Senin, Januari 05, 2009

Gugatan Perwakilan Kelompok Masyarakat (Class Action)

Oleh : I Nyoman Nurjaya

I. PENDAHULUAN
Konsep gugatan perwakilan masyarakat (Class Action) pada mulanya hanya dikenal di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon atau Common Law system, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Untuk pertama kali gugatan Class Action diatur dalam Supreme Court Judicature Act pada tahun 1873 di Inggris. Kemudian, konsep tersebut diadopsi oleh Amerika Serikat dan dituangkan dalam United State Federal Rule of Civil Procedure pada tahun 1938. Pada tahun 1966 dinyatakan secara eksplisit dalam Pasal 23 dari US Federal Rule of Civil Procedure tersebut, khususnya yang mengatur tentang prosedur gugatan Class Action.

Istilah gugatan Class Action, selanjutnya disebut gugatan CA, mulai dikenal dalam hukum acara perdata di Indonesia sejak diundangkannya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, kemudian dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan lebih lanjut dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tetapi, apa pengertian, makna dan tujuan serta bagaimana mekanisme gugatan CA tersebut belum banyak dipahami dan dimengerti dengan benar oleh kalangan hukum (para praktisi hukum, akademisi hukum, termasuk para mahasiswa hukum) apalagi oleh masyarakat luas di Indonesia.

Makalah yang bersahaja ini mencoba untuk menjelaskan pengertian, makna dan tujuan, serta mekanisme gugatan CA dalam persepktif teori menurut sistem hukum acara perdata dan implementasinya dalam praktik peradilan, dengan menampilkan kasus-kasus konkrit di Indonesia maupun di negara-negara penganut sistem hukum Anglo-Saxon (Common Law System).

II. GUGATAN CLASS ACTION: SEJARAH PERKEMBANGAN DAN KASUS-KASUS DI BEBERAPA NEGARA
Dari perspektif sejarah, konsep gugatan perwakilan kelompok masyarakat (class action) pertama kali dikenal di Inggris yang menganut Common Law System. Sejak diberlakukannya Supreme Court Judicature Act pada tahun 1873 di Inggris, gugatan Class Action (CA) disidangkan pada Supreme Court. Namun, sebelum tahun 1873 gugatan CA hanya dapat disidangkan pada Court of Chancery. Kemudian, gugatan CA diadopsi dan dikembangkan lebih lanjut di Amerika Serikat, Kanada, dan Australia dengan menggunakan konsep dan praktik-praktik peradilan yang berlangsung di Inggris.

Pasal 10 Rule of Procedures gugatan CA dalam Supreme Court of Judicature Act tahun 1873 menyatakan : Where there are numerous parties having the same interest in one action, one or more of such parties may sue or be sued or may be authorized by the court to defend in such action on behalf of or for the benefit of all parties so interested.

Rumusan gugatan CA seperti di atas kemudian diadopsi ke dalam Rule 23 the United State Federal Rules of Civil Procedures (Amerika Serikat), The Federal Court of Australia Act (Australia), dan The Quebec Law Respecting the Class Actions (Quebec, Kanada), dan juga dalam pengaturan gugatan CA di negara-negara lain seperti : Rule 13 Part 8 The Rules of Supreme Court (New South Wales, Australia), dan Order 1 Rule 8 India Code of Civil Procedure tahun 1908 kemudian direvisi pada tahun 1976 (India).
Mahkamah Agung Filipina pada tahun 1993 juga mengakui prosedur gugatan CA dalam kasus sengketa lingkungan Minor Oposa. Kasus ini melibatkan penggugat yang terdiri dari 14 anak-anak di bawah umur (minor) yang didampingi oleh para orang tua mereka mengajukan gugatan terhadap Menteri Lingkungan Hidup Filipina (Secretary of the Department of Environment and Natural Resources/DENR) mengenai pembatalan ijin penebangan hutan (logging) dengan mengatasnamakan kelompok penggugat dan sekaligus generasi mendatang yang memiliki kepentingan dan kepedulian yang sama bagi kelestarian hutan di Filipina.

Di Amerika Serikat, reformasi hukum untuk memasukkan konsep gugatan CA mulai dilakukan pada tahun 1966, dengan melakukan perubahan dan penambahan Pasal 23 mengenai gugatan CA dalam hukum acara perdata pada tingkat Federal. Pada tahun 1975 prosedur gugatan CA diadopsi dan diatur dalam New York Civil Procedure Law and Rules. Dalam United State Uniform Class Actions Act, sebuah UU mengenai pengaturan gugatan CA yang diadopsi oleh The National Conference of Commissioners on Uniform State Laws mensyaratkan bahwa prosedur sertifikasi awal dan pemberitahuan (notice) merupakan syarat yang wajib dipenuhi untuk menetapkan apakah gugatan yang diajukan kelompok masyarakat menjadi gugatan CA atau hanya gugatan biasa.

Kasus-kasus gugatan CA yang menarik perhatian publik di Amerika Serikat antara lain kasus Agent Orange (1987), kasus Dalkon Shield (1989), dan kasus the Smokers versus Tobacco Companies (1997). Kasus Agent Orange (1987) adalah gugatan CA yang diajukan oleh lebih dari seribu kaum veteran perang Vietnam terhadap pabrik kimia beracun yang memproduk defoliant sebagai senjata dalam perang Vietnam. Penggugat mendalilkan bahwa bahan kimia beracun defoliant yang disebut agent orange (salah satu jenis dioxin) menimbulkan cacat fisik dan trauma psikologis yang serius bagi para penggugat.

Kendati kemudian gugatan ini memerlukan pembuktian yang kompleks, hakim pengadilan pada akhirnya memutuskan untuk memenuhi gugatan CA penggugat dengan pemberian kompensasi sejumlah US $ 250.000.000, yang didistribusikan dalam 2 bentuk, yaitu : (1) pemberian santunan secara tunai dan langsung kepada para penggugat (class members), dan (2) memberi pelayanan rehabilitasi dan perawatan kesehatan bagi para korban perang Vietnam yang telah dikenali maupun yang belum dikenali (future claimants).

Sedangkan Kasus Dalkon Shield adalah gugatan CA yang diajukan para penggugat terhadap perusahaan yang memproduk kontraseptif (intrautrine contraceptive device). Alat kontraseptif ini ternyata menimbulkan sterilitas para penggunanya dan cacat pada bayi yang dilahirkan para ibu yang menggunakan kontraseptif tersebut. Gugatan CA ini dimenangkan oleh para penggugat dengan pemberian ganti rugi dalam bentuk uang kepada kelompok penggugat.

Sedangkan, kasus Smokers versus Tobacco Companies (1977) adalah gugatan CA Norma Broin (42 tahun) mantan pramugari American Airlaines yang menderita kanker paru-paru karena menjadi perokok pasif (secondhand smoker) selama bertugas sebagai pramugari. Ia mewakili dirinya sendiri dan teman-teman sekerjanya yang menderita maupun belum terkena kanker paru-paru. Pengadilan Negeri Miami, Florida memutuskan kepada perusahaan-perusahaan rokok membayar sebanyak US $ 300.000.000 untuk melakukan studi tentang penyakit-penyakit yang disebabkan oleh rokok (study of tobacco related disseases), sedangkan kompensasi untuk dirinya sendiri (individual compensation) tidak dikabulkan pengadilan.

Gugatan CA juga diimplementasikan dalam kasus Bhopal di India. Pemerintah India mengajukan gugatan CA dengan mengatasnamakan seluruh korban kebocoran gas beracun atas dasar Bhopal Gas Leak Disaster (Processing of Claims) Act 1985. Selain itu, prosedur gugatan CA juga pernah diterapkan dalam kasus Ganga Pollution (Tanneries) yang diajukan seorang penduduk India kepada perusahaan-perusahaan industri yang membuang limbahnya ke sungai Gangga. Dalam kasus Ganga Pollution, pengadilan melalui surat kabar kemudian memanggil seluruh pengusaha industri yang membuang limbahnya ke sungai Gangga untuk menjawab gugatan atas pencemaran sungai yang dilakukan. Instansi pemerintah lokal (wilayah India Utara) dan pengusaha-pengusaha yang digugat kemudian mengajukan counter affidavits di pengadilan untuk menjelaskan bahwa limbah yang dibuang ke sungai telah diolah sebelumnya sehingga tidak mencemari sungai.

Prosedur gugatan CA di Australia lebih banyak diatur dalam Court Rules (yurisprudensi) dari pada dalam peraturan perundang-undangan. Prosedur gugatan CA diatur dalam Federal Court of Australia Act 1976. Di negara bagian New South Wales (NSW) prosedur gugatan CA diatur dalam the NSW Supreme Court Rules 1970. Selain itu, dalam perundang-undangan yang mengatur masalah-masalah lokal prosedur gugatan CA juga dirumuskan dalam the NSW Anti-Discrimination Act 1977. Untuk kasus-kasus lingkungan hidup di wilayah negara bagian NSW, prosedur gugatan CA diatur dalam beberapa undang-undang seperti : Environmental Planning and Assesment Act 1980; the Local Government Act 1993; the Heritage Act; dan the Water Board (Corporatisation) Act 1994.

Bagaimana kasus-kasus gugatan CA yang pernah terjadi dalam praktik peradilan di Indonesia ? Seorang pengacara R.O. Tambunan pernah melakukan gugatan CA terhadap pabrik rokok Bentoel Remaja ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan mengatasnamakan diri sendiri sebagai orang tua dan mewakili seluruh remaja Indonesia, dengan dalil bahwa iklan rokok Bentoel Remaja telah meracuni kalangan remaja, rokok telah menimbulkan gangguan kesehatan dan merusak masa depan generasi muda Indonesia.
Selain itu, seorang Muhtar Pakpahan yang terjangkit penyakit demam berdarah dengan mengatasnamakan seluruh warga Jakarta melakukan gugatan CA ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta dan Kepala Kantor Wilayah Kesehatan DKI Jakarta yang dianggap tidak menjalankan kewajibannya untuk menjaga kebersihan lingkungan Jakarta, sehingga muncul penyakit demam berdarah dan menimbulkan korban seperti yang dialaminya sendiri maupun warga Jakarta yang lain.

Kasus gugatan CA yang lain adalah : (1) Gugatan CA dari 9 buruh PT. Industri Sandang I untuk diri mereka sendiri dan mewakili 1200 buruh yang lain Patal Senayan yang dirugikan oleh perusahaan karena pemutusan hubungan kerja ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan; dan (2) Gugatan CA ke pengadilan negeri Jakarta Pusat yang diajukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) kepada PT. PLN (Persero) dengan mengatasnamakan seluruh konsumen listrik di wilayah DKI Jakarta. karena terjadi pemadaman listrik secara serentak di seluruh wilayah Jakarta, sehingga menimbulkan kerugian materiil maupun moril bagi para pelanggan (konsumen) listrik PLN.
Namun demikian, dalam praktik peradilan yang berlangsung selama ini ternyata tak satu pun dari gugatan CA di atas dikabulkan oleh pengadilan, dengan alasan dasar hukum gugatan CA belum diatur sebagai hak prosedural kelompok masyarakat dalam sistem hukum perdata maupun hukum acara perdata di Indonesia.

Hal ini di kemudian hari menjadi bahan pemikiran dari kalangan akademisi maupun praktisi hukum, seiring dengan perkembangan masalah-masalah hukum dan tuntutan era kesejagatan (globalisasi), untuk memasukkan konsep gugatan CA ke dalam sistem hukum acara perdata di Indonesia. Dengan mengadopsi model yang berkembang di negara-negara penganut Common Law System seperti Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia, maka untuk pertama kali wacana gugatan CA diusulkan dan diskusikan dalam pemdibahasan rancangan undang-undang mengenai pengelolaan lingkungan hidup, yang sekarang menjadi UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan selanjutnya dituangkan dalam ketentuan pasal-pasal UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan..

III. MAKNA, TUJUAN, DAN MEKANISME GUGATAN CLASS ACTION

Mekanisme penyelesaian sengketa melalui gugatan perdata ke pengadilan negeri (litigasi) dalam sistem hukum di Indonesia pada dasarnya diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata (Herziene Indonesisch Reglement/HIR, atau Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Stb. 1848 No. 16 dan Stb. 1941 No. 44) untuk daerah Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura berlaku Rechtsreglement Buitengewesten/Rbg (Regelemen Daerah Seberang - Stb. 1927 No. 227) untuk daerah luar Jawa dan Madura.

Tetapi, sejak tahun 1997 dalam sistem hukum acara perdata di Indonesia diatur satu mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan yang dikenal sebagai gugatan perwakilan kelompok masyarakat (Class Action).

Dalam Pasal 37 (1) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) dinyatakan seperti berikut : Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat.

Penjelasan Pasal 37 (1) UULH menyatakan : Yang dimaksud hak mengajukan gugatan perwakilan adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Dari rumusan Pasal 37 (1) UULH di atas dapat diartikan bahwa gugatan CA dalam kasus lingkungan hidup merupakan hak prosedural dari kelompok masyarakat (Class Members) dalam bentuk gugatan ke pengadilan melalui perwakilan kelompoknya (Class Representative), atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan untuk memperoleh ganti rugi dan/atau tindakan tertentu akibat dari perbuatan pecemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukan tergugat.

Lebih lanjut, dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK) diatur pula mengenai gugatan CA dalam kaitan dengan kasus perusakan hutan. Dalam Pasal 71 (1) dinyatakan :
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.

Selain itu, dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) juga diatur mengenai hak masyarakat untuk mengajukan gugatan CA untuk kasus pelanggaran pelaku usaha terhadap konsumen. Dalam Pasal 46 (1) dinyatakan :
Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh : a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, ...... dst.; d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi .... dst.

Penjelasan Pasal 46 (1) hurup b seperti berikut :Undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau Class Action. Gugatan kelompok atau Class Action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi.

Secara teoritis, makna dan tujuan pokok dari gugatan CA pada dasarnya dapat dijelaskan seperti berikut :Gugatan CA bermakna untuk menghindari adanya gugatan-gugatan individual yang bersifat pengulangan (repition) terhadap permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan yang sama dari sekelompok orang yang menderita kerugian karena kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Ini berarti gugatan yang diajukan sekelompok orang melalui gugatan CA akan lebih bersifat ekonomis (judicial economic) jika dibanding setiap orang mengajukan gugatan sendiri-sendiri ke pengadilan. Selain itu, waktu dan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengajukan gugatan CA akan menjadi lebih efisien (judicial cost efficiency) apabila dibandingkan dengan mengajukan gugatan secara individual dari masing-masing anggota kelompok.

Gugatan CA memberi akses pada keadilan (access to justice) karena beban yang ditanggung bersama untuk mengajukan gugatan ke pengadilan dalam rangka memperjuangkan hak kelompok masyarakat atas keadilan memperoleh ganti kerugian dan/atau melakukan tindakan tertentu menjadi lebih diperhatikan dan diprioritaskan penanganannya oleh pengadilan.

Gugatan CA juga mempunyai makna penting dalam upaya pendidikan hukum (legal education) dalam masyarakat : (a) di satu sisi gugatan CA dapat mendorong perubahan sikap kelompok masyarakat (class members) untuk memperoleh keadilan dan lebih berani menuntut haknya melalui jalur pengadilan; (b) di sisi lain gugatan CA mendorong perubahan sikap dari mereka yang berpotensi merugikan hak dan kepentingan masyarakat luas dalam pengelolaan lingkungan hidup; dan (c) gugatan CA juga dapat menimbulkan efek jera (deterrent effect) bagi siapa pun yang pernah merugikan hak dan kepentingan kelompok orang dalam masyarakat.

Untuk menjaga makna dan tujuan dari pengajuan gugatan CA seperti diuraikan di atas, maka setiap gugatan CA harus memenuhi persyaratan seperti berikut :Adanya sejumlah/sekelompok orang (numerousity of class members) dan beberapa orang dari mereka yang diberi kuasa mewakili dirinya sendiri maupun anggota kelompoknya (class representative) untuk mengajukan gugatan perdata ke pengadilan.

Adanya kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan kepentingan dari semua anggota kelompok (commonality of class members), baik yang memberi kuasa maupun yang diberi kuasa, dalam pengajuan gugatan perdata ke pengadilan.
Adanya kesamaan jenis tuntutan (typicality) ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu dari semua anggota kelompok, yang diwakili maupun yang mewakili kelompoknya.
Adanya kelayakan karakter dari para wakil kelompok (class representative) untuk tampil secara jujur, adil, bertanggungjawab dan mampu melindungi kepentingan semua anggota kelompoknya (class members) dalam persidangan di pengadilan (adequacy of representation).

Dari uraian mengenai pengertian, makna dan tujuan pokok gugatan CA seperti di atas dapat diketahui bahwa gugatan CA pada dasarnya merupakan bagian dari mekanisme penyelesaian sengketa perdata melalui jalur pengadilan (in court settlement) oleh sekelompok orang dengan memberi kuasa kepada satu atau lebih orang (yang berasal dari anggota kelompoknya) untuk mewakili mengajukan gugatan ke pengadilan.
Jika dikaitkan dengan ketentuan mengenai hak gugat perwakilan masyarakat (Class Action) dalam Pasal 37 (1) UULH; Pasal 71 (1) UUK; dan Pasal 46 UUPK, maka terdapat perluasan pengertian, makna dan tujuan dari gugatan CA , karena :
Mengenai muatan Haknya : Hak kelompok masyarakat ternyata tidak hanya menyangkut pengajuan gugatan perdata ke pengadilan melalui perwakilannya, tetapi juga mengenai hak untuk melaporkan ke penegak hukum (pidana) mengenai pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup (dalam UULH), atau mengenai kerusakan hutan (dalam UUK) yang merugikan kepentingan masyarakat.

Mengenai Subyek Hukumnya : Subyek hukum yang mempunyai hak mengajukan gugatan CA dalam UULH dan UUK ternyata tidak hanya kelompok masyarakat melalui perwakilannya, tetapi juga dapat dilakukan melalui representative standing oleh :
(a) Instansi Pemerintah yang bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup mewakili kepentingan masyarakat (dalam UULH); atau
(b) Pemerintah dan/atau Instansi terkait mewakili sejumlah konsumen yang menjadi korban pelanggaran pelaku usaha (dalam UUPK).

Selain itu, dalam konteks instrumen hukum yang diperlukan untuk mengajukan gugatan CA ternyata masih belum cukup dengan ketentuan pasal yang diatur dalam undang-undang, karena secara eksplisit dinyatakan lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Sedangkan, sejauh ini PP yang dimaksudkan untuk mengoperasional prosedur gugatan CA belum diwujudkan oleh pemerintah. Hal ini mempunyai implikasi yang signifikan dalam hubungan dengan implementasi dan kinerja hakim ketika memeriksa gugatan CA di pengadilan.

IV. CATATAN PENUTUP
Gugatan CA merupakan hak prosedural dalam bentuk gugatan oleh kelompok masyarakat (Class Members) melalui perwakilannya (Class Representatives), atas dasar kesamaan masalah (commonality of legal problem), fakta hukum (question of law), dan kesamaan kepentingan (common of interest), untuk memperoleh ganti rugi dan/atau tindakan tertentu dari (para) tergugat melalui proses peradilan perdata.

Hak gugat perwakilan kelompok masyarakat (CA) ini memberi akses keadilan (access ti justice) kepada masyarakat dalam penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan (in court settlement). Hak gugat perwakilan kelompok masyarakat ini sesungguhnya seiring dengan prinsip yang tercermin dalam ketentuan Pasal 4 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman yang mengamanatkan : Peradilan harus dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Selain itu, juga sejalan dengan amanat Pasal 5 (2) UU Pokok Kehakiman di atas yang menyatakan :
Dalam perkara perdata Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapai peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

Namun demikian, ketentuan mengenai gugatan CA dalam praktik peradilan perdata sesungguhnya belum merupakan hak prosedural yang bersifat operasional, karena ketentuan Pasal 37 (1) UULH; Pasal 71 (1) UUK; dan Pasal 46 (1) hurup b UUPK secara eksplisit dinyatakan masih membutuhkan aturan pelaksanaan lebih lanjut dalam bentuk peraturan pemerintah (yang sampai sekarang belum diterbitkan oleh pemerintah). Sejak tahun 2002 dasar hukum yang dapat digunakan untuk mengajukan gugatan CA sejauh ini bukan diatur dalam Peraturan Pemerintah, tetapi dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Tatacara Pengajuan Hak Gugat Perwakilan Masyarakat (Class Action).

DAFTAR PUSTAKA
Alder, John & David Wilkinson (1998), Environmental Law & Ethics, Macmillan Inc. New York.
Revesz, Richard L. (1997), Foundations of Environmental Law and Policy, Oxford University Press, New York.
Santosa, Mas Achmad et.al. (1999), Pedoman Penggunaan Gugatan Perwakilan (Class Action), ICEL, PIAC, dan YLBHI, Jakarta.
Santosa, Mas Achmad (2001), Good Governance & Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta.

0 komentar: