Frans H. Winarta
(Anggota Komisi Hukum Nasional)
Selama ini yang terjadi adalah adanya kesemrawutan dalam konsep bantuan hukum dalam bentuk ada kantor-kantor advokat yang mengaku sebagai lembaga bantuan hukum tetapi sebenarnya berpraktik komersial dan memungut fee yang menyimpang dari konsep pro bono publico yang sebenarnya merupakan kewajiban dari advokat. Untuk itu diperlukan undang-undang bantuan hukum sebagai konsekuensi pengakuan konsep bantuan hukum dalam UU Advokat. Ditambah lagi melihat Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 pengakuan hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya dari fakir miskin yang berarti adanya pengakuan terhadap hak untuk dibela oleh advokat atau pembela umum bagi fakir miskin, maka undang-undang bantuan hukum mutlak diperlukan dalam rangka mempertegas hak untuk memperoleh bantuan hukum bagi fakir miskin.
Sejauh ini, dukungan finansial bagi YLBHI diperoleh dari sumbangan-sumbangan luar negeri, seperti Amerika Serikat, Swedia, Belgia, Belanda, Australia dan Kanada. Anggapan keliru yang tersebar luas adalah bahwa seolah-olah segala urusan tentang bantuan hukum termasuk dukungan finansial dapat diserahkan kepada organisasi bantuan hukum itu sendiri dengan asumsi organisasi bantuan hukum mau membantu karena seseorang dikategorikan miskin padahal bantuan hukum adalah tanggung jawab negara. Oleh karena itu negara telah mengabaikan tugas konstitusionalnya untuk membiayai gerakan bantuan hukum dan tidak mengalokasikan anggaran tertentu dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini bertentangan dengan kewajiban negara untuk melindungi fakir miskin. Negara bertanggung jawab atas nasib fakir miskin atau masyarakat miskin.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya perangkat hukum positif yang ada kurang memadai untuk menunjang konsep bantuan hukum sebagai hak konstitusional. Oleh karena itu bantuan hukum perlu dijabarkan lebih lanjut di dalam undang-undang bantuan hukum yang memuat konsep, fungsi, dan sifat dari bantuan hukum. Serta konsep bantuan hukum dinyatakan secara jelas dan tegas di dalam UUD 1945, agar hak konstitusional rakyat untuk memperoleh bantuan hukum dapat terjamin.
Dalam negara hukum (rechtsstaat) negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu. Pengakuan negara terhadap hak individu ini tersirat di dalam persamaan kedudukan di hadapan hukum bagi semua orang. Dalam suatu negara hukum semua orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Persamaan di hadapan hukum harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment).
Kalau seorang yang mampu (the have) mempunyai masalah hukum, ia dapat menunjuk seorang atau lebih advokat untuk membela kepentingannya. Sebaliknya seorang yang tergolong tidak mampu (the have not) juga dapat meminta pembelaan dari seorang atau lebih pembela umum (public defender) sebagai pekerja di lembaga bantuan hukum (legal aid institute) untuk membela kepentingannya dalam suatu perkara hukum. Tidak adil bilamana orang yang mampu saja yang dibela oleh advokat dalam menghadapi masalah hukum, sedangkan fakir miskin tidak memperoleh pembelaan karena tidak sanggup membayar uang jasa (fee) seorang advokat.
Perolehan pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum (access to legal counsel) adalah hak asasi manusia setiap orang dan merupakan salah satu unsur untuk memperoleh keadilan (access to justice) bagi semua orang (justice for all). Tidak ada seorang pun dalam negara hukum yang boleh diabaikan haknya untuk memperoleh pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum dengan tidak memperhatikan latar belakangnya, seperti latar belakang agama, keturunan, ras, etnis, keyakinan politik, strata sosio-ekonomi, warna kulit dan gender.
Hak untuk Dibela Oleh Advokat atau Pembela Umum
Pemerintah Indonesia telah melaksanakan dan mewujudkan suatu negara hukum dalam praktik beracara dalam perkara pidana, yaitu dengan ditetapkannya UU No. 8 /1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengutamakan prinsip “Due Process of Law” dengan memberikan perlindungan hukum yang jelas terhadap tersangka dan terdakwa.
Jaminan perlindungan atas hak konstitusional untuk dibela oleh advokat adalah penting dalam praktik peradilan dan ini berlaku untuk orang yang mampu dan juga untuk fakir miskin. Kalau di dalam praktik peradilan orang mampu dapat menggunakan jasa advokat untuk membela kepentingannya maka bagi fakir miskin harus juga ada pembelaan baik dari advokat atau pembela umum secara pro bono publico. Sehingga pembelaan oleh advokat atau pembela umum bagi orang mampu atau fakir miskin adalah sesuatu hal yang mendasar karena merupakan hak individu yang harus dijamin dalam konstitusi dalam kerangka persamaan di hadapan hukum.
Selanjutnya sebagaimana pemikiran W. Friedmann pengakuan terhadap perlakuan yang sama (equal treatment) terhadap individu di hadapan hukum mempunyai korelasi dengan pengakuan kebebasan individu (individual freedom). Oleh karena itu setiap orang berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan menunjuk seorang atau lebih advokat atau pembela umum untuk membelanya.
Adanya pembelaan advokat terhadap tersangka atau terdakwa yang berhadapan dengan negara yang mempunyai perangkat yang lengkap, maka akan terjadi keseimbangan dalam proses peradilan (audi et alteram partem) sehingga dapat dicapai keadilan bagi semua orang (justice for all).
Tentang keadilan, Immanuel Kant mengungkapkan sebagai berikut:
“If justice is gone, there is no reasons for a man to live longer on earth” (George P. Fletcher, 1998). Ungkapan Kant ini menunjukkan betapa pentingnya keadilan bagi kehidupan manusia sehingga seringkali hukum dianggap bertujuan mencari keadilan (justice).
Hak untuk dibela oleh seorang advokat atau pembela umum bagi semua orang tanpa ada perbedaan telah dijamin oleh UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yaitu: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Hak untuk dibela oleh advokat atau pembela umum juga merupakan hak asasi manusia dari setiap warga negara yang dijamin dalam Universal Declaration of Human Rights, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dan Basic Principles on the Role of Lawyers. Salah satu negara yang juga menjamin hak untuk mendapatkan pembelaan dari advokat dalam konstitusinya adalah Amerika Serikat. Diatur dalam The Bill of Rights: Amendment VI, yang berbunyi sebagai berikut:
“In all criminal prosecutions, the accused shall enjoy the right to a speedy and public trial, by an impartial jury of the State and district wherein the crime shall have been committed, which district shall have been previously ascertained by law, and to be informed of the nature and cause of the accusation; to be confronted with the witnesses against him; to have compulsory process for obtaining witnesses in his favor, and to have the Assistance of Counsel for his defence.”
Bantuan Hukum Sebagai Hak Konstitusional
Berdasarkan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Berdasarkan ketentuan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 tersebut negara mengakui hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik dari fakir miskin.
Atas dasar pertimbangan tersebut, fakir miskin memiliki hak untuk diwakili dan dibela oleh advokat baik di dalam maupun di luar pengadilan (legal aid) sama seperti orang mampu yang mendapatkan jasa hukum dari advokat (legal service). Penegasan sebagaimana diambil dari Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 memberikan implikasi bahwa bantuan hukum bagi fakir miskin pun merupakan tugas dan tanggung jawab negara dan merupakan hak konstitusional.
Di negara berkembang seperti Indonesia, adanya organisasi bantuan hukum merupakan hal yang penting, yaitu untuk membantu fakir miskin dalam menghadapi masalah-masalah hukum karena organisasi bantuan hukum ini dapat mengurangi kemungkinan fakir miskin tidak memperoleh bantuan hukum untuk membela kepentingan hukumnya baik di dalam maupun di luar pengadilan. Organisasi bantuan hukum dapat membantu fakir miskin untuk dapat memperoleh pengetahuan tentang hukum, hak asasi manusia, hak sipil dan politik, hak sosial, hak budaya, dan hak ekonomi. International Covenant on Civil and Political Rights diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2005 untuk memperkuat kewajiban pemerintah/negara untuk membantu hak fakir miskin baik dalam bidang politik, sosial dan ekonomi, serta bantuan hukum.
Hambatan perundang-undangan yang dialami selama ini adalah tidak adanya jaminan untuk memperoleh pembelaan baik bagi orang mampu maupun fakir miskin baik di dalam UUD 1945 maupun di dalam KUHAP.
Jika kita tengok ke Filipina dan India, program bantuan hukum sebagaimana disampaikan Mehmood Pracha, pada “The Accessibility of Legal Aid in Rural Areas”, International Legal Aid Conference, Kuala Lumpur, sudah diatur dalam konstitusi negara-negara tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. Bantuan hukum di Filipina diatur dalam konstitusinya (1987) :
"Free Access to the courts and quasi-judicial bodies and adequate legal assistance shall not be denied to any person by reason of poverty.”
Bantuan hukum di Filipina menawarkan pelayanan hukum selain di dalam pengadilan juga di luar pengadilan seperti: konsultasi hukum, mediasi, konsiliasi, jasa notaris, mendampingi pada saat pemeriksaan, dan kunjungan ke penjara.
2. Indian Constitution (Article 21, 22, 39 A). Article 21 dan 22 menyatakan bahwa negara mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan hukum bagi fakir miskin dan menjamin access to justice. Sedangkan pasal 39A menyatakan bahwa di setiap negara bagian di India diwajibkan memberikan bantuan hukum bagi fakir miskin.
Program bantuan hukum di India mencakup semua bidang hukum. Hal ini terlihat dalam The Legal Services Authorities Act section 2 (1), definisi dari Legal Services (pelayanan hukum) C adalah:
“Legal services include the rendering any service in the conduct any case or other legal proceeding before any court or other Authority or tribunal and the giving of advice on any legal matter.”
Jaminan untuk menunjuk advokat atau pembela umum harus berlaku untuk semua perkara dan bukan hanya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 KUHAP, yang menyatakan untuk tindak pidana yang dituntut hukuman lima belas tahun atau lebih atau dituntut hukuman mati, sedangkan bagi tersangka atau terdakwa yang tergolong fakir miskin baru dapat diberikan bantuan hukum secara cuma-cuma apabila diancam hukuman pidana selama lima tahun atau lebih. Hal ini adalah dalam rangka menjamin agar setiap orang dapat memperoleh pembelaan advokat atau pembela umum secara maksimal dalam rangka memastikan pelaksanaan dari proses peradilan yang adil (due process of law).
Kalau kita bandingkan KUHAP dengan The Russian Federation Code of Criminal Procedure (hukum acara pidana Rusia) diatur bahwa baik tersangka maupun terdakwa memiliki hak untuk mendapatkan pembelaan tanpa adanya batasan-batasan pidana tertentu seperti di Pasal 56 KUHAP, hal ini termuat dalam Pasal 16:
“(1).A suspect or accused shall be guaranteed the right of defense, which may be exercised personally or with the assistance of defense counsel and/or a legal guardian.
(2).The court, procurator, investigator, or inquiry officer shall advise a suspect or an accused of his rights and shall provide them with the opportunity to defend themselves through the use of all methods and means not prohibited by this Code.
(3).In those circumstances specified by this Code, the require participation of defense counsel and/or any legal guardian of the suspect or accused shall be ensured by the officials who are conducting the proceedings in the criminal case.
(4).In the circumstances specified by this Code and other federal laws, a suspect or accused may avail themselves of the services of defense counsel free of charge.”
Dalam The Criminal Procedure Code of Thailand Section 8 diatur juga mengenai hak tersangka untuk menunjuk advokat sejak adanya penuntutan.
“From the time of entry of the charge, the accused shall be entitled:
(1). To appoint a counsel during the preliminary examination or trial before the Court of First Instance, the Appeal Court or the Dika Court.”
Minggu, Januari 04, 2009
Dasar Konstitusional Bantuan Hukum
Label: Artikel
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar