Rabu, Januari 07, 2009

Reformasi Lembaga Hukum Sebagai Dasar Pelaksanaan Reformasi Hukum Nasional


Oleh: Frans Hendra Winarta

Rakyat Indonesia saat ini harus meniti jalan yang panjang untuk mewujudkan keinginan dalam menegakkan supremasi hukum di Indonesia. Pemerintahan yang akan datang nampaknya, sebagaimana pemerintah sekarang, akan menghadapi setumpuk pekerjaan rumah untuk mengatasi berbagai persoalan rumit bangsa yang terkait dengan hukum seperti pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan ekonomi, masalah narkoba, gangguan keamanan seperti gerakan separatis dan tata kelola negara.

Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mewujudkan supremasi hukum tersebut adalah dengan melakukan perubahan-perubahan di setiap aspek kehidupan bernegara, terutama perubahan dan pembaruan terhadap aspek hukum atau yang dikenal dengan reformasi hukum. Program reformasi hukum tidak bisa tidak harus digulirkan secara bersama-sama oleh seluruh anggota masyarakat.

Perwujudan reformasi hukum ini dapat dilakukan melalui berbagai upaya seperti penyempurnaan dan pembaharuan peraturan perundang-undangan dan pengembangan budaya hukum, pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya. Selain itu, keberhasilan melaksanakan reformasi hukum tentunya juga harus ditunjang oleh kemauan politik, sikap jujur dan transparan dari pemerintahan yang akan datang.

Masalah utama penegakan hukum di negara-negara berkembang khususnya Indonesia adalah bukan pada hukum itu sendiri, melainkan pada kualitas manusia yang menjalankan hukum itu sendiri. Dengan demikian peranan manusia yang menjalankan hukum itu (penegak hukum) menempati posisi strategis seperti yang dikatakan oleh Roscoe Pound berikut ini:
“The law, in its procedural as well substantive aspects, is essentially made and administered by persons, whose views and interpretations are buffeted by the winds of change through the year, so that it has become a “truism that the quality of justice depends more on the quality of the (persons) who administer the law than on the content of law they administer”.

Namun sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah masih rendahnya moralitas aparat penegak hukum (hakim, polisi, jaksa dan advokat ) serta judicial corruption yang sampai dengan saat ini masih sulit diberantas.

Adanya judicial corruption jelas menyulitkan penegakan hukum di Indonesia karena para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum terlibat dalam praktek korupsi, sehingga sulit diharapkan bisa ikut menciptakan good governance.
Penegakan hukum hanya bisa dilakukan apabila lembaga-lembaga hukum (hakim, jaksa, polis dan advokat) bertindak profesional, jujur dan menerapkan prinsip-prinsip good governance.

MEREFORMASI KEKUASAAN KEHAKIMAN
Kekuasaan kehakiman yang independen, tidak memihak dan kompeten merupakan salah satu komponen utama dalam sebuah negara hukum. Sementara itu, kondisi ideal tersebut belum terwujud di Indonesia. Beberapa persoalan yang dihadapi oleh Mahkamah Agung (MA) antara lain seperti MA pada masa lalu tidak terlepas dari intervensi institusi negara lainnya, adanya sorotan negatif dari sebagian pihak mengenai integritas sebagian Hakim dan Hakim Agung, kualitas sebagian putusan MA dikritik karena kurang argumentatif, tidak konsisten dan kadang tidak dapat dieksekusi.

Reformasi di bidang kekuasaan kehakiman haruslah ditujukan pada 5 (lima) hal sebagai berikut:
1. menjadikan kekuasaan kehakiman yang independen;
2. mengembalikan fungsi yang hakiki dari kekuasaan kehakiman untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum;
3. menjalankan fungsi checks and balances bagi institusi kenegaraan lainnya;
4. mendorong dan memfasilitasi serta menegakkan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis guna mewujudkan kedaulatan rakyat;
5. melindungi martabat kemanusiaan dalam bentuk yang paling konkrit.

Salah satu hal penting untuk mendukung independensi badan peradilan adalah adanya jaminan keuangan yang memadai bagi peradilan. Namun sangat disayangkan bahwa sampai saat ini badan peradilan masih belum memiliki pendanaan yang memadai.
Hal ini menyebabkan sarana dan prasarana pengadilan menjadi kurang memadai yang pada akhirnya berimplikasi pada tidak maksimalnya kualitas pelayanan pengadilan kepada masyarakat.

Masalah lain yang harus segera dibenahi adalah mengenai sistem pembinaan sumber daya manusia bagi hakim. Permasalahan tersebut tidak terlepas dari lemahnya sistem dan pelaksanaan pembinaan hakim, mulai dari status, formasi hakim, rekrutmen, mutasi dan promosi sampai dengan mekanisme penilaian kinerja hakim. Sampai saat ini rekrutmen dan karir hakim belum didasarkan pada norma-norma profesionalisme atau integritas hakim yang bersangkutan, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya penyimpangan dalam proses peradilan yang melahirkan putusan hakim yang kurang mencerminkan kepastian hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat.

Pembentukan Komisi Yudisial Sebagai Tool of Legal Reformation
Dalam Program Pembangunan Nasional (UU No. 25 Tahun 2000) dikatakan bahwa pembentukan Komisi Yudisial menjadi salah satu program reformasi hukum yang harus dilaksanakan agar tercipta lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya yang mandiri, bebas dari pengaruh penguasa maupun pihak lain (independent and impartial judiciary).

Lahirnya ide pembentukan Komisi Yudisial diawali oleh adanya komitmen politik untuk pemberlakuan sistem satu atap, yaitu pemindahan kewenangan administrasi, personel, keuangan dan organisasi pengadilan dari Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia ke MA. Keberadaan lembaga ini nantinya diharapkan mampu memainkan peran yang penting dalam konteks mewujudkan penyelenggaraan peradilan yang bersih dan baik di negara ini, sehingga upaya untuk melakukan reformasi kekuasaan kehakiman dapat terwujud.

MEREFORMASI ADVOKAT – MENJAWAB TANTANGAN MASA DEPAN

Fungsi/peran profesi advokat tidak dapat kita kesampingkan dalam sistem peradilan dan penegakan hukum . Hal ini disebabkan karena profesi advokat sering bersinggungan dengan pencari keadilan, polisi, jaksa dan hakim.

Oleh karena itu tinjauan atas profesi advokat harus selalu memperhatikan posisinya berhadapan dengan aparat penegak hukum lainnya (polisi, jaksa, hakim). Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Code of Conduct for Lawyers in the Euoropean Union sebagai berikut:
“In society founded on respect for the rule of law lawyer fulfils a special role. His duties do not begin and end with the faithful performance of what he is instructed to do so far as the law permits. A lawyer must serve the interest of justice as well as those whose rights and liberties he is trusted to assert and defend and it is his duty do not only to plead his client’s cause but to be his adviser. A lawyer’s function therefore lays on him a variety of legal and moral obligation (sometimes appearing to be in conflict with each other) towards :
• The client;
• The courts and other authorities before whom the lawyer pleads his client cause or acts on his behalf;
• The legal profession in general and each fellow member of it in particular; and
• The public for whom the existence of a free and independent profession, bound together by respect for rules made by the profession itself, is an essential means of safeguarding human rights in face of the power of the state and other interest in society”.

Namun secara jujur harus diakui pula bahwa profesi advokat juga dapat berperan dalam judicial corruption. Sebagaimana dikatakan oleh salah seorang pembicara Dalam konferensi International Bar Association (IBA) yang mengatakan :
“……a corrupt judiciary cannot exist without the active collaboration of some lawyers and the supine indifference of other lawyers to the phenomenon of judicial corruption”.

Untuk menjawab tantangan di masa depan yang semakin berat, maka sudah merupakan suatu keharusan bagi advokat di Indonesia untuk menyiapkan diri menghadapi arus globalisasi tersebut. Kualitas sumber daya manusia, khususnya sarjana hukum harus mengikuti permintaan pasar dunia. Para advokat di Indonesia harus bisa bersaing dengan para advokat asing yang saat ini banyak hadir dengan berlindung di bawah law firm lokal. Untuk itu beberapa hal yang patut dipertimbangkan sebagai bahan perbaikan antara lain:

1. Kurikulum pendidikan Fakultas Hukum Indonesia
Pendidikan hukum tidak saja berkaitan dengan materi ilmu hukum saja, tetapi juga termasuk pembinaan mental dan cara berpikir. Pendidikan tentang nilai (values) dan etika profesi harus menjadi perhatian serius sehingga dapat menghasilkan para sarjana hukum yang tidak bermental mau menang sendiri, materialistis dan koruptif.

2. Pemberian jasa advokat
Kualitas pemberian jasa advokat di Indonesia saat ini masih terbilang kurang memuaskan masyarakat. Hal ini disebabkan karena masih lemahnya pengaturan mengenai advokat dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), dan tidak adanya organisasi advokat di Indonesia yang solid dan berwibawa.

Salah satu kelemahan para advokat Indonesia adalah tidak dimilikinya organisasi advokat yang solid yang dapat menghimpun dan mengatur perilaku dan sepak terjang seluruh advokat yang berpraktek di Indonesia.

Saat ini masyarakat juga sudah antipati terhadap kejujuran dan kedisiplinan seorang advokat dalam menerapkan keahlian dan pengetahuan hukum serta etika profesinya. Hal ini disebabkan antara lain karena tidak adanya otoritas organisasi advokat atas para anggotanya, terpecahnya organisasi advokat, tidak adanya kerjasama dengan pemerintah untuk menindak advokat yang melakukan malpraktek, tidak adanya proses seleksi dan rekrutmen advokat yang bermutu, tidak adanya pelatihan yang memenuhi standar internasional serta adanya pengaruh KKN dalam sistem peradilan kita.

Selama ini beberapa faktor yang menyebabkan kondisi rendahnya kualitas pengemban profesi hukum adalah sebagai berikut :
1. tidak berjalannya kontrol dan pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh organ masyarakat;
2. organisasi profesi tidak menyediakan sarana dan prosedur yang mudah diakses oleh masyarakat untuk menyampaikan keluhan; dan dewan-dewan kehormatan yang ada juga tidak tanggap menerima keluhan masyarakat;
3. rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai substansi kode etik profesi hukum akibat buruknya sosialisasi dari pihak profesi itu sendiri;
4. belum terbentuknya budaya dan kesadaran dari para pengemban profesi hukum itu sendiri untuk menjaga martabat luhur dan profesinya;
5. tidak adanya kesadaran etis dan moral antara para pengemban profesi bahwa menaati keputusan dewan kehormatan profesi merupakan salah satu faktor penting dalam menjaga martabat profesi.

Guna mewujudkan kemandirian sistem peradilan di negeri ini, maka komponen-komponen penegak hukum (hakim, jaksa dan advokat) harus melaksanakan pembaruan (reformasi) dalam dirinya masing-masing, sehingga peradilan yang bersih, berwibawa dan bebas dari praktek KKN dapat terwujud, sehingga supremasi hukum di negeri ini dapat – yang merupakan tujuan dari reformasi hukum – dapat terwujud.

Apapun yang direkomendasikan oleh Komisi Hukum Nasional tentang reformasi lembaga hukum sebagai dasar pelaksanaan reformasi hukum nasional tanpa kontribusi dan kesadaran lembaga hukum itu masing-masing, maka program reformasi hukum nasional hanya diatas kertas saja dan tidak bisa diwujudkan. Untuk itu diperlukan political will yang kuat dari pemerintah untuk mewujudkan program reformasi hukum nasional.

0 komentar: