Selasa, Maret 10, 2009

Konsolidasi Demokrasi Menuju Tatanan Indonesia Baru


Oleh : Ruslan H. Husen

{Kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan
oleh kebatilan yang terorganisir}


Peringatan Terhadap Orde Baru
Selama berkuasa kurang lebih 32 tahun pemerintahan orde baru dibawah pimpinan Soeharto, telah memperlihatkan penyimpangan, penghianatan, kezaliman terhadap rakyat yang sudah tidak memperhatikan lagi cita-cita luhur bangsa yang ideal, walaupun nama kepentingan rakyat dan pembangunan sering digunakan dalam mencapai tujuannya.

Pemerintahan orde baru melakukannya lewat pembodohan terhadap publik baik lewat perangkat-perangkat kekuasaannya yang selalu mendukungnya baik yang ada pada tingkat pusat maupun di daerah, penyimpangan dan penafsiran sesuai dengan seleranya yang didukung oleh kekuasaan yang totaliter terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia.

Dalam ingatan rakyat Indonesia akan pidato kenegaraan Pejabat Presiden Soeharto di depan sidang paripurna DPR pada tanggal 16 Agustus 1967, yang isinya menegaskan akan mewujudkan tatanan seluruh perikemanusiaan rakyat, bangsa dan negara yang diletakkan pada pelaksanaan kemurnian Pancasila dan UUD 1945, dan orde baru lahir untuk melakukan koreksi total atas segala bentuk penyelewengan orde lama. Pejabat Soeharto juga menyampaikan bahwa penyelewengan orde lama itu meliputi, lenyapnya hak-hak asasi manusia, sebab semuanya ditentukan oleh penguasa, tidak adanya jaminan dan perlindungan hukum, kaburnya kedaulatan rakyat, semakin jauhnya keadilan sosial, dipakainya kekayaan negara untuk kepentingan pribadi dan proyek mercusuar dan munculnya sistem lisensi yang hanya menguntungkan segelintir orang yang dekat dengan penguasa. Ditambah dengan terjadinya penyelewengan yang serius terhadap UUD 1945, karena adanya pemusatan kekuasaan pada kepala negara, asas dan praktek konstitusi pada prakteknya bersifat absolutisme, kekuasaan tertinggi rakyat bukan berada di tangan Majelis Permusyawaran Rakyat (MPR) tetapi ditangan pemimpin besar revolusi, Presiden bukanya tunduk kepada Majelis, tetapi Majelislah yang tunduk pada kekuasaan Presiden.

Janji orde baru itu, jika diamati melalui pidato Pejabat Presiden Soeharto, hendak mengembalikan kedaulatan rakyat, memajukan kesejahteraan rakyat lewat kebijakan pemerintah yang mementingkan rakyat secara umum. Melakukan koreksi total terhadap pemerintahan orde lama dalam pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, dengan merumuskan cita-cita dan mengajukan tuntutan perubahan yang sungguh-sungguh berdasar dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen.

Tuntutan perubahan yang ingin dilakukan pendukung orde baru lewat perombakan struktur politik secara tuntas dan segera sehingga muncul suatu struktur politik yang betul-betul bermentalk orde baru. Kaum teknokrat mencita-citakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan cepat dengan suatu sistem ekonomi demokrasi yang benar-benar berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kalangan pers mengharapkan martabat dan kebebasan pers yang telah di rendahkan pemerintahan orde lama dikembalikan sesuai dengan perannya yang sesungguhnya. Para cendikiawan menuntut agar berlaku nilai-nilai kemanusiaan di dalam kehidupan sehari-hari. Kalangan politisi partai mengharapkan suatu sistem politik yang demokratis dan memberi ruang gerak lebih leluasa.

Pada umumnya para pendukung pemerintahan orde baru beranggapan bahwa orde baru mempunyai cita-cita luhur dan suci sebagai reaksi dari penyelewengan-penyelewengan dalam kehidupan sehari-hari sebagai akibat pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 oleh pemerintahan orde lama secara murni dan konsekwen. Sebagai kekuatan mental orde baru ingin menciptakan kehidupan sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. tuntutan masing-masing pendukung orde baru itu cukup menggelora bukan saja di forum-forum diskusi politik, melainkan di berbagai media massa, bahwa intinya mereka menginginkan situasi kehidupan yang lebih baik.

Dari perjalanan pemerintahan orde baru selama 32 tahun sejak tekad dan janjinya yang diucapkan oleh Pejabat Soeharto lewat pidato kenegaraannya itu, dan khususnya mempelajari perkembangan di tanah air, maka dapat dikatakan bahwa hampir semua tekad dan janji orde baru itu tidak dilaksanakan dan bahkan dilanggar sendiri oleh penyelenggara kekuasaan negara. Sehingga terjadi pengulangan kembali kekuasaan orde lama yang lebih mengarah pada pemerintahan yang anti demokrasi, militeristik dan sentralistik. Lewat pengendalian birokrasi pemerintah (eksekutif), militer, lembaga legislatif, yudikatif, kekuatan politik (partai), dan kebebasan pers.

Dalam lembaga perwakilan rakyat, dapat dilihat penyelewengan terbesar terhadap UUD 1945, dimana para wakil rakyat dianggap sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat yang ternyata hanya sebagian kecil saja yang dipilih oleh rakyat. Selebihnya ditetapkan oleh penguasa sendiri, dimana dalam perwakilan rakyat itu, yang pro pemerintah akan menjadi pendukung utama dengan selalu mendapat imbalan secara timbal balik, sementara yang melakukan penentangan maka harus siap dicap sebagai penghianat terhadap pemerintah, melanggar Pancasila dan UUD 1945 sehingga harus dihancurkan. Disini orde baru menganggap dirinya sebagai penjelmaan dari Pancasila dan UUD 1945, sehingga yang menentangnya adalah penghianat negara.

Kemenagan penguasa orde baru dalam pemilu secara terus menerus bukan tanpa imbalan kepada anggota MPR yang memilih dan pihak pendukungnya, disatu sisi orde baru diuntungkan dengan bisa berkuasa secara terus menerus, sementara disisi lain pendukungnya, diuntungkan dengan kemudahan usaha ekonomi dan bisnis, sehingga muncul pengusaha-pengusaha besar yang selalu didukung pemerintah dengan menguasai sebagian besar aset masyarakat. Kemudian dalam pemilu selanjutnya dana segar untuk memenangkan pemilu kembali sudah tersedia dari pengusaha-pengusaha rekan pemerintah itu.

Jika dilihat secara kasar memang ada pertumbuhan ekonomi, pembangunan gedung-gedung bertingkat, pembangunan jalan yang dilakukan, tapi itu semua tidak sebanding dengan pengorbanan masyarakat yang begitu sangat besarnya, dalam mewujudkan tampakan fisik itu, sementara penguasa ekonomi dan politik pendukung pemerintah terus berjaya dengan limpahan materi, dan menjadi orang kaya (konglomerat) karena dipercaya sebagai pengelola utama.

Pertumbuhan ekonomi yang ada itu, berkat investasi-investasi asing secara terus menerus, tetapi akibatnya jauh lebih parah. Investasi itu harus dibayar dengan biaya sangat mahal setiap tahunnya, menimbulkan utang luar negeri yang terus meningkat dan entah kapan akan berakhir, ditambah dengan kerusakan alam akibat eksploitasi secara terus menerus dan boros, tanpa diikuti dengan perbaikan yang memadai.

Secara umum akibat kekuatan ekonomi-politik yang dilakukan antar sesama pendukung orde baru, maka terjadi kesenjangan sosial yang begitu nyata, dengan lahirnya para pengusaha-pengusaha kaya, elit-elit politik yang kaya raya. Sementara dilain pihak terjadi kemiskinan, kemelaratan yang terstruktur. Terjadi penggusuran dan penindasan oleh kelompok kaya kepada kelompok lemah dan terpinggirkan. Lihat pula kerusakan moral, korupsi, kolusi dan nepotisme, pemujaan terhadap materi, ketamakan dan pemborosan, penyalahgunaan wewenang, kemunafikan, sikap mau menang sendiri dan kerusakan sosial lainnya yang mengancam akhlak suci kehidupan bernegara.

Dengan totaliterisme, tidak saja kaum birokrat yang harus tunduk kepada kekuasaan. Tetapi diluar birokrasi, seperti lembaga legislatf dan yudikatif, juga harus tunduk pada kekuasaan pemerintah orde baru. Demikian pula dengan lembaga militer dan kepolisian, pegawai negeri sipil, partai-partai politik dan ormas-ormas, lembaga-lembaga profesi, wartawan, cendikiawan, ulama dan santri, kaum buruh dan petani, dan seluruh lapisan masyarakat harus tunduk kepada kekuasaan orde baru.

Mereka yang berbeda pendapat atau tidak patuh harus dianggap sebagai musuh kekuasaan, yang merongrong pemerintah, baik secara pidana maupun secara perdata. Logika seorang musuh bisa dihilangkan hak-hak yang melekat yang ada padanya. Muncul kebingungan didalam kehidupan masyarakat. Tidak jelas mana kebenaran yang hakiki, antara yang salah dan yang buruk. Masyarakat juga susah membedakan antara ketergantungan dengan kemandirian hidup.

Sementara untuk menyatukan daerah-daerah dibawah kendali pemerintah pusat. Pemerintah orde baru menerapkan sentralisme. Daerah-daerah diharuskan sejalan dengan pemerintah pusat, tunduk dan patuh terhadap kebijakan pusat. Pemerintah pusat menganggap persatuan dan kesatuan dapat terjalin jika semua kebijakaan diterapkan secara merata dan sama. Sehingga berpotensi memunculkan perpecahan, disintegrasi bangsa, sebab tidak semua kebijakan pemerintah pusat dapat sampai kedaerah secara tepat, adanya adat-istiadat yang heterogen antar daerah, kondisi kekayaan alam dan geografis.

Konsolidasi Demokrasi Menuju Indonesia Baru
Harapan akan Indonesia yang lebih beradab, yang melahirkan pemimpin yang mampu memberikan rasa aman dan kesejateraan kepada rakyat, semakin menemui titik terang setelah bergulirnya reformasi pasca kekuasaan orde baru. Walaupun cita-cita itu tidaklah mudah untuk diraih, karena bekas-bekas kerusakan segala bidang di negara ini begitu parah akibat perbuatan orde baru. Tetapi paling tidak, harus ada harapan yang ada kearah yang dicita-citakan, sikap optimis dan semangat ingin melakukan perubahan dan bangkit dari keterpurukan yang ada.

Perubahan yang dilakukan hendaknya tidaklah setengah-setengah, perubahan dari sisi kenegaraan harus mencakup seluruh aspek kenegaraan yang mencakup sistem yang ada. Perubahan terhadap sistem dinilai akan efektif dengan melakukan terobosan-terobosan terbaru yang menentukan arah dan cita-cita bangsa. Sebab didalam sistem yang dimaksud terdapat berbagai komponen yang saling mempengaruhi, antara satu komponen sistem yang satu dengan komponen sistem yang lainnya. Perbaikan terhadap komponen sistem itulah yang terangkai dalam satu kesatuan, perubahan sistem yang utuh dalam bingkai demokrasi.

Kebutuhan akan demokrasi lahir dari evolusi perkembangan manusia yang telah mencapai fase dimana manusia, termasuk di dalamnya hak-hak dasar dan kebebasan yang melekat dalam individu dan masyarakat mendapat tempat yang sangat terhormat dalam pengaturan kehidupan bersama dan dengannya meletakkan kewajiban di pihak negara untuk menjaminnya. Demokrasi disini menjadi salah satu sarana pembangunan bangsa dan negara menurut apa yang dicita-citakan bersama, sehingga didalamnya meniscayakan membutuhkan konsolidasi demokrasi.

Konsolidasi demokrasi dapat diartikan sebagai suatu proses yang menjadikan demokrasi sebagai kerangka pengorganisasian dan pelaksanaan kekuasaan yang semakin berakar dalam masyarakat sehingga menjadi acuan bagi siapapun yang ingin terlibat didalam kekuasaan tersebut. Konsolidasi demokrasi tidak mungkin dapat terlaksana tanpa ada kesepakatan umum tentang aturan umum yang berlaku dalam persaingan politik dalam masyarakat. Konsolidasi demokrasi ini dapat menjadi medium untuk melejitkan kualitas bangsa dan negara dalam segala bidang kehidupan masyarakatnya, karena didalamnya terdapat kondisi yang ideal yang memungkinkan lahirnya bangsa yang beradab dan sejahtera.

Pendukung Konsolidasi Politik
Konsolidasi demokrasi ini erat sekali hubungannya dengan kondisi-kondisi masyarakat dalam segala bidangnya yang diperlukan dalam proses konsolidasi demokrasi untuk memperbaiki tatanan kehidupan yang ada, yang boleh dikata sebagai akibat penyelenggraan negara oleh orde baru yang otoliter, sentralisasi dan militerisme yang melakukan tafsir yang sepihak terhadap UUD 1945, sehingga yang berbeda tafsir dengan pemerintah, menentang atau berbeda pendapat, maka akan dianggap sebagai musuh negara yang meronrong pemerintahan.

Bergulirnya reformasi setelah tumbangnya pemerintahan orde baru, membuahkan harapan baru dan semangat baru dalam perbaikan perangkat-perangkat dalam sistem kenegaraan yang perlu dilakukan secara menyeluruh (holistik). Kondisi itu menjadi pilar terbangunnya hubungan yang harmonis antara semua komponen penyanggah demokrasi dalam suatu negara. Kondisi-kondisi akan tetap harmonis jika ada kestabilan dan kemapanan komponen penyanggah demokrasi itu. Kondisi itu adalah pertama, terciptanya masyarakat madani dan kedua adanya penegakan hukum yang benar dan yang ketiga adanya supremasi sipil terhadap militer.

1. Terciptanya Masyarakat Madani Yang Kuat
Terciptanya masyarakat madani yang kuat merupakan syarat utama terbangunnya konsolidasi politik antar sesama komponen bangsa. Masyarakat madani yang diberi kebebasan politik serta ruang gerak untuk mewujudkan kiprahnya demi kepentingan masyarakat secara umum. Landasan demokrasi yang sesungguhnya adalah masyarakat madani yang tidak hanya bergantung kepada pembentukan institusi-institusi demokrasi seperti partai politik, media massa dan organisasi-organisasi kemasyarakatan. Tetapi masyarakat madani juga dapat mengacu pada kelompok atau organisasi kemasyarakatan yang dibentuk secara otonom serta melibatkan diri dalam pencapaian kepentingan publik. Karena itu masyarakat madani berkepentingan agar negara tidak memonopoli kebijakan kepentingan umum serta tidak memaksakan kehendaknya kepada masyarakat.

Peran masyarakat madani dalam menumbangkan pemerintahan orde baru adalah sangat menentukan, dengan adanya penyatuan kekuatan dan tenaga yang dilakukan secara terus menerus (konsisten). Peran itu terjalin, karena didalam tubuhnya terjalin suatu semangat untuk mengangkat dan menemukan musuh utama yaitu pemerintahan orde baru yang korup, yang menyebabakan rakyat menderita. Dilanjutkan dengan kekuatan yang selalu saling menguatkan antara kekuatan masyarakat madani yang satu dengan yang lain, antara mahasiswa dan elit pro-demokrasi, buruh dan petani, media massa organisasi kemasyarakatan.

Setelah tumbangnya pemerintahan orde baru, yang jika negara mengandalkan kekuatan masyarakat madani yang lebih mengutamakan dialog karena dibangun atas dasar kesamaan derajat kemanusiaan. Selain itu masyarakat madani juga dibangun atas dasar kesukarelaan setiap anggota masyarakat untuk terlibat di dalam kelompok atau organisasi masyarakat madani tertentu. Hubungan ideal antara negara dengan masyarakat madani adalah saling melengkapi karena secara normatif dan moral keduanya mengejar kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Negara membutuhkan masyarakat madani karena tidak semua persoalan dalam masyarakat dapat diselesaikan sendiri oleh pemerintah. Sebaliknya masyarakat madani memerlukan negara, karena negara diharapkan dapat menyediakan ruang ekspresi dan pengembangan potensi kemanusiaan yang melindungi eksistensi masyarakat madani tersebut.

Karena negara dan masyarakat madani saling membutuhkan maka dalam negara demokrasi kemajuan yang satu harus membawa dampak positif bagi yang lainnya. Interaksi yang saling melengkapi ini terutama dapat kita saksikan di negara-negara demokrasi yang sudah mapan seperti di negara Iran. Sebaliknya negara-negara yang sedang melaksanakan konsolidasi demokrasi benturan dan konflik antara keduanya masih sering terjadi. Misalnya dalam melihat kinerja aparat keamanan, pihak negara dengan masyarakat madani biasanya memiliki pandangan yang berbeda dan bahkan saling bertentangan satu sama lainnya. Negara pada hakekatnya cenderung memperkuat kontrol dan pengawasan aktivitas masyarakat terutama yang dicurigai membahayakan keberadaan penguasa dan negara. Sedangkan masyarakat madani lebih mementingkan keamanan insani dan kebebasan sipil.

2. Penegakan Hukum
Salah satu ciri dari demokrasi adalah negara hukum (rechtstaat). Sedangkan dalam negara hukum terdapat pembagian kekuasaan (trias politica) antar penyelenggara negara, pembagian antara kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif. Untuk menjalankan hukum dilakukan oleh kekuasaan peradilan atau kekuasaan kehakiman yang mandiri, terbebas dari kekuasaan pemerintah dan kekuasaan yang lainnya. Hukum harus menjadi alat bagi penegakan keadilan dan kebenaran. Hukum berlaku bagi semua orang, dari orang awam sampai orang elit sekalipun, tanpa pandang bulu.

Penerapan yang konsisten dari prinsip penegakan hukum yang pelaksanaan kekuasaan dalam proses pemerintahan harus berdasarkan pada aturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan tersebut merupakan penjabaran dari konstitusi negara yaitu undang-Undang Dasar. Penafsiran penguasa terhadap Undang-Undang Dasar harus dapat dipertanggung jawabkan kepada publik dan tidak boleh bertentangan dengan semangat yang ada dalam konstitusi tersebut.

Dalam perjalanan pemerintahan orde baru, terjadi dualisme dalam kekuasaan peradilan antara Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman. Mahkamah Agung adalah pelaksana tunggal kekuasaan kehakiman yang selalu bebas dari tekanan manapun juga, karena sifanya yang independen dan mandiri. Sementara menteri kehakiman adalah pembantu khusus presiden di bidang hukum. Namun dalam perjalanannya, mahkamah agung memperoleh intervensi eksekutif secara nyata lewat tangan Presiden dan Menteri Kehakiman. Dimana menteri kehakiman juga mengurusi masalah hukum diluar perannya untuk membantu presiden. Serta bertindak sebagai atasan dan pemegang kekuasaan kehakiman.

Menurut pasal 24 UUD 1945, bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan kehakiman, badan-badan pengadilan itu adalah lembaga-lembaga pengadilan, yang kekuasaan dan susunannya ditentukan oleh undang-undang. Selanjutnya dalam pasal 25 UUD 1945 disebutkan bahwa syarat-syarat untuk menjadi hakim dan penghentian hakim juga ditetapkan dalam undang-undang.

Jika dilihat kedua pasal UUD tersebut tidak berbicara tentang kekuasaan kehakiman yang mandiri, melainkan dalam penjelasannya yang menegaskan, bahwa kekuasaan kehakiman itu adalah kekuasaan yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan kehakiman.

Seperti telah dipahami sebelumnya, bahwa kekuasaan membuat undang-undang ada ditangan presiden (pasal 5 (1) UUD 1945). Maka sesuai dengan amanah itu maka disusunlah UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman, serta perubahannya dalam UU Nomor 35 tahun 1999. Melalui undang-undang itulah intervensi presdien terhadap kekuasaan kehakiman dilakukan.

Kekuasaan kehakiman tidak lagi mandiri, dicontohkan dengan ketentuan di dalam UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menyatakan, bahwa Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih oleh Presiden. Walaupun usulan atas calon-calon pemimpin lembaga yudikatif itu datang dari DPR, tetapi pada akhirnya presidenlah yang menentukan. Sehingga secara psikologis, kedudukan para pemimpin yudikatif berada di tangan Presiden. Belum lagi dikalangan DPR, mayoritas adalah orang-orang dari presiden, sehingga yang diajukan, pasti dari golongan mereka juga.

Para hakim, termasuk para hakim agung, tunduk pada kekuasaan eksekutif. Para hakim yang tidak memperlihatkan kesesuainnya dengan pemerintah, dengan mudah akan memperoleh sanksi dengan cara dipindahkan/ dimutasi kedaerah-daerah yang jauh dari kota. Para hakim itu pun bisa dipersulit untuk bisa naik pangkat atau golongan dalam skala gaji. Tidak sekedar urusan administrasi dan organisasi, urusan keuangan pun diatur oleh pemerintah melalui menteri kehakiman. Maka dengan cara seperti itu, kekuasaan kehakiman pada hakikatnya berada dalam cengkeraman kekuasaan pemerintah.

Melalui ketentuan-ketentuan organisasi, administrasi dan keuangan, intervensi pemerintah juga menembus hingga proses pengadilan. Hal ini terutama menyangkut kasus-kasus politik yang melibatkan aktivis pro-demokrasi atau siapa pun yang melakukan penentangan atau berbeda pendapat terhadap pemerintah. Untuk kasus-kasus seperti ini mulai dari tahap pemeriksaan sampai pada vonis di pengadilan, kepolisian, kejaksaan, dan hakim itu sudah mengetahui peran dan fungsinya masing-masing tentang harus berbuat dan memutuskan seperti bagaiaman. Kata memutuskan atas nama keadilan berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa, hanyalah lipstik saja yang tidak mencerminkan isi yang sebenarnya. Keadilan dan kebenaran itu memihak kepada pemerintah.

Untuk perkara-perkara seperti ini, selalu diperebutkan institusi pengadilan itu. Mulai dari Polisi, Jaksa dan Hakim karena akan mendapatkan imbalan materi yang banyak jika ia mampu berbuat sesuai dengan kehendak pemerintah. Di antara hadiah-hadiah itu adalah kenaikan golongan dan pangkat dalam skala gaji, menetap dan tinggal dikota besar sampai imbalan berupa uang sebagai tanda jasa.

Dari sinilah awal terjadinya mafia peradilan. Didalam mafia peradilan itu, isi berita acara pemerikasaan (BAP), tuntutan pidana sampai vonis di pengadilan bisa diperjual belikan. Yang menentukan bukan lagi kebenaran itu sendiri tetapi kekuatan lobi dan uang. Dari sini pula merajalelanya kasus korupsi, kolusi dan nepotisme, dan akan terjadi pembagian keuntungan diantara mereka, yang terlibat dan menangani kasusnya.

Dengan tidak adanya kemandirian kekuasaan kehakiman, maka para hakim dan kekuasaan kehakiman lainnya itu, termasuk Mahkamah Agung, selain dikelan oleh masyarakat luas sebagai mafia peradilan yang melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, tidak patut, dan merusak citra bangsa, seperti KKN dalam proses membuat putusan-putusannya, juga telah menajdi alat politik kekuasaan/ pemerintah untuk menjalankan pemerintahan secara totaliter dengan menangkap dan memenjarakan orang tanpa alasan, bertentangan dengan prinsip demokrasi, memenjarakan orang tanpa alasan yang dibenarkan hukum, bertentangan dengan prinsip demokrasi, serta prinsip atas nama keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kata lain, dengan tidak adanya kemandirian kekuasaan kehakiman itu, kekuasaan peradilan beserta para hakim-hakimnya, jaksa-jaksanya dan polisi, telah bekerja sama dengan pihak pemerintah sebagai alat kekuasaan untuk menguasai rakyat dengan tidak ada penentangan didalamnya.

Dalam era reformasi ini, sudah saat nyalah supremasi hukum ditegakkan melalui kemandirian kekuasaan peradilan. Pada intinya kekuasaan peradilan harus benar-benar mandiri tanpa intervensi pemerintah dan kekuasaan-kekuasaan lain. Dengan cara ini hukum baru dapat ditegakkan dengan tanpa pandang bulu, siapa yang bersalah harus dihukum dan Mahkamah Agung dan lembaga peradilannya akan memperoleh penghargaan dan penghormatan dari rakyat sebagai tempat mencari keadilan.

Serta demi menegakkan citra diri bangsa dan lembaga-lembaga peradilan, harus berani menolak totaliterisme pemerintah bersama-sama dengan seluruh kekuatan pro-demokrasi. Kekuasaan kehakiman dalam hal ini mahkamah agung dan perangkat-perangkatnya harus berani mengeluarkan pikiran-pikiran kepada pemegang kekuasaan pembuat undang-undang yang bertentangan atau tidak sesuai lagi dengan prinsip dan asas negara hukum (rechtstaat).

Kekuasaan peradilan melalui Mahkamah Agung bisa secara efektif menata diri, dan membebaskan diri dari segala budaya dan ketundukan terhadap kekuasaan lain. Gerakan reformasi dan konsolidasi politik menginginkan kekuasaan peradilan ikut serta secara aktif membangun demokrasi dengan mewujudkan sebuah negara hukum Indonesia. Rakyat mendambakan Mahkamah Agung secara nyata dapat membantu dan membela kepentingan rakyat, serta aktif ikut membuat keputusan dalam setiap peristiwa nasional. Rakyat menginginkan Mahakamah Agung selalu berdiri digaris terdepan dalam sebuh negara hukum. Pikiran-pikiran Mahkamah Agung diharapkan menjadi arahan, petunjuk dan pencerahan bagi eksekutif, legislatif demi terselenggaranya sebuah negara yang dicita-citakan bersama.

3. Supremasi Sipil Atas Militer
Dalam UUD 1945 sebelum amandeman, peranan militer sama sekali tidak disinggung, hanya disebutkan dalam Pasal 10, bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara. Dengan demikian dapat dipahami kembali bahwa peranan militer tidak independen dan ditentukan oleh presiden.

Dengan tidak adanya penjelasan secara pasti terhadap Pasal 10 itu, akan menimbulkan tafsir sesuai dengan keinginan pemerintah. Dalam masa itu, peranan militer selain sebagai peratahanan keamanan negara, juga ikut dalam kegiatan politik, dalam artian juga menentukan arah perpolitikan pemerintahan negara. Maka dengan itu, pemerintah orde baru memberikan arti terhadap peranan militer sedemikian rupa, sehingga berlangsunglah militerisme terhadap kehidupan rakyat dimasa itu.

Walaupun dalam Pasal 10 UUD 1945 itu, tidak menyebutkan tentang Lembaga Kepolisian Negara, pemerintahan orde baru menggunakannya untuk menggabungkan Lembaga kepolisian dengan TNI angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara dalam suatu payung lembaga yang disebut ABRI. Penggabungan peranan TNI dan kepolisian itu sebagai pertahanan keamanan negara dalam suatu komando militer, khususnya dari Angkatan Darat. ABRI selain dikenal, selain sebagai peratahanan keamanan, juga memiliki peran dalam bidang sosial politik kenegaraan, yang dalam artian memiliki peranan yang luas diluar perannya sebagai pertahanan keamanan itu.

Sebagai akibat penonjolan peranan dwi-fungsi ABRI itu dalam penyelenggaraan negara, ABRI seakan-akan berperan menentukan demokrasi, membuka atau menutupnya. ABRI menjadi dinamisator dan simbolisasi dari pernyataan seorang elit militer atau jenderan angkatan darat, yang menetukan arah demokrasi.

Dwi-Fungsi ABRI ini menimbulkan dualisme dalam ketatanegaraan. Disatu pihak militer berfungsi sebagai pertahanan keamanan, juga harus tunduk pada Kekuasaan Presiden, dan Presiden tunduk kepada MPR. Tetapi dilain pihak militer dibenarkan memegang kekuasaan politik penyelenggara negara secara aktif, sehingga bisa melakukan apa saja dengan alasan menyelamatkan negara.

Setelah bergulirnya reformasi, dalam negara Indonesia, dengan adanya pemisahan Polri dari TNI dan dikukuhkannya Polri sebagai institusi penegak hukum yang tidak bernuasa militer merupakan langkah maju dalam konsolidasi politik. Semua itu dengan harapan muncul profesionalisme Polri dalam menjamin keamanan di masyarakat sipil yang utama, tanpa menimbulkan rasa takut pada setiap kegiatannya. Pemenuhan kebutuhan akan keamanan adalah salah satu yang utama dari kehadiran negara.

Dari sini Polisi dapat berperan dalam mewujudkan cita-cita bangsa, lewat pengamanan dan memberikan rasa aman kepada seluruh masyarakat lewat kerja-kerja yang profesionalitas. Dengan adanya rasa aman yang dirasakan masyarakat akan menimbulkan gairah untuk berusaha, berfikir dalam perbaikan bangsa dan negara.

Untuk melahirkan lembaga kepolisian yang mandiri dan profesional perlu ada kurikulum yang mengatur peran polisi dalam masyarakat itu dalam orientasi memberikan rasa aman kepada masyarakat lewat penegakan dan kepastian hukum. Karena dalam orde baru hukum tidak lagi memiliki arti dalam mewujudkan keadilan dan kebenaran, sehingga kepolisian harus bangkit, dari stempel yang ada dalam dirinya bahwa dia adalah salah satu institusi yang digunakan pemerintah orde baru untuk melakukan pembodohan terhadap rakyat yang menyebebkan penderitaan yang panjang.

Sementara militer setelah dipisahkan dari kepolisian harus dipertegas peran dan fungsinya. Memang militer tetap merupakan kekuatan politik yang harus diperhitungkan dalam setiap keadaan, namun secara kelembagaan perlu pembatasan-pembatasan yang diciptakan demi menjamin supremasi sipil terhadap militer. Sebab dalam negara demokrasi militer harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena perlu penegasan, tentang peran militer dalam pertahanan negara, adapun aspirasi perbaikan tentang lembaga ini, sehubungan dengan peranannya itu, disalurkan melalui institusi yang berada diatasnya, termasuk eksekutif dan legislatif yang membuat undang-undang.

Dalam undang-undang yang mengatur militer dicanangkan peran-peran militer sebagai lembaga yang memiliki tugas mulia mempertahankan negara, karena dalam hari rakyat Indonesia sesungguhnya merindukan sosok militer yang menjadi pahlawan negara dalam membela rakyat, yang gagah perkasa, yang selalu menang dalam perang, mempertahankan wilayah negara dari kekuatan asing yang mau mengganggu kedaulatan negara.

Datfar Pustaka
Sri Bintang Pamungkas, ”Dari Orde Baru Ke Indonesia Baru Lewat Reformasi Total”, Erlangga, Jakarta, 2001, hlm x-xi.
Tewas Orba (Tim Penulis), “Demokrasi Dalam Cengkeraman Orde Baru”, Tewas Orba, Jakarta, hlm 2.

0 komentar: