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin yang seharusnya menjadi dasar bagi setiap kelompok Muslim untuk bersikap dan bertindak di manapun dan kapanpun.
Agama Perdamaian
Setiap agama pada hakikatnya mengajarkan kepada penganutnya sikap anti kekerasan. Komitemen itu merupakan tujuan luhur manusia dalam berinteraksi dengan siapa-pun. Budha mengajarkan kesederhanaan, kristen mengajarkan cinta kasih, konfusianisme mengajarkan kebijakan dan Islam mengajarkan kasih sayang bagi selurug alam.
Islam dilihat dari sisi namanya merupakan agama yang unik, karena ia berarti keselamatan, ketundukan, kepatuhan dan penyerahan diri secara total kepada Tuhan. Dengan demikian, seorang muslim pada hakikatnya menganut agama perdamaian kepada seluruh umat manusia, dengannya keadilan dan kebenaran dapat diperoleh serta kerusakan dapat dicegah.
Dalam penyebaran agama Islam, pada Nabi menyebarkannya dengan cara damai, kecuali bila sangat terpaksa karena orang kafir melakukan tindakan penyerangan dan pengrusakan, sehingga mereka melakukan pembelaan.
Semua agama pada umumnya mengajarkan nilai-nilai luhur untuk kemaslahatan hidup manusia. Tidak ada agama mengajarkan kepada penganutnya untuk merusak diri atau manusia lain dengan menimbulkan kesengsaraan kepadanya.
Manusia telah berperan untuk memperbarui peran agama di berbagai wilayah dunia menjadi sebagai sebuah ideologi tatanan publik sehingga dalam masyarakat ideologi keagamaan dan politik saling berkelindan. Agama telah dipakai untuk mencapai kepentingan seseorang atau sekelompok tertentu yang telah mengakibatkan politisasi agama dalam wilayah-wilayah privat dan publik. Pada saat terjadinya ideologisasi dan politisasi agama, maka kekerasan atas nama agama tidak bisa dihindarkan. Dengan demikian kesucian agama telah tereduksi oleh suatu kepentingan tertentu yang akan berbahaya bagi kedamaian ummat manusia itu sendiri.
Oleh karena itu, dalam hal ini agama atau Tuhan itu sendiri tidak bisa dipersalahkan. Umat beragamalah yang telah berpartisipasi menyemarakan kekerasan dengan menggunakan legitimasi agama dan Tuhan. Agama telah tercampur dengan ekspresi-ekspresi kekerasan dari aspirasi-aspirasi sosial, kebanggaan personal, dan gerakan-gerakan untuk perubahan politik.
Catatan Kaki
‡ Tulisan ini sebagai bahan Diskusi Subuh di sekretariat HMI MPO Cabang Palu pada 26 Februari 2007.
Ó Penulis adalah Sekretaris Umum HMI MPO Cabang Palu periode 2006-2007, yang harus cuti dari kegiatan akademiknya karena cita-citanya ingin ber-HMI secara utuh. Semoga.
Sumber : http://www.geocities.com/jurnal_iiitindonesia/fundamentalisme.htm diakses tanggal 12 Februari 2007
Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme; Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan, Serambi, Jakarta, 2006.
Selasa, Maret 10, 2009
Berperang Membela Tuhan; Fundamentalisme dan Kekerasan Agama
Label: Negara Islam, Opiniku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar