Oleh : Ruslan H. Husen
Manusia terlahir untuk mengembangkan peradaban-peradaban yang lebih manusiawi. Artinya peradaban yang dihasilkan dapat membantu pemenuhan kebutuhan manusia baik secara jasmaniah maupun batiniah menuju posisi yang lebih baik berdasarkan ideologinya. Perdaban merupakan kompleksitas yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Manusia diharapkan mampu menciptakan peradaban dan mampu memberi efek terhadap hasil peradaban yang telah ada, dan jika tidak mampu berperan aktif didalam peradaban tersebut yaitu menjadi motor penggerak peradaban maka manusia itu akan digilas oleh peradaban yang selalu berlari dari suatu sejarah kesejarah yang lain.
Peradaban modern hari ini, telah menjadikan manusia tidak memahami tujuan hidupnya. Dunia yang dihuni oleh milyaran manusia ini telah menjadi mesin raksasa yang ganas dan rakus yang akan menggilas apa saja yang ada dihadapannya termasuk kehidupan itu sendiri. Inilah wajah dunia modern yang sungguh sangat menyeramkan yang dipenuhi oleh kekuatan maut yang selalu mengancam nilai kemanusiaan. Sehingga tidak heran jika peradaban modern disamping membantu kerja manusia menimbulkan juga akibat yang sangat dahsyat menghancurkan nilai-nilai moral-kultural manusia.
Peradaban modern ini sangat identik dengan penguasaan teknologi yang bebas nilai. Apapun yang akan terjadi dari hasil teknologi itu maka penciptaan itu tidak mempunyai tanggung jawab lagi, yang terpikirkan adalah mendapatkan keuntungan material tanpa memikirkan lagi dampak dari teknologi tersebut. Dominasi dan ekspansi perdaban barat dalam berbagai bentuknya terhadap kehidupan manusia, pada sisi ini telah membentuk manusia untuk memuaskan diri dengan mengedepankan hasrat untuk menguasai serta mengeksploitasi dunia melalui cara pandang materialistik.
Dari sekian banyak hasil teknologi yang mempunyai peran dalam pembentukan peradaban adalah kehadiran informasi-informasi melalui media massa, yang hanya berorientasi pada memperoleh keuntungan material, tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan dari informasi yang kebablasan serta tidak bertanggung jawab terhadap perbaikan masyarakat. Sehingga kini media menjadi sarana paling efektif dalam mempengaruhi opini publik bahkan ideologinya. Lihatlah gaya hidup dan paradigma berfikir yang dahulu hanya ada di media massa, kini hadir di tengah kita sebagai hasil gaya hidup dan pola berfikir yang teraktualkan lewat kegiatan-kegiatan masyarakat sebagai hasil contekan mentah kebudayaan media massa tersebut.
Bagaikan sebuah kekuatan sihir yang sangat kuat, media menjadikan massa yang diam itu layaknya sebuah layar raksasa yang pasrah dijelajahi dan di lalui oleh segala sesuatu yang naif dan semu. Segala sesuatu itu kemudian menyedot perhatian mereka bagaikan magnet untuk mengabdikan diri dan tergila-gila kepadanya, namun tidak ada bekas apa-apa (nilai-nilai luhur) yang ditinggalkan dalam semesta kejiwaan para manusia pendambanya itu.
Sebut misalnya televisi, yang sudah menjadi barang yang tidak asing lagi dalam kultur masyarakat kita. Televisi menjadi kebutuhan yang sangat urgen dalam masyarakat yang hedon atas dasar mendapatkan informasi dalam mengarungi kebutuhannya. Tanpa televisi di dalam rumah sepertinya tidak lengkap kebutuhan hidup. Televisi telah mempengaruhi jutaan orang dari yang paling idiot sampai yang paling pintar, dari yang bodoh sampai tingkat profesor, dari yang muda sampai yang tua. Televisi telah berhasil menembus batas usia penontonnya, dan mengajak mereka beramai-ramai tenggelam dan terlena di dalam kepuasan sesaat dan semu.
Dengan tontonan tersebut bukan perbaikan nilai-nilai kultural (ideologi) yang di dapatkan melaikan kerusakan ideologi yang tentunya juga akan mempengaruhi sifat dan tingkah lakunya. Dari kegiatan upacara menonton itu yang dicari dan didapatkan hanya berupa kenikmatan sesaat dan melupakan persoalan dan kegiatan-kagiatan lainnya. Kini tontonan ini telah berubah sebagai guru yang telah mencuci pikiran dan tingkah laku penyimaknya. Penonton dianjurkan sedemikian rupa untuk bergaya hidup seperti orang yang diidolakan dalam acara televisi dan melakukan perbuatan-perbuatan seperti keinginan idolanya tersebut. Representasi kehidupan yang nampak pada layar kaca, radio dan film kini nampak sebagai kehidupan yang nyata dibandingkan kehidupan ini sendiri.
Tontonan sejenis pertunjukan nyata seperti Akademi Fantasi Indosiar (AFI), Kontes Dangdut Indonesia (KDI), Indonesia Idol, Audisi Pelawak TPI dan Kontes Dai TPI dan tontonan lainya yang tidak melakukan apa saja yang berarti. Apa yang mereka lakukan sesungguhnya adalah kejahatan spiritual, yakni menggiring masyarakat konsumtif kedalam gelombang pengusiran menuju kehampaan, kegersangan dan kehidupan tanpa tujuan lainnya. itulah kehidupan yang bukan dilandasi oleh moralitas, keimanan atau oleh makna luhur lainnya, tapi oleh segala kedangkalan ritual, penampakan semu dan berbagai kesenangan sementara yang menipu.
Dari tayangan yang berbau hedonis itu memang direkam dari kehidupan masyarakat yang bersifat kekerasan (kriminalitas) dan kerusakan lainnya. Tapi bukankan kerusakan moral di masyarakat itu pada dasarnya juga merupakan sesuatu yang sebelumnya di ciptakan oleh televisi. Hampir tidak ada tayangan pendidikan yang dapat memperbaiki moralitas dan kultur masyarakat, apalagi yang bernuasa pencerahan spiritual secara rutin dalam hal perbaikan kultural masyarakat.
Apa yang telah terjadi saat ini, memberitahukan kepada kita bahwa peradaban modern yang dibangun atas dasar sains modern telah gagal membantu manusia untuk memahami alam semesta. Pandangan sains modern hanya bersifat reaksi semu yang hanya membawa manusia kedalam gambaran alam semesta yang salah. Peradaban modern yang didewa-dewakan saat ini tidak lain hanya membawa kepada alienasi individu, rusaknya lingkungan manusia, menurunnya tingkat kehidupan materi maupun spiritual, rusaknya moralitas dan semakin menjauhnya agama dari kehidupan manusia.
Harapan Terhadap Media
Pada dasarnya media mana pun baik media cetak maupun media elektronik, merupakan pedang bermata dua yang bisa digunakan untuk penyampaian kebenaran dan keadilan sekaligus dapat berfungsi sebagai propaganda kejahatan, kerusakan dan kehinaan. Media tersebut sangat bergantung dengan siapa orang di belakangnya baik karena pengaruh ideologi maupun modal.
Sikap yang paling arif adalah mensinergiskan keduanya dalam satu gerakan nyata dengan dua langkah sekaligus. Yakni melarang untuk jangka pendek agar pengaruh negatifnya tidak merusak nilai-nilai kemanusiaan. Dan pada saat yang sama, untuk jangka panjang umat harus bersikap produktif melakukan pewarnaan dan penguasaan.
Tinggal kini dukungan semua pihak dalam hal mendapatkan informasi yang berkualitas dalam rangka perbaikan masyarakat dan tidak selalu menjadi penonton setia yang hanya diam membisu tanpa daya apa-apa serta siap di pengaruhi cara berfikir bahkan ideologinya. Penguasaan media massa adalah jawaban permasalahan dengan paradigma tanggung jawab terhadap perbaikan masyarakat secara umum menuju tatanan masyarakat yang beradab. Kita harus berani mengatakan “tidak” pada kebudayaan yang menyesatkan lewat sajian media massa hari ini serta menyiapkan dan menyajikan informasi-informasi yang berkualitas dengan kesadaran suci yang tentu berorientasi pada nilai-nilai luhur kebenaran dan keadilan (kemanusiaan).
Media Massa Harapan
Ideologi kemanusiaan (baca : Islam) sebagai ajaran paripurna yang mengatur semua dimensi kehidupan manusia dari yang paling kecil sampai yang paling besar, termasuk media massa sebagai suatu sarana informasi yang bercermin pada nilai-nilai kemanusiaan (fitrah). Jika dilihat dari nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi karakter dari sebuah media massa adalah media yang berorentasi pada kebenaran, independen, bertanggung jawab dan cerdas. Inilah harapan dari setiap media sebagai sarana pembawa informasi yaitu yang membawa misi kemanusiaan.
Berkarakter benar artinya informasi yang di tampilkan harus benar-benar terjadi yaitu sesuai dengan realitas yang terjadi dilapangan dengan nilai-nilai yang mulia. Dan bukan berdasar pada informasi pesanan dari pihak yang ingin populis dikalangan publik sehingga menjadikan informasi sebagai alat untuk mencari simpati massa. Media yang manusiawi adalah media yang menebarkan nilai-nilai yang hakiki bukan menyebarkan kesemuaan dan kebohongan.
Media massa yang independen artinya media yang tidak menyembunyikan informasi yang ada dan harus segera di salurkan kepada masyarakat dengan menyalurkan semua informasi yang dibutuhkan dan tetap dalam kerangka perbaikan nilai kultural masyarakat. Penyampaian informasi itu harus tetap bersifat obyektif dan bukannya bersifat subyektif karena bisa menghasilkan informasi yang tidak utuh dan dapat menyesatkan publik.
Sementara karakter bertanggung jawab erat hubungannya dengan kemaslahatan umat, yaitu media massa bertanggung jawab atas dampak atas informasi yang diberikannya kepada masyarakat dalam hal perbaikan kulturalnya, yang tidak hanya bersikap masa bodoh dan mengejar keuntungan semata. Masyarakat dan kulturnya merupakan dwitunggal yang tidak dapat dipisahkan, hal ini mengakibatkan bahwa setiap masyarakat manusia mempunyai kebudayaan atau dengan perkataan lain kultur masyarakat besifat universal, artinya atribut dari setiap masyarakat dunia.
Media massa harus cerdas dalam penyampain informasi yang mengerti akan obyek penyimaknya. Yang menjadi kebutuhan masyarakat berhubungan dengan informasi harus sedini mungkin disediakan oleh media, jadi media berperan sebagai pelayan dari pada kebutuhan informasi kultur masyarakatnya. Media yang cerdas hanya dapat di gerakkan oleh orang yang mempunyai keyakinan dan motivasi yang tinggi dalam hal perbaikan kualitas dengan titik tarik orientasi keserasian atau harmoni masyarakat.
Keserasian atau harmoni dalam masyarakat merupakan keadaan yang sangat diidam-idamkan setiap masyarakat. Dengan demikian keserasian masyarakat di maksudkan sebagai suatu keadaan (realitas) di mana lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pokok benar-benar berfungsi dan saling mengisi serta saling membutuhkan. Dalam keadaan demikian individu secara psikologis merasakan akan adanya ketenteraman, karena tidak adanya pertentangan dalam norma-norma dan nilai-nilai. Setiap kali terjadi gangguan terhadap keadaan keserasian, maka masyarakat dapat menolaknya dengan maksud menerima unsur baru.
Semua defenisi-defenisi tentang media massa harapan tersebut memang sangat perlu di realisasikan, maka menjadi tantangan tersendiri bahwa bisa kah kita merebut dan mengendalikan media itu agar dapat diarahkan sesuai dengan misi kemanusiaan menuju masyarakat yang berkesadaran moral intelektual, karena kerusakan “moral-kultural” bangsa hari ini tidak dapat di pisahkan dari peran media massa. Kalau bukan kita yang merubah dan merebut kendali media massa tersebut siapa lagi ?!.
Dunia Tondo
Pada Pertengahan Juli 2005
Catatan Kaki
Tulisan ini pernah di muat di Koran Mingguan, Madani pada Minggu I Mei 2006.
Otje Salman Soemadiningrat dan Anthon F. Susanto Menyikapi dan Memaknai Syariat Islam Secara Global dan Nasional, Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm 11
Suharsono, “Televisi Kapitalis, Sang Dajjal Elektronik”, Hidayatullah, edisi Januari 2005, hlm 24.
Hamin Thohari, “Haramkan Isinya, Rebut Kendalinya !”, Hidayatullah, edisi Januari 2005, hlm 23.
Soerjono Soekanto, “Sosiologi Suatu Pengantar”, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm 183.
Selasa, Maret 10, 2009
Media Massa Harus Di Kontrol ?; Sebuah Refleksi, Media Massa Bebas Nilai
Label: Opiniku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar