Senin, Januari 26, 2009

Pelajaran Dari Vonis Salah


Oleh: Irfan R. Hutagalung.
[Penulis adalah Analis Hukum dan Perundang-undangan, Konsultan Bebas pada PSHK]

Devid Eko Prianto dan Imam Hambali a.k.a Kemat meringkuk di penjara karena vonis hakim menyatakan mereka terbukti membunuh Asrori yang mayatnya ditemukan di kebun tebu, Jombang. Maman Sugianto alias Sugik, teman mereka, tengah menjalani peradilan untuk kasus yang sama. Ternyata, mayat yang tercampak di kebun tebu itu bukan Asrori. Mayat Asrori sendiri belakangan diketahui terkubur di luar rumah orang tua Very Idham Heniansyah a.k.a Ryan di Jombang. Ryan mengakui membunuhnya. Polisi, yang mengawali penyidikan pembunuhan ini, dengan uji DNA, telah pula memastikan Asrorilah salah satu mayat yang berhasil diangkat dari belakang rumah orang tua Ryan itu.

Lalu, polisi akhirnya mampu mengidentifikasi mayat di kebun tebu. Itu adalah mayat Ahmad Fauzin Suyanto alias Antonius. Tersangka pembunuhnya (kalau polisi tidak salah lagi) pun sudah tertangkap: Rudi Hartono yang bernama lain Rangga.

Cerita Devid-Kemat-Sugik ini adalah ulangan terkini dari beberapa ihwal serupa sejak pertama kali terekspos pada kasus Sengkon-Karta lebih dari tiga puluh tahun lampau. Terungkapnya kasus salah mengadili (wrongful conviction) ini merupakan kegagalan sistemik peradilan pidana untuk mengantisipasi: kesimpulan penyidikan suatu perkara, pembuktian di pengadilan sampai kesimpulan hakim bisa keliru.

Akibatnya tragis. Pertama, ketika diketahui bahwa persidangan atau putusannya galat, para korban peradilan ini tidak segera terpulihkan statusnya sebagai orang yang tidak bersalah. Apalagi pasti dan lekas mendapat ganti rugi atas penderitaan akibat kecerobohan peradilan itu. Sampai tulisan ini dibuat dan setelah lebih dua bulan sejak dipastikannya mayat di kebun tebu bukan Asrori, Devid dan Kemat masih mendekan di penjara, sementara Sugik masih disidang di PN Jombang.

Untuk mendapat pemulihan status (exoneration), Devid dan Kemat harus mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Suatu upaya hukum yang tidak pro korban karena korbanlah yang harus aktif menyediakan dan memaparkan fakta baru (novum) kepada suatu peradilan baru untuk menunjukkan keteledoran proses peradilan sebelumnya. Sementara bagi Sugik, agaknya dia harus tabah menunggu jaksa penuntut umum dan majelis hakim mampu keluar dari jerat interpretasi mereka atas KUHAP. Uji DNA sebagai salah satu cara identifikasi untuk mendukung pembuktian, mungkin masih asing buat mereka. Karenanya, mereka masih ngotot melanjutkan peradilan.

Kedua, munculnya korban putusan keliru diketahui bukan lewat mekanisme yang tersedia dalam sistem peradilan pidana, melainkan oleh faktor kebetulan. Andaikan Ryan tak pernah tertangkap dan mengaku membunuh Asrori! Atau, mayat Asrori tak pernah ditemukan sehingga uji DNA tak mungkin bisa dilakukan atasnya. Bayangkan jika Gunel tak pernah mengaku sebagai pembunuh sesungguhnya pada kasus Sengkon-Karta! Dan, Risman Lakoro dengan istrinya Rostin Mahadji, korban serupa dari Gorontalo, pasti akan mendekam di penjara selama masa hukuman jika Alta Lakoro, anaknya, yang menurut hakim telah mereka bunuh tak pernah pulang ke rumah.

Terkait dengan tragedi pertama, sistem peradilan pidana harus mampu memformulasikan suatu strategi hukum jalan keluar guna segera memulihkan korban ke keadaan semula. Termasuk memberikan kompensasi. Upaya hukum yang ada tidak memihak korban. Di samping prosesnya memakan waktu, upaya hukum ini meletakkan beban penganuliran putusan peradilan yang salah itu kepada korban. Bukan pada pihak yang telah melakukan kesalahan itu sendiri: penyidik, penuntut umum, atau majelis hakim.

Sehubungan dengan petaka kedua, aparat penegak sistem peradilan pidana harus berani menangkap pesan bahwa adanya korban sejenis yang belum terungkap sangat mungkin. Bahkan, para korban disebut di atas mungkin saja fenomena puncak gunung es.

Sistem peradilan pidana jangan membiarkan para korban dimaksud menunggu berputus asa akan datangnya kebenaran yang entah kapan. Untuk itu, suatu aksi hukum semacam penyidikan ulang atas para tersangka atau terpidana yang ketika disidik diduga menabrak KUHAP misalnya, mendesak dikerjakan. Seperti absennya penasehat hukum tersangka; intimidasi; penyiksaan -pola umum yang diduga menimpa Devid-Kemat-Sugik, Sengkon-Karta, Risman-Rostin- saat dimintai keterangan oleh penyidik. Kepolisian berani meminta maaf atas kesalahan penyidikan yang dilakukan aparatnya. Keberanian ini harusnya diimplementasikan dalam aksi hukum nyata seperti disebut di atas.

Langkah merumuskan strategi hukum untuk lekas memulihkan status korban dan menemukan dugaan korban vonis salah, harus diletakkan dalam paradigma baru: sistem peradilan pidana termasuk KUHAP tidak selalu bisa memastikan setiap output-nya pasti benar. Rencana revisi KUHAP juga harus berawal dari pola pikir ini.

Sumber : http://www.legalitas.org

0 komentar: