Oleh : Ruslan H. Husen, SH
(Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan LBH Sulteng)
Manusia sebagai makhluk sosial selalu mempunyai kecenderungan untuk berkumpul dan bergaul dengan orang yang ada disekitarnya. Manusia yang satu (individu) dengan manusia yang lain jika bergaul dan berkelompok akan membentuk komunitas masyarakat, yang dalam proses interaksi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, perlu semacam norma-norma atau kaidah-kaidah yang mengatur hubungan tersebut. Kaidah-kaidah itu—lah yang menentukan hal yang boleh dilaksanakan dan hal yang tidak boleh dilakukan.
Pengaturan hubungan interaksi pada hakikatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan yang tenteram, tertib dan aman. Di dalam pergaulan, manusia mendapatkan berbagai pengalaman-pengalaman, tentang cara mendapatkan dan memenuhi kebutuhan cukup sandang, pangan, papan dan keselamatan jiwa dan harta yang dapat mereka aktualkan. Pengalaman tersebut menghasilkan nilai-nilai yang positif dan negatif, sehingga manusia mempunyai konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang baik dan harus dianut, dan hal yang buruk dan harus dihindari.
Nilai-nilai positif menghantarkan manusia manusia pada peradaban yang berprikemanusiaan, yang didalamnya dianut sejumlah norma-norma yang menghindarkan pada dehumanisasi, denaturalisasi dan desakralisasi. Sementara nilai-nilai negatif apabila diaktualkan oleh individu atau menjadi kebiasaan masyarakat akan menyebabkan hancurkan peradaban, terlahir hukum rimba yang kuat memangsa yang lemah, keadilan dan kebenaran menjadi hal yang semu dan bersifat sandiwara.
Sistem nilai-nilai yang ada dalam kultur masyarakat sangat berpengaruh terhadap pola-pola berfikir manusia, hal tersebut merupakan suatu pedoman mental baginya. Pola-pola berfikir manusia mempengaruhi sikapnya, yang merupakan kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap manusia, benda maupun keadaan-keadaan. Manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup teratur dan pantas, sehingga sikap-sikap manusia kemudian membentuk norma-norma. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa norma-norma merupakan patokan-patokan atau pedoman perihal sikap dan tingkah laku yang diharapkan.
Dengan berbagai tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup manusia di dalam komunitasnya, kadang melanggar hak-hak orang lain yang dalam defenisinya melanggar norma-norma yang ada. Pelanggaran ini akan menjadi masalah sosial yang tidak hanya dirasakan oleh beberapa orang saja tetapi akan dirasakan oleh sebagian besar komunitas masyarakat tersebut, dan stabilitas ketertiban dan keamanan juga mengalamai goncangan.
Masalah sosial menyangkut nilai-nilai sosial dan moral serta merupakan persoalan karena menyangkut tata kelakuan yang immoral, berlawanan dengan hukum dan bersifat merusak. Masalah-masalah sosial tak akan mungkin ditelaah tanpa mempertimbangkan ukuran-ukuran masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Jadi, masalah sosial merupakan suatu ketidak-sesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Atau menghambat terpenuhinya keinginan-keinginan pokok warga kelompok sosial, sehingga menyebabkan kepincangan ikatan dan hubungan sosial.
Hukum; Pembaharu Dalam Masyarakat
Hukum pada dasarnya sesuatu yang abstrak, meskipun dalam praktek berwujud konkrit. Hukum memiliki daya paksa terhadap individu dan atau kelompok untuk taat terhadap aturan dan memiliki sanksi tegas terhadap pelaku yang melanggar norma. Hukum merupakan perangkat aturan atau norma-norma yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan interaksi antara individu dengan individu lain, individu dengan masyarakat, individu dengan lingkungan, individu dengan pemerintahnya dan hubungan di antara bagian-bagian tersebut satu sama lainnya yang bertujuan melahirkan keadilan dan ketertiban. Hukum merupakan sarana kontrol sosial yang ditujukan untuk mengubah perilaku warga-warga masyarakat sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah di tetapkan dan di akui sebelumnya. Olehnya hukum disebut sebagai alat pembaharu dalam masyarakat.
Dalam hal ini, H. Lili Rasjidi menuliskan, bahwa hukum yang digunakan sebagai sarana pembaharu itu dapat berupa undang-undang atau yurisprudensi atau kombinasi keduanya. Dalam konteks Indonesia yang lebih menonjol dengan menggunakan undang-undang, yurisprudensi juga berperan namun tidak seberapa.
Agar dalam pelaksanaan undang-undang yang bertujuan untuk pembaharuan itu dapat berjalan sebagaimana mestinya, hendaknya perundang-undangan yang dibentuk itu sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Jadi mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Sebab jika tidak, akibatnya ketentuan tersebut akan tidak dapat dilaksanakan dan akan mendapatkan tantangan-tantangan.
Dalam realitasnya, hukum yang ada dapat dibagi lagi menjadi hukum positif (Ius Constitutum) dan hukum yang dicita-citakan (Ius Constituendum). Hukum positif merupakan aturan baku yang berlaku saat sekarang ini dan mengontrol seluruh aspek kehidupan dalam bidangnya, dan memiliki sanksi yang tegas terhadap siapa saja yang melanggarnya karena dikawal pelaksanaanya oleh instutusi pemerintah. Misalnya orang membunuh di Indonesia, maka melanggar Hukum Pidana (KUHP) yang proses penyidikan, persidangan sampai penjatuhan sanksi diatur dalam KUHAP. Jadi hukum tersebut berusaha mengontrol sikap dan tingkah laku masyarakat untuk tidak berbuat melanggar hukum.
Sedangkan hukum yang dicita-citakan merupakan penjelmaan kegelisahan terhadap suatu keadaan yang stagnan, diam dan tidak mengalami perubahan, di mana hukum yang di anggap merugikan dan ketinggalan zaman kemudian di godok dan diproses sesuai mekanime yang berlaku atau ada suatu peristiwa yang belum ada aturan maka dibuat aturan normatifnya. Misalnya Undang-undang di rumuskan dan diajukan oleh DPR atau Presiden kemudian diproses dalam program legislasi nasional, selanjutnya mendapat pengesahan dari kedua lembaga negara itu.
Keterpurukan Hukum di Indonesia
Setelah puluhan tahun supremasi hukum yang di dambakan oleh masyarakat tidak juga kunjung datang bahkan keterpurukan hukum di negara ini semakin menjadi-jadi. Kepercayaan masyarakat terhadap law enforcement semakin memburuk, hal ini terbukti dari hasil jejak pendapat berbagai media massa, salah satunya hasil jejak pendapat Harian Kompas (awal oktober 2001) menunjukkan bahwa 72,7 % responden menilai WNI belum mendapat perlalakuan yang adil; 71 % responden menilai tidak ada satu pun institusi hukum yang adil. Mengenai putusan pengadilan 45,3 % responden menilai putusan pengadilan didasarkan pertimbangan uang, 30,5 % menilai karena pertimbangan politik, dan hanya 9,3 % responden yang masih percaya bahwa putusan pengadilan di Indonesia didasarkan pada pertimbangan hukum.
Keterpurukan hukum di suatu negara, akan berdampak negatif yang mempengaruhi sektor kehidupan lain misalnya kehidupan ekonomi, politik dan budaya. Seakan aturan hukum menjadi sesuatu yang substansi dan urgen dalam perbaikan sektor-soktor kehidupan itu. Bagaimana-pun upaya para pakar dalam mengatasi masalah dan ketimpangan ekonomi dan politik, kalau keterpurukan hukum masih terjadi maka usaha-usaha tersebut dapat bernasib sia-sia belaka. Dalam hal ini, hendaknya hukum menjadi panglima dalam setiap dimensi kehidupan bernegara.
Permasalahan umum yang biasanya muncul, adalah pertama, hukum yang dibentuk dan diterapkan ternyata tidak efektif dalam pelaksanaanya. Kalau pun terlaksana telah mengalami “bias idealitas” dan jauh dari tujuan hukum itu sendiri, karena egoisme dan otoritas pribadi misalnya ketika polisi melakukan pemeriksaan tersangka sambil melakukan penyiksaan. Budaya yang kuat memangsa yang lemah juga merambah dan terus saja terjadi tanpa ada kuasa menghalanginya.
Institusi penegak hukum itu, yang seharusnya menegakkan hukum justru berbalik menjadi individu atau institusi yang melanggar hukum. Hantu mafia peradilan menjadi momok yang nyata, sementara keadilan dan kebenaran disembunyikan dibalik sandiwara pengadilan dan formalitas putusan. Keadilan menjadi hal yang mahal ditegakkan, telah terjadi konspirasi menjual keadilan dengan sejumlah kesenangan atau—pun ancaman.
Kedua, aturan hukum hasil dari kolaborasi dan kospirasi elit-elit kepentingan tertentu, misalnya pasal-pasal pesanan dari pihak tertentu atau pemerintah membuat aturan untuk melindungi diri dan para gengnya. Bukankah aturan hukum itu pada umumnya di produksi oleh legislatif dan eksekutif, sementara mereka itu menyuarakan dan berasal dari kepentingan politik tertentu (partai politik) yang secara otomatis akan membuat aturan untuk melindungi diri dan kepentingan kelompoknya, sehingga agak susah perumusan aturan hukum idealnya berpihak pada kepentingan umum, kecuali memang moralitas-kultural legislatif dan eksekutif tidak cacat dimata publik.
Sementara disisi lain produk hukum itu, bersifat kaku dan stagnan. Walhasil sangat banyak tindakan dan peristiwa hukum yang tidak diatur dalam produk hukum itu. Hukum dalam hal ini tidak mengikuti perkembangan atau mengontrol kemajuan zaman, malah—sebaliknya hukum berlari mengikuti lajunya arus zaman.
Ketiga, realitas sosial yang menjadi kebiasaan dan diakui keberadaannya oleh masyarakat. Pemaknaan tentang hukum sekarang dalam kondisi tertentu seakan tidak mengikat lagi, semua boleh diatur karena yang mengatur bukan lagi hukum itu sendiri tetapi kekuasaan dan harta. Ini akibat prustasinya para pencari keadilan di meja hijau yang harus kandas dan kalah akibat putusan pengadilan yang berpihak kepada pemilik modal dan kekuasaan. Termasuk juga, kebiasaan sosial-kultural masyarakat yang agak bertentangan dengan hukum positif yang berlaku, misalnya judi (sabung ayam) di daerah Bali menjadi kebiasaan orang Bali yang tentu bertentangan dengan hukum positif yang melarang di lakukannya judi.
Keterpurukan sistem hukum itu, menjadikan Indonesia sebagai negara yang korup. Sangat banyak kerugian negara akibat ulah koruptor, tetapi hasil dari penegakan hukum tidak dapat menjerat para pelaku kejahatan itu. Kembali kita mengelus dada, sebagai bentuk keprihatinan atas realitas yang terjadi. Lalu bagaimana?
Perbaikan Sistem Hukum dan Kebebasan Positivism
Tawaran perubahan dan pembaharuan dalam bidang hukum terus bergema dengan kondisi keterpurukan hukum. Baik dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi-organisasi massa rakyat, akademisi dan politisi, yang kesemuanya prihatin dengan sistem hukum yang ada. Reformasi sistem hukum menjadi wacana hangat yang patut di sambut baik demi perbaikan kondisi bangsa ini. Sebab semuanya sepakat hukum menjadi salah satu penentu perbaikan bangsa di atas moralitas dan kepribadian masyarakat.
Keterpurukan hukum di Indonesia di sebabkan sistem hukum yang bekerja di dalamnya mengalamai dis-orientasi gerakan dan tujuan. Artinya ada kecenderungan yang lebih kuat dan bersifat eksternal dari dirinya guna pemenuhan kebutuhan material. Penyebab tersebut berasal dari sistem hukum, dimana sistem hukum yang memiliki unsur-unsur membentuk sistem ini saling kait-mengkait antara satu dengan yang lainnya dan jika satu komponen unsur terganggu akan mempengaruhi komponen unsur lainnya.
Sistem hukum yang dimaksud dan perlu diperbaiki adalah, struktur, substansi dan kultur hukum serta sarana prasarana. Struktur di ibaratkan sebagai mesin yang di dalamnya ada institusi-institusi penegakan hukum, seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Dan substansi adalah apa yang di kerjakan dan dihasilkan oleh mesin itu, yang berupa putusan dan ketetapan, aturan baru yang mereka susun, substansi juga mencakup aturan yang hidup dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang. Sedangkan kultur hukum menyangkut apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan, yang mempengaruhi suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalah--gunakan. Sementara sarana dan prasarana merupakan segala sesuatu (alat) yang digunkan dalam penegakan hukum dan menciptakan aturan hukum sesuai dengan kultur masyarakat dan perkembangan zaman.
Secara umum jika ingin keluar dari keterpurukan hukum maka sistem hukum perlu diperbaiki secara keseluruhan dan di—isi oleh komponen yang betul-betul ingin memperbaiki hukum dan bukannya mencari keuntungan dan menyalamatkan kepentingan diri dan kelompoknya. Usulan penerapan asas pembuktian terbalik, dengan pembersihan secara besar-besaran terhadap institusi penegak hukum pada jajaran kepolisian dan kejaksaan dari personil-personil yang termasuk kategori “sosok-sosok sapu kotor”. Sebab tidak mungkin mereka dapat melaksanakan tugasnya dengan baik jika menegakkan hukum dengan cara melanggar hukum. Membersihkan lantai kotor dengan lantai kotor.
Serta yang tidak kalah pentingnya adalah komponen-komponen sistem hukum mampu keluar dari dan membebaskan diri dari belenggu positivism. Karena kalau hanya mengandalkan teori dan pemahaman hukum secara formal-legalistik yang hanya berbasis pada peraturan tertulis belaka, maka kita tidak akan mampu menangkap hakikat kebenaran.
Paradigma positivism, mengharuskan seseorang terdakwa/ tersangka dinyatakan bersalah apabila telah ada putusan tetap, putusan hakim yang telah menentukan itu, berdasarkan asas legalitas yang di anut di negara ini. Sekalipun dia telah merampok uang rakyat, membunuh dan membantai jutaan jiwa manusia, tetapi jika hakim karena tekanan politik dan telah di suap tidak memutuskan bersalah maka menurut paradigma positivism ia tidaklah bersalah dan bukan penjahat. Mereka menganggap hukum semata-mata undang-undang belaka, yang di lakukan institusi pengadilan hanya melaksanakan undang-undang saja tanpa harus mempertimbangkan unsur-unsur yang lain jika undang-undang tersebut tidak mengatur perbutan hukum yang di lakukan tersangka, dalam artian berusaha menemukan hakikat hukum yang sebenarnya, sebab walaupun tidak divonis bersalah karena tidak di atur dalam undang-undang belum tentu ia tidak berdosa.
Berhubungan dengan fenomena tersebut kita semua sudah paham tentang kondisi bobroknya dunia peradilan saat ini. Oleh sebab itu jika kebenaran sepenuhnya diserahkan pada pengadilan yang di sangsikan itu, jelaslah hukum tidak akan tegak dan bersentuhan dengan keadilan. Jadi ide kepastian hukum yang sering di teriakkan oleh kaum positivism tidak selalu benar kepastian hukum, sebab kemungkinan ia hanyalah kepastian undang-undang. Sementara hukum tidak identik dengan undang-undang belaka, yang secara ilmiah dapat di katakan adalah tidak benar kepastian hukum segera muncul begitu ada peraturan hukum yang dibuat.
Jadi, salah syarat untuk keluar dari keterpurukan hukum ini adalah dengan memperbaiki dan mengisi sistem hukum dengan unsur yang profesional dan bertanggung jawab menemukan hukum yang sebenarnya dengan tetap memperhatikan hukum yang berkembang di tengah masyarakat. Serta mampu lepas dari hegemoni positivism apabila suatu perbuatan yang dilakukan seseorang dengan telah merugikan negara, kepentingan publik, tidak diatur dalam undang-undang, maka institusi pengadilan harus tetap menemukan esensi hukum yang sebenarnya.
Senin, Januari 05, 2009
Masyarakat dan Sistem Hukum Indonesia
Label: Opiniku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar