Senin, Januari 05, 2009

Pendidikan Hukum Untuk Pemberantasan Korupsi Di Era Transisi Demokrasi Indonesia

Oleh : Ruslan H. Husen, SH
(Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Lembaga Bantuan Hukum Sulawesi Tengah)

1. Pendidikan Hukum
Realitas penegakan hukum saat ini tidak dapat dipisahkan dari pendidikan hukum yang di bangun terhadap generasi pekerja hukum atau mahasiswa hukum. Peran institusi pendidikan dalam menunjang peningkatan potensi intelektual, spiritual dan emosional sangat penting. Dari institusi pendidikan-lah di seleksi dan di bina calon-calon pemimpin masa depan, khususnya para pekerja hukum. Ketika orentasi pendidikan yang diterapkan keliru (bersifat pragmatis), akan sangat berpengaruh pada out put alumni institusi dari sisi kualitas dan orentasinya ketika berkarya di masyarakat, yang pada nantinya berpengaruh pada produktifitas keadilan yang dihasilkan.

Institusi pendidikan sebagai “dapur-mekanik” calon-calon pemimpin masa depan, dituntut untuk memberikan dasar-dasar pengetahuan dan ilmu praktis yang akan menjadi modal alumninya. Demikian pula fakultas hukum, mestinya mengorentasikan nilai-nilai pendidikan untuk menunjang penegakan hukum, dengan merancang suatu kebijakan strategis guna mencapai tujuan hukum yakni keadilan, ketertiban dan kesejahteraan.

Bahwa, pendidikan hukum bukan di rancang untuk menghasilkan generasi yang menjalani kehidupan dengan menjual hukum, yang bertopengkan keadilan semu dan berpraktek dimeja pengadilan. Orentasi kepentingan meteri dengan melegalkan segala cara di dalam proses pengadilan. Badan-badan hukum yang bekerja demi penghasilan dan kesejahteraan anggota, tanpa memperhatikan tujuan hukum yang substansial, dengan menggunakan logika, tafsiran dan argumentasi dari pasal-pasal normatif hukum. Walhasil, pendidikan hukum bukan di rancang untuk menghasilkan generasi pragmatis yang bersifat apatis dan berfikir sempit dalam mencapai tujuan hukum. Salah satu arah pendidikan hukum yang ideal adalah memerangi pelaku mafia peradilan.

Demikian pula pendidikan hukum bukan mengarahkan mahasiswa atau pekerja hukum hanya untuk menghafal pasal-pasal kitab hukum hasil kodifikasi. Dengan menyatakan mahasiswa berprestasi adalah yang mampu menghafal hasil mata kuliah dari Dosennya, walaupun tidak harus kritis. Padahal arah berfikir dan paradigma dari ilmu-ilmu hukum selalu berkembang, seiring dengan perkembangan zaman yang melingkupi ruang dan waktu sosial masyarakat. Olehnya arahan pendidikan mesti menunjang kreatifitas peserta didik, yang memberikan kebebasan berfikir secara bebas dan bertanggung jawab. Tanpa harus terkurung dalam jeruji logika otoritas dosen maupun otoritas lainnya.

Pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai akademik yang dikembangkan dan di terima dari institusi pendidikan akan sangat berpengaruh terhadap daya pikir seorang pekerja (penegak) hukum. Atau dengan perkataan, sikap dan sepak-terjang seorang akan dipengaruhi oleh sosio-kultural dunia pendidikan, disamping konsistensi sikap yang telah berakar dalam benahan jiwanya. Jika arah pendidikan formal terus saja bersifat pragmatis yakni tidak ada upaya kritis evaluatif terhadap nilai dan penegakan hukum, maka kedepannya penegakan hukum dengan nilai keadilan masih akan susah tercapai, bahkan bisa semakin memperburuk citra institusi penegak hukum.

Berdasarkan hal itu, arah pendidikan mesti lebih mengutamakan tinjauan, analisis, evaluasi kritis penegakan hukum ketimbang menghafal pasal-pasal secara normatif saja. Darinya mesti dilihat dengan dasar apa suatu pasal-pasal peraturan perundang-undangan dirumuskan dengan redaksi tertentu. Nilai sosial-politik apa yang melingkupinya, serta kemana orentasi pasal tersebut. Dengan adanya landasan pijak berfikir seperti itu akan lebih menjamin daya kritisme generasi pekerja hukum ketika terjun langsung di dalam masyarakat. Dengan dilandasi suatu kesadaran kritis konstruktif, bahwa hukum diperuntukkan buat manusia yang menjamin keadilan, kesejahteraan dan ketertiban. Hukum bukan diperuntukkan untuk hukum itu sendiri, yang melahirkan kekacauan dan pembunuhan keadilan.

Demikian pula hukum tidak pernah melindungi pelaku korupsi yang telah merugikan keuangan dan perekonomian negara. Walaupun adakalanya hukum digunakan oleh oknum tertentu untuk membebaskan pelaku korupsi. Tetapi hukum akan menjamin nilai-nilai kultural yang hidup dan berkembang dalam setiap diri manusia.

2. Pemberantasan Korupsi
Sub tema ini seolah menjadi utopia belaka, kenapa tidak? tema itu begitu akrab di dalam ingatan masyarakat dengan tunjangan maraknya pemberitaan media massa. Disamping itu, adanya upaya sosialisasi dan kampanye anti korupsi dari institusi pemerintah, LSM/NGO, Ormas yang konsen untuk pemberantasan korupsi juga tidak ketinggalan. Semua pihak seolah berpaju dalam ruang dan waktu dalam menghadapi tantangan penyakit sosial (korupsi) yang begitu menyakitkan ini. Namun harapan untuk segera bebas dari korupsi yang melilit bangsa ini, seolah begitu jauh untuk digapai. Bahkan jika sebelum reformasi 1998, korupsi bersifat terpusat, sekarang malah menggurita dan menyebar ke daerah-daerah. Korupsi seolah telah membudaya ditingkatan pelaksana kekuasaan negara.
Ketika ditilik lebih jauh, pemberantasan korupsi menjadi tema sentral dinamika penegakan hukum khususnya di Indonesia. Bahwa perilaku korup, bukan hanya dapat ditemui ditingkatan nasional yang diperankan oleh elit-elit nasional, tetapi kini sudah merambah ke daerah-daerah yang melibatkan elit-elit lokal. Seolah-olah tindakan korupsi, sudah menjadi budaya yang menggurita dan telah berhasil “merontokkan” kultural bangsa yang beradab ini. Semuanya seolah tidak malu-malu lagi dalam melakukan tindakan yang berimbas pada kesengsaraan masyarakat, yang terpenting dalam pikiran mereka adalah bagaimana cara dalam menggapai hidup sejahtera.

Proses penegakan hukum juga menjadi sorotan utama guna pemberantasan korupsi. Kerugian negara begitu nyata, kemiskinan dan kemelaratan semakin meraja-lela, proyek-proyek tender bermasalah, akses informasi institusi publik semakin berbelit-belit dan sejuta permasalahan lain yang menjadi indikasi meraja-lelanya pelaku korupsi. Tetapi sangat ironis, sangat sedikit koruptor yang berhasil mendekam di ruang pesakitan ataupun hotel prodeo. Mafia peradilan masih menjadi rahasia umum di meja hijau pengadilan. Siapa yang memiliki modal atau bayaran besar serta jaringan yang kuat, masih bisa berharap untuk bebas dari segala tuntutan hukum. Institusi penegak hukum masih lebiih tunduk dari kekuasaan uang (materi) ketimbang panggilan hati nurani dalam memberantas korupsi.

Kembali hukum tidak berdaya menghadapi kekuatan para koruptor. Peran institusi penegak hukum diantaranya yang menjadi penyebab tidak berdayanya hukum. Para hakim, jaksa, polisi yang diharapkan menjadi pilar penegak hukum malah menjadi institusi pelanggar hukum. “Persekongkolan jahat” terus terjadi menjadikan bangsa semakin hancur, dan pelaku korupsi semakin banyak, menjadikan rakyat semakin susah dan miskin. Keprihatinan semakin menjadi-jadi atas keterpurukan hukum, guna mendambakan keadilan Indonesia.

Dari itu bermunculan inisiatif-inisiatif dan semangat perlawanan terhadap koruptor, mafia peradilan yang semakin sistematis dan meluas, baik yang dipelopori oleh akademisi, politisi, NGO/LSM, Organisasi masyarakat dan Organisasi kemahasiswaan. Dari itu pula dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan UU No. 30 Tahun 2002, Komisi Yudisial (KY) dengan UU No. 22 Tahun 2004 serta lembaga-lembaga independen lain yang konsen terhadap penegakan hukum untuk pemberantasan korupsi.

a. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Sebelum lebih jauh membahas tentang korupsi, ada baiknya diketahui dahulu makna tindak pidana. Oleh pembentuk undang-undang menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana. Pengertian dari perkataan straafbaarfeit banyak dikemukakan para ahli. Menurut Simons straafbaarfeit adalah “tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat di hukum.”

Menurut Moeljatno straafbaarfeit adalah “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakukan orang, sedang ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan.

Straafbaarfeit dapat diartikan setiap tindakan melanggar aturan (hukum) yang didasarkan atas kehendak yakni sengaja atau lalai, yang oleh peraturan perundang-undangan tidak boleh dilanggar dan apabila dilanggar harus dipertanggung-jawabkan dan dapat dikenakan sanksi. Penjatuhan sanksi terhadap pelaku tindak pidana hanya dapat dijatuhkan jika sudah ada putusan tetap dari pengadilan.
Maka dengan itu unsur-unsur tindak pidana dapat dikategorikan menjadi dua (2) bagian yakni unsur subjektif dan unsur objektif. Pertama, unsur subjektif. Unsur ini ada secara internal kepada diri pelaku tindak pidana, yakni kesengajaan atau kelalaian, maksud dari suatu percobaan (misalnya dalam Pasal 35 (1) KUHP), berbagai maksud tindakan pelaku, merencanakan lebih dahulu. Kedua, unsur objektif. Unsur ini berhubungan dengan tindakan pelaku dialam nyata (peristiwa hukum) dalam melakukan tindak pidana, yakni sifat melawan hukum, kualitas dari pelaku, kausalitas (sebab-akibat).

Untuk menjerat pelaku dari suatu tindak pidana, maka seluruh unsur-unsur (subjektif dan objektif) dari pasal yang didakwakan kepadanya harus terpenuh secara keseluruhan. Ini adalah pandangan positivisme hukum, bahwa hukum merupakan perangkat undang-undang yang bekerja secara mekanik.

Setelah kita memiliki pandangan singkat tentang tindak pidana, sekarang penting memahami apa itu Korupsi. Dalam ensiklopedia Indonesia korupsi berasal dari bahasa latin : corruption =penyuapan; corruptore =merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidak beresan lainnya.

b. Intervensi dan Kebijakan Politik
Penegakan hukum lahir dari kerja sistem hukum sesuai dengan fungsinya. Artinya hukum tidak akan tegak tanpa adanya sokongan dari komponen sistem hukum, yakni struktur hukum, substansi hukum, kultur hukum dan sarana-prasarana. Sistem hukum itu dituntut untuk mandiri dan independen, walaupun ada intervensi dari pihak lain. Hal itu menjadi konsekwensi dari upaya penegakan hukum, yang kadang harus berhadapan dengan tantangan.

Misalnya struktur hukum yang terdiri dari Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat dituntut untuk mandiri dalam menghasilkan keputusan hukum yang adil walaupun ada intervensi dari pihak kapital (pemodal) dan dari penguasa represip. Walhasil dalam upaya mandiri dan independen itu, tentu berhadapan dengan sejumlah resiko dan tantangan. Tetapi, hal itu menjadi konsekwensi penegakan hukum.
Otoritas struktur hukum dipertaruhkan ketika berhadapan dengan pihak pemodal dan pemilik kekuasaan otoriter. Integritas, harkat dan martabat adalah jaminannya guna menghadilkan keputusan hukum yang adil. Konsepsi mandiri dan independen bagi struktur hukum ini tidaklah mudah. Tetapi, bukan berarti hal itu tidak pernah ada. Akan selalu ada golongan di era sekarang ini yang berusaha menegakkan kebenaran dan keadilan. Semoga.

Kekhawatiran yang sangat dalam penegakan hukum adalah, ketika sistem hukum tidak mandiri, lalai menjalankan fungsinya yang suci. Malah menjadi pendukung terjadinya pelanggaran hukum, atau lebih memihak kepada pihak pemodal dan penguasa yang otoriter. Sebab darinya tipis harapan terwujudnya negara hukum yang adil. Malah yang ada praktik mafia peradilan yang meraja-leja. Prosedur persidangan hanya menjadi langkah formalitas yang menipu, meja-hijau digelar untuk melegalkan kesalahan atau malah menyalahkan yang benar.

Oleh karena itu dalam berbagai konsepsi, institusi penegak hukum harus independen dengan bekerja berdasarkan harkat, martabat dan keluhuran moral. Berusaha menggali dan menemukan nilai-nilai kebenaran yang ada didalam masyarakat. Termasuk memberantas korupsi dengan sungguh-sungguh. Bahwa korupsi menjadi salah-satu biang-kerok keterpurukan di negara ini.

Tindakan korupsi tidak akan pernah memperoleh legalitas dari mana-pun, selain dari mereka yang serakah dan tamak. Korupsi adalah musuh bersama yang mesti dibasmi. Termasuk yang sangat berperan di dalamnya adalah dukungan politik. Dukungan politik ini utamanya diharapkan datang dari eksekutif, dengan mengeluarkan kebijakan untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Makanya tidak ada ampun bagi koruptor.

Eksekutif dapat menjalankan fungsinya dengan baik adalah cita-cita negara demokrasi. Menjadi pilar penggerak perubahan, guna membawa tatanan negara ke arah yang berpradaban –humanis. Pemberantasan korupsi mutlah ada dukungan dari eksekutif, dengan tidak mendukung atau melindungi kroni-kroninya yang terlibat korupsi. Artinya pemberantasan korupsi mesti tidak pandang-bulu, siapa-pun yang terindikasi korupsi mesti diproses dan ada kebijakan politik yang mendukung itu.

Terakhir, kinerja para penegak hukum mesti mandiri dan independen agar menghasilkan keputusan hukum yang objektif dan adil. Makanya dalam menjalankan fungsinya itu para penegak hukum harus bebas dari intervensi, termasuk dari eksekutif. Yang dibutuhkan disini adalah kebijakan politik dalam menjalankan fungsi secara baik guna pemberantasan korupsi.

Aplikasinya bukan hanya pelaku korupsi di daerah-daerah yang dijaring, tetapi juga oknum disekitar istana negara, mantan Presiden Soeharto juga mesti disentuh. Harapan ini menjadi realistis, guna harapan penegakan hukum yang tidak pandang bulu. Sebab sudah beberapa kali tampuk Presiden berganti orang-orang disekitar istana susah tersentuh oleh hukum, apalagi kasus korupsi Soeharto.

3. Penegakan Hukum

Untuk penegakan hukum dalam hal ini pemberantasan korupsi, setidaknya sistem hukum yang terlibat aktif didalamnya harus dipastikan berjalan dengan baik. Sistem hukum tersebut-lah yang menentukan produktifitas keputusan hukum, apakah adil atau tidak. Sebab jika salah satu komponen dalam sistem hukum tersebut terganggu atau tidak maksimal dalam menjalankan fungsinya, maka akan mempengaruhi komponen lain dalam sistem hukum, yang pada akhirnya mempengaruhi produktifitas hukum.

Tawaran perubahan dan pembaharuan dalam bidang hukum terus bergema dengan kondisi keterpurukan hukum. Baik dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi-organisasi massa rakyat, akademisi dan politisi, yang kesemuanya prihatin dengan sistem hukum yang ada. Reformasi sistem hukum menjadi wacana hangat yang patut di sambut baik demi perbaikan kondisi bangsa ini. Sebab semuanya sepakat hukum menjadi salah satu penentu perbaikan bangsa di atas moralitas dan kepribadian masyarakat.

Keterpurukan hukum di Indonesia di sebabkan sistem hukum yang bekerja di dalamnya mengalamai dis-orientasi gerakan dan tujuan. Artinya ada kecenderungan yang lebih kuat dan bersifat eksternal dari dirinya guna pemenuhan kebutuhan material. Penyebab tersebut berasal dari sistem hukum, dimana sistem hukum yang memiliki unsur-unsur membentuk sistem ini saling kait-mengkait antara satu dengan yang lainnya dan jika satu komponen unsur terganggu akan mempengaruhi komponen unsur lainnya.

Sistem hukum yang dimaksud dan perlu diperbaiki adalah, struktur, substansi dan kultur hukum serta sarana prasarana. Struktur di ibaratkan sebagai mesin yang di dalamnya ada institusi-institusi penegakan hukum, seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Dan substansi adalah apa yang di kerjakan dan dihasilkan oleh mesin itu, yang berupa putusan dan ketetapan, aturan baru yang mereka susun, substansi juga mencakup aturan yang hidup dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang. Sedangkan kultur hukum menyangkut apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan, yang mempengaruhi suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalah--gunakan. Sementara sarana dan prasarana merupakan segala sesuatu (alat) yang digunkan dalam penegakan hukum dan menciptakan aturan hukum sesuai dengan kultur masyarakat dan perkembangan zaman.

Secara umum jika ingin keluar dari keterpurukan hukum maka sistem hukum perlu diperbaiki secara keseluruhan dan di—isi oleh komponen yang betul-betul ingin memperbaiki hukum dan bukannya mencari keuntungan dan menyalamatkan kepentingan diri dan kelompoknya. Usulan penerapan asas pembuktian terbalik, dengan pembersihan secara besar-besaran terhadap institusi penegak hukum pada jajaran kepolisian dan kejaksaan dari personil-personil yang termasuk kategori “sosok-sosok sapu kotor”. Sebab tidak mungkin mereka dapat melaksanakan tugasnya dengan baik jika menegakkan hukum dengan cara melanggar hukum. Membersihkan lantai kotor dengan lantai kotor.

Serta yang tidak kalah pentingnya adalah komponen-komponen sistem hukum mampu keluar dari dan membebaskan diri dari belenggu positivism. Karena kalau hanya mengandalkan teori dan pemahaman hukum secara formal-legalistik yang hanya berbasis pada peraturan tertulis belaka, maka kita tidak akan mampu menangkap hakikat kebenaran.

Paradigma positivism, mengharuskan seseorang terdakwa/ tersangka dinyatakan bersalah apabila telah ada putusan tetap, putusan hakim yang telah menentukan itu, berdasarkan asas legalitas yang di anut di negara ini. Sekalipun dia telah merampok uang rakyat, membunuh dan membantai jutaan jiwa manusia, tetapi jika hakim karena tekanan politik dan telah di suap tidak memutuskan bersalah maka menurut paradigma positivism ia tidaklah bersalah dan bukan penjahat. Mereka menganggap hukum semata-mata undang-undang belaka, yang di lakukan institusi pengadilan hanya melaksanakan undang-undang saja tanpa harus mempertimbangkan unsur-unsur yang lain jika undang-undang tersebut tidak mengatur perbutan hukum yang di lakukan tersangka, dalam artian berusaha menemukan hakikat hukum yang sebenarnya, sebab walaupun tidak divonis bersalah karena tidak di atur dalam undang-undang belum tentu ia tidak berdosa.

Berhubungan dengan fenomena tersebut kita semua sudah paham tentang kondisi bobroknya dunia peradilan saat ini. Oleh sebab itu jika kebenaran sepenuhnya diserahkan pada pengadilan yang di sangsikan itu, jelaslah hukum tidak akan tegak dan bersentuhan dengan keadilan. Jadi ide kepastian hukum yang sering di teriakkan oleh kaum positivism tidak selalu benar kepastian hukum, sebab kemungkinan ia hanyalah kepastian undang-undang. Sementara hukum tidak identik dengan undang-undang belaka, yang secara ilmiah dapat di katakan adalah tidak benar kepastian hukum segera muncul begitu ada peraturan hukum yang dibuat.

Jadi, salah syarat untuk keluar dari keterpurukan hukum ini adalah dengan memperbaiki dan mengisi sistem hukum dengan unsur yang profesional dan bertanggung jawab menemukan hukum yang sebenarnya dengan tetap memperhatikan hukum yang berkembang di tengah masyarakat. Serta mampu lepas dari hegemoni positivism apabila suatu perbuatan yang dilakukan seseorang dengan telah merugikan negara, kepentingan publik, tidak diatur dalam undang-undang, maka institusi pengadilan harus tetap menemukan esensi hukum yang sebenarnya.

4. Hukum progresif; Sebuah Utopia Kemasa-depanan
a. Pengantar
Penegakan hukum yang diharapkan, dari hari-kehari semakin tidak jelas. Hal ini didasarkan masih terkesan tebang-pilihnya penegakan hukum dan terus mengguritanya praktek mafia peradilan. Olehnya, mesti ada terobosan baru dalam upaya penegakan hukum itu, kalau perlu melabrak positivisme hukum, yang menganggap hukum itu semata-mata hanya ada dalam undang-undang.

Gagasan radikal itu lahir sebagai respon dari keterpurukan hukum yang terus terjadi. Konsepsi hukum progresif menjadi alternatif dalam mengatasi keterpurukan itu. Berbeda dengan legalisme yang berpusat pada aturan, hukum progresif menawarkan jalan lain. Paradigma dibalik. Kejujuran & ketulusan menjadi mahkota penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan keadilan, menjadi roh penyelenggaraan hukum.
Kepentingan manusia (kesejahteraan dan kebahagiaannya) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir hukum. Para penegak hukum menjadi ujung tombak perubahan. Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan. Perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Aksi perubahan pun bisa segera dilakukan tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law), karena pelaku hukum progresif dapat melakukan pemaknaan yang progresif terhadap peraturan yang ada.

Menghadapi suatu aturan, meskipun aturan itu tidak aspiratif misalnya, aparat penegak hukum yang progresif tidak harus menepis keberadaan aturan itu. Ia setiap kali bisa melakkan interpretasi secara baru terhadap aturan tersebut untuk memberi keadilan dan kebahagiaan kepada pencari keadilan.

Konsepsi ini mesti diyakini sebagai langkah alternatif dalam mengatasi keterpurukan hukum, yang nantinya bisa saja terjadinya perilaku hadap-berhadapan vis a vis antara positivisme hukum dan hukum progresif. Bahwa substasi hukum berupa peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) masih banyak kekurangan dan kelemahannya.

Pengadilan progresif mengikuti maksim, "hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya". Bila rakyat adalah untuk hukum, apa pun yang dipikirkan dan dirasakan rakyat akan ditepis karena yang dibaca adalah kata-kata Undang-Undang. Dalam hubungan ini, pekerjaan hakim menjadi lebih kompleks. Seorang hakim bukan hanya teknisi UU, tetapi juga makhluk sosial. Karena itu, pekerjaan hakim sungguh mulia karena ia bukan hanya memeras otak, tetapi juga nuraninya.

Menjadi makhluk sosial akan menempatkan hakim di tengah hiruk-pikuk masyarakat, keluar dari gedung pengadilan. Malah ada yang mengatakan, seorang hakim sudah tidak ada bedanya dengan wakil rakyat. Bila ia berada di tengah masyarakat, berarti ia berbagi suka-duka, kecemasan, penderitaan, harapan, seperti yang ada di masyarakat. Melalui putusan-putusannya, hakim suka disebut mewakili suara mereka (rakyat) yang tak terwakili dan kurang terwakili.

Hakim yang berpikiran progresif, menjadikan dirinya bagian masyarakat, akan selalu menanyakan, "Apakah peran yang bisa saya berikan dalam masa reformasi ini?" Apa yang diinginkan bangsa dengan reformasi ini? Dengan demikian, akan menolak bila dikatakan pekerjaannya itu hanya mengeja UU. Hakim progresif akan selalu meletakkan telinga ke degup jantung rakyatnya. Merasakan letupan-letupan emosional rakyat.

b. Nilai-Nilai Hukum Progresif

Sudah tentu, untuk mewujudkan pembaruan mendasar seperti ditawarkan hukum progresif itu, butuh sokongan kerangka keyakinan baru berupa sebuah model rujukan yang dapat memandu perubahan yang hendak dilakukan. Keperluan akan model seperti itu didasarkan pada tiga pertimbangan. Pertama, karena hukum progresif berusaha menolak keberadaan status quo – manakala keadaan tersebut menimbulkan dekadensi, status korup, dan semangat merugikan kepentingan rakyat.

Keterpurukan sosial masyarakat, yang salah satu penyebab dengan merajalelanya korupsi, yang berimbas pada kemiskinan dan keterbelakangan rakyat. Keadaan itu tidak terus dipertahankan berdasarkan konsepsi nilai hukum progresif, walaupun ada pihak, golongan yang diuntungkan. Hukum progresif kemudian melakukan “pemberontakan” terhadap keterpurukan masyarakat. Tidak ada kata mendukung status quo dengan keterpurukan hukum.

Kedua, dalam hukum progresif melekat semangat “perlawanan” dan “pemberontakan” untuk mengakhiri kelumpuhan hukum melalui aksi kreatif dan inovatif para pelaku hukum. Institusi penegak hukum diharapkan menghasilkan karya baru yang kritis dalam mengatasi keterpurukan hukum. Darinya ada peran jaksa progresif, hakim progresif dan pelaksana hukum lain.

Terobosan institusi penegak hukum dalam mewujudkan keadilan dengan melahirkan keputusan yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan, walaupun harus menerobos hukum tertulis. Konsepsi hukum progresif ini akan berbenturan vis a vis dengan kekuatan penganut paham positivisme hukum, yang menganggap hukum semata-mata dalam berbentuk undang-undang.

Ketiga, kehadiran sebuah eksemplar atau contoh/model, akan dapat menyatukan kekuatan-kekuatan hukum progresif pada satu platform aksi, karena exemplar selalu menyediakan tiga “perangkat lunak” yang dibutuhkan sebuah gerakan (movement): (1) Landasan ideologis atau filosofis yang mendasari gerakan yang diperjuangkan. (2) Masalah yang dianggap relevan dan penting untuk diperjuangkan dan dikerjakan, serta (3) Metode dan prosedur yang tepat dan efektif untuk menyelesaikan masalah dimaksud. Kejelasan mengenai tiga hal itu, per teori, akan merekatkan kekuatan-kekuatan potensil hukum progresif dalam satu agenda dan garis perjuangan. Dengan begitu, harapan bersatunya kekuatan hukum progresif seperti diserukan Satjipto Rahardjo lebih mudah terwujud.

0 komentar: