Selasa, Maret 10, 2009

Pragmatisme Atau Idealisme; Upaya Membangun Gerakan Pembaharuan


Oleh : Ruslan H. Husen

Berbicara mengenai kaum muda dengan dunianya serta sepak terjangnya dalam konteks perjuangan dan pergerakan, bayangan/angan kita tidak akan terlepas dengan posisi dan gerakan mahasiswa sebagai salah satu motor penggerak perjuangan dan pergerakan dinegara tercinta ini. Dilihat dari opini yang berkembang saat ini, gerakan mahasiswa telah kehilangan taringnya dan kewibawaannya. Gerakan mahasiswa mengalami kekrisisan dan luka yang dalam. Dimana semakin lantang teriakan/tuntutan yang dilontarkan dari gerakan mahasiswa, hal itu seolah-olah semakin menjerumuskan dirinya pada defenisi yang paradoks. Apa yang diteriakkan dan dituntut sering kali berseberangan dengan apa yang telah dan akan dilakukannya, yang dapat dilihat dalam realitas kehidupannya. Serta tuntutan dan advokasi yang dilakukan dari ketimpangan sosial mempunyai daya tawar yang minimalis dan agak dipandang sebelah mata.


Logika dan opini yang berkembang tersebut membawa kita pada pemikiran untuk membangun defenisi baru sebagai rumusan memulai perjuangan dan pergerakan yang lebih baik dan bermutu/berkualitas. Walau telah banyak dibahas penyusunan ulang rumusan gerakan dan perjuangan mahasiswa, tetap saja defenisi hantu-hantu heroisme dari gerakan mahasiswa tidak pernah hilang sepenuhnya. Berjuang atas nama rakyat namun ada kepentingan di dalamnya, baik kepentingan pribadi atau golongan belum lagi kepentingan pesanan dari oknum yang mempunyai fee yang melimpah. Dengan demikian, yang terjadi adalah beban sejarah dalam perjuangan selanjutnya, dimana sejarah tidak bisa dilupakan begitu saja. Sehingga hal itu memungkinkan saja merusak ritme dan pola gerakan itu sendiri. Dalam artian mengambil hikmah dan pelajaran dari sejarah untuk rumusan gerakan dan perjuangan yang lebih baik atau sistematis.

Untuk itu, tulisan ini mencoba terus membangun definisi baru yang lebih koheren dan komprehensif agar hantu heroisme tersebut tidak terus menghantui dan membebani dari setiap perjuangan dan pergerakan. Bukankah realitas mahasiswa dengan tipe mahasiswanya yang idealisme dan paragmatisme bukan dikotomi yang baku, yang saling bertentangan dan menjatuhkan satu sama lainnya?.

Hal mendasar yang harus kita bahas terlebih dahulu adalah (gerakan) mahasiswa ditengah garis idealisme dan paragmatisme yang terlihat terpolalarisasi dalam suatu bentuk yang baku dan konkrit. Yang seolah-olah kedua tipe mahasiswa tersebut tidak bisa bersatu dalam suatu payung perjuangan yang sama.

Definisi mentah yang biasanya dimunculkan adalah tipe idealisme sebagai sebagai sebuah sifat untuk terus melakukan upaya perbaikan dan perubahan dan memutus ketidak-adilan dengan berbagai macam pelanggaran-pelanggaran norma-normanya dalam konteks sosial kultural masyarakat pada umumnya, sedangkan paragmatisme adalah sifat sebaliknya yang tidak mengkritisi sama sekali realitas kehidupan sosial masyarakatnya. Kemudian idealisme sering kali digambarkan pada posisi yang sedikit kiri dan paragmatisme pada sisi yang lebih kanan. Walaupun terlihat sangat kaku, namun terminologi tersebut sering kali digunakan dan dapat diketemukan dalam realitas dunia kampus.

Menurut saya, pendefinisi seperti itu akan mengahasilkan definisi yang minimalis. Sebab, dua pola itu sering kali tidak bisa dipisahkan begitu saja dan juga sangat sering komplementer. Hal seperti itu akan manjatuhkan pada klaim-klaim yang tidak sehat. Misalnya mahasiswa yang beridealis adalah mahasiswa yang berdemo, orasi, dan berteriak lantang menentang kapitalisme dan menentang negara atau militerisme sekalipun, walaupun teriakan tersebut sering berbalik arah dan mengenai dirinya pada saat skripsi telah usai (telah memperoleh kedudukan diinstansi pemerintah atau swasta).

Mahasiswa paragmatis adalah mahasiswa yang mempriorotaskan kegiatan pada studi (akademisi). Dengan menggunakan terminolagi tersebut, terlihat bahwa hal itu bercorak sangat kontras. Tapi, sekali lagi bukankah hal itu tersebut sangat minimalis ? sebab, dua kelompok mahasiswa itu sama-sama belajar dan berjuang dengan cara sendiri-sendiri, terlepas dari out-put yang nanti akan dihasilkan.

Klaim kedua yang biasa dimunculkan adalah klaim kekritisan dan advokasi. Mahasiswa yang sering berdemo (mahasiswa idealis) mempunyai tingkat kekritisan dan advokasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa yang berorintasi pada kegiatan studi (pragmatis).

Apakah generalisasi tersebut sepenuhnya benar ?. Mahasiswa yang mengaku dirinya idealis tidak jarang merupakan mahasiswa yang berwajah ganda, tidak konsisten dengan apa yang dilontarkan, hal ini sebenarnya lahir dari adanya kepentingan. Sementara itu, tidak semua mahasiswa yang berorientasi pada studi (akademisi) adalah tidak kritis. Sebab, dia mungkin saja mengkritisi dengan medium berbeda dengan cara yang berbeda pula tetapi tetap saja pada tujuan sosial masyarakat.

Jadi, gambaran tersebut memberi keterangan pada kita bahwa dikotomi semacam itu malah merusak ritme gerakan dan perjuangan itu sendiri. Tidak semua mahasiswa harus turun kejalan, orasi dan berteriak dengan lantangnya menentang kapitalisme, militerisme atau bahkan negara sekalipun agar berkesan heroik, tetapi yang terpenting adalah konsisten untuk mencapai tujuan sosial itu. Konsisten untuk berjuang menuju perbaikan, dengan jujur, cara, dan medium perjuang yang dipilih masing-masing. Tanpa harus menyalahkan dan mematikan potensi diri yang tidak sepaham dengan perjuangannya.
Atau yang kemudian lebih mantap saling bekerja sama (internal dan eksternal kampus) untuk mencapai tujuan sosial masyarakat yang diinginkan bersama. Tanpa harus terlibat dalam suatu kubangan kepentingan yang dipenuhi dengan lumpur kehinaan dan kenistaan yang pada akhirnya merusak ritme serta corak gerakan dan perjuangan tersebut.

Palu Kota Panas
Di Awal Tahun 2005 Yang Ceria

0 komentar: