JAKARATA, — Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo tidak takut jika Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang baru disahkan Desember 2008 digugat di Mahkamah Konstitusi.
Menurutnya, itu bagian dari kebebasan mengeluarkan pendapat atas keputusan pemerintah. "Memang itulah demokrasi kalau ada yang tidak setuju saya menyarankan ke Mahkamah Konstitusi," kata Bambang seusai sosialisasi UU BHP di Hotel Sahid, Jakarta, Jumat (16/1).
Ia menjelaskan, bersama-bersama DPR yang sama-sama menyusun UU juga telah menyatakan siap jika ada gugatan. "Pengaduan ke MK jauh lebih baik daripada demo dan muncul kerusakan. Tidak ada gunanya, lebih baik ke MK, saya akan menunggu sampai ada gugatan dan saya sudah siap," kata Bambang.
Sumber : www.kompas.com
Senin, Januari 26, 2009
Mendiknas: Saya Menunggu sampai Ada Gugatan BHP
Label: Berita
Diposkan Ruslan Husen 0 komentar
UU BHP Dapat Pacu Profesionalisme Guru
BANDUNG, - Undang-undang Badan Hukum Pendidikan dapat memacu kinerja dan profesionalisme guru, khususnya pegawai negeri sipil. Kewajiban tiap BHP membuat perjanjian kerja baru dengan guru mendorong guru bekerja lebih profesional untuk tetap bisa dipekerjakan.
Ketentuan ini sekaligus menjadi sistem kontrol, alat evaluasi untuk mendorong guru lebih bermutu. "Kalau mereka tidak mau terancam (tidak dipekerjakan), ya harus bisa bekerja lebih baik," ujar A. Alamsyah Saragih, pengamat pendidikan dari Bank Dunia, di dalam Seminar Nasional Peran Guru dalam Badan Hukum Pendidikan di Masjid Salman Institut Teknologi Bandung, Senin (26/1).
Ketentuan yang mewajibkan tiap BHP melakukan perjanjian kerja dengan guru ini diatur di dalam Pasal 55 UU BHP. Ketentuan ini juga berlaku bagi guru-guru PNS. Sehingga, status guru PNS itu adalah dipekerjakan di BHP. Menurut Alamsyah yang juga Direktur Eksekutif Sanggar ini, ketentuan ini sebetulnya dapat meningkatkan posisi guru-guru PNS.
Kalau dulu, hubungan antara pihak dinas dan guru (PNS) itu kan lebih seperti pimpinan dan staf. "Dengan ketentuan perjanjian kerja ini, posisi guru dan yang memberi kerja kan jadi tawar-menawar," ujarnya. Ia berpandangan, aturan kontrak kerja guru ini hendaknya tidak membatasi proses redistribusi penyebaran guru. Daerah pinggiran yang kekurangan guru harus mendapat perhatian. Solusinya lewat insentif.
Arnie Fajar, salah seorang guru PNS di Kota Bandung, berpendapat senada, UU BHP diyakini mendorong profesionalitas guru. Soalnya ini terkait dengan persaingan agar seorang guru bisa dipekerjakan kembali di dalam pembaharuan kontrak kerja dengan BHP. Untuk bisa dipakai lagi di suatu BHP, ukuran yang dilihat tentunya adalah kinerja. Kalau terkait ini, tentu saja ini hal yang bagus dari UU BHP, ucapnya.
Tenaga kerja
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Kota Bandung Asep Tapip Yani mempersoalkan kejelasan status dan posisi guru saat ini. Ia melihat, munculnya UU BHP justru makin membingungkan. Ke depan, yang berlaku itu UU Kepegawaian atau UU Ketenagakerjaan? Lantas, bagaimana jika lembaga pendidikan itu dinyatakan pailit. Ini kan bisa berdampak ke guru, ujarnya.
Implementasi UU BHP juga akan menambah jalur birokrasi proses pengangkatan dan pemberhentian guru yang sebelumnya te lah rinci diatur di dalam Pasal 25 UU Guru. Dengan demikian, saat ini setidaknya berlaku enam buah sekaligus UU yang juga sama-sama mengatur soal profesi guru. Ada UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Guru dan Dosen, UU BHP, UU Kepegawaian (PNS), UU Ketenaga kerjaan dan UU Serikat Pekerja untuk guru non-PNS.
Mestinya, ada sinkronisasi aturan satu UU dengan lainnya itu, ucapnya. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat FGII Suparman berpandangan, ketentuan Pasal 55 BHP dapat diartikan guru-guru (non-PNS) tunduk kepada ketentuan UU Ketenagakerjaan. Sehingga, semestinya ada perjanjian kontrak bersama dan ketentuan upah minimum daerah.
Sumber : www.kompas.com
Label: Berita
Diposkan Ruslan Husen 0 komentar
Pelajaran Dari Vonis Salah
Oleh: Irfan R. Hutagalung.
[Penulis adalah Analis Hukum dan Perundang-undangan, Konsultan Bebas pada PSHK]
Devid Eko Prianto dan Imam Hambali a.k.a Kemat meringkuk di penjara karena vonis hakim menyatakan mereka terbukti membunuh Asrori yang mayatnya ditemukan di kebun tebu, Jombang. Maman Sugianto alias Sugik, teman mereka, tengah menjalani peradilan untuk kasus yang sama. Ternyata, mayat yang tercampak di kebun tebu itu bukan Asrori. Mayat Asrori sendiri belakangan diketahui terkubur di luar rumah orang tua Very Idham Heniansyah a.k.a Ryan di Jombang. Ryan mengakui membunuhnya. Polisi, yang mengawali penyidikan pembunuhan ini, dengan uji DNA, telah pula memastikan Asrorilah salah satu mayat yang berhasil diangkat dari belakang rumah orang tua Ryan itu.
Lalu, polisi akhirnya mampu mengidentifikasi mayat di kebun tebu. Itu adalah mayat Ahmad Fauzin Suyanto alias Antonius. Tersangka pembunuhnya (kalau polisi tidak salah lagi) pun sudah tertangkap: Rudi Hartono yang bernama lain Rangga.
Cerita Devid-Kemat-Sugik ini adalah ulangan terkini dari beberapa ihwal serupa sejak pertama kali terekspos pada kasus Sengkon-Karta lebih dari tiga puluh tahun lampau. Terungkapnya kasus salah mengadili (wrongful conviction) ini merupakan kegagalan sistemik peradilan pidana untuk mengantisipasi: kesimpulan penyidikan suatu perkara, pembuktian di pengadilan sampai kesimpulan hakim bisa keliru.
Akibatnya tragis. Pertama, ketika diketahui bahwa persidangan atau putusannya galat, para korban peradilan ini tidak segera terpulihkan statusnya sebagai orang yang tidak bersalah. Apalagi pasti dan lekas mendapat ganti rugi atas penderitaan akibat kecerobohan peradilan itu. Sampai tulisan ini dibuat dan setelah lebih dua bulan sejak dipastikannya mayat di kebun tebu bukan Asrori, Devid dan Kemat masih mendekan di penjara, sementara Sugik masih disidang di PN Jombang.
Untuk mendapat pemulihan status (exoneration), Devid dan Kemat harus mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Suatu upaya hukum yang tidak pro korban karena korbanlah yang harus aktif menyediakan dan memaparkan fakta baru (novum) kepada suatu peradilan baru untuk menunjukkan keteledoran proses peradilan sebelumnya. Sementara bagi Sugik, agaknya dia harus tabah menunggu jaksa penuntut umum dan majelis hakim mampu keluar dari jerat interpretasi mereka atas KUHAP. Uji DNA sebagai salah satu cara identifikasi untuk mendukung pembuktian, mungkin masih asing buat mereka. Karenanya, mereka masih ngotot melanjutkan peradilan.
Kedua, munculnya korban putusan keliru diketahui bukan lewat mekanisme yang tersedia dalam sistem peradilan pidana, melainkan oleh faktor kebetulan. Andaikan Ryan tak pernah tertangkap dan mengaku membunuh Asrori! Atau, mayat Asrori tak pernah ditemukan sehingga uji DNA tak mungkin bisa dilakukan atasnya. Bayangkan jika Gunel tak pernah mengaku sebagai pembunuh sesungguhnya pada kasus Sengkon-Karta! Dan, Risman Lakoro dengan istrinya Rostin Mahadji, korban serupa dari Gorontalo, pasti akan mendekam di penjara selama masa hukuman jika Alta Lakoro, anaknya, yang menurut hakim telah mereka bunuh tak pernah pulang ke rumah.
Terkait dengan tragedi pertama, sistem peradilan pidana harus mampu memformulasikan suatu strategi hukum jalan keluar guna segera memulihkan korban ke keadaan semula. Termasuk memberikan kompensasi. Upaya hukum yang ada tidak memihak korban. Di samping prosesnya memakan waktu, upaya hukum ini meletakkan beban penganuliran putusan peradilan yang salah itu kepada korban. Bukan pada pihak yang telah melakukan kesalahan itu sendiri: penyidik, penuntut umum, atau majelis hakim.
Sehubungan dengan petaka kedua, aparat penegak sistem peradilan pidana harus berani menangkap pesan bahwa adanya korban sejenis yang belum terungkap sangat mungkin. Bahkan, para korban disebut di atas mungkin saja fenomena puncak gunung es.
Sistem peradilan pidana jangan membiarkan para korban dimaksud menunggu berputus asa akan datangnya kebenaran yang entah kapan. Untuk itu, suatu aksi hukum semacam penyidikan ulang atas para tersangka atau terpidana yang ketika disidik diduga menabrak KUHAP misalnya, mendesak dikerjakan. Seperti absennya penasehat hukum tersangka; intimidasi; penyiksaan -pola umum yang diduga menimpa Devid-Kemat-Sugik, Sengkon-Karta, Risman-Rostin- saat dimintai keterangan oleh penyidik. Kepolisian berani meminta maaf atas kesalahan penyidikan yang dilakukan aparatnya. Keberanian ini harusnya diimplementasikan dalam aksi hukum nyata seperti disebut di atas.
Langkah merumuskan strategi hukum untuk lekas memulihkan status korban dan menemukan dugaan korban vonis salah, harus diletakkan dalam paradigma baru: sistem peradilan pidana termasuk KUHAP tidak selalu bisa memastikan setiap output-nya pasti benar. Rencana revisi KUHAP juga harus berawal dari pola pikir ini.
Sumber : http://www.legalitas.org
Label: Artikel
Diposkan Ruslan Husen 0 komentar
Minggu, Januari 25, 2009
Anak SD Memperkosaan Anak SD, Perlu Advokasi
PALU, - Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Tengah menyatakan segera memberikan advokasi kasus perkosaan yang melibatkan dua anak usia sekolah dasar di Palu, baik terhadap korban maupun pelaku.
"Kami akan mengumpulkan data terlebih dahulu, baru kemudian melakukan apa yang perlu diperbuat," kata pimpinan institusi itu, Sofyan Farid Lembah di Palu, Minggu (25/1).
Seorang bocah yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) terpaksa diamankan aparat Reskrim Polres Palu di Sulawesi Tengah, karena diduga melakukan perbuatan mesum dengan seorang siswi kelas I SD. MN (13) yang masih duduk di bangku kelas IV SDN 1 Birobuli, Kecamatan Palu Selatan ini ditangkap warga setempat ketika sedang melampiaskan nafsu bejatnya terhadap korban Rn (8), siswi SD lainnya, di sebuah rumah kosong dekat sungai, di Jln Anoa I.
Saat warga memergoki pada Jumat pagi (23/1) sekitar pukul 10:00 Wita, pelaku MN dan korban sedang dalam keadaan setengah telanjang. Tapi, MN berhasil melarikan diri sebelum kemudian berhasil ditangkap di sebuah kamar kos milik temannya, dekat lokasi kejadian. Atas peristiwa itu, ibu korban dengan membawa korban Rn kemudian mendatangi Mapolres setempat guna melaporkan kasus asusila tersebut.
Menurut Lembah yang mantan staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Tadulako ini, biasanya penyebab kasus perkosaan yang melibatkan anak di bawah umur tidak berdiri sendiri, namun banyak faktor yang mempengaruhinya. "Faktor-faktor tersebut perlu diinvestigasi, agar penyelesaian kasusnya menyentuh akar masalah. Misalnya, negara perlu mengetahui mengapa si pelaku begitu nakal sampai berbuat nekad seperti itu, bagaimana hubungan orang tua dengan anak selama ini," katanya.
Pertanyaan lain adalah hubungan pelaku dengan sekolahnya, hingga kemungkinan adanya ruang di lingkungannya yang memudahkan pelaku menyaksikan gambar atau adegan yang tidak pantas dilihat anak dibawah umur. "Bisa jadi si pelaku selama ini kurang mendapatkan perhatian dari orang tua atau menjadi korban kekerasan dari orang tua sendiri, termasuk lingkungan sekitar," katanya.
Ia mengakui kalau pelaku MN memang bersalah karena perbuatannya sudah melanggar norma kesusilaan, norma hukum, dan norma agama. Akan tetapi, penyelesaian kasusnya tidak semata-mata hanya melalui proses hukum, namun juga memerlukan pendampingan seorang psikolog untuk memperbaiki kejiwaannya agar ke depan yang bersangkutan tidak lagi melakukan perbuatan merugikan orang lain.
"Jadi penampingan dari psikolog itu tidak hanya diberikan kepada korban beserta keluarganya untuk memulihkan kondisi traumatik mereka, tapi juga kepada pelaku dan orangtuanya sendiri," katanya.
Label: Berita
Diposkan Ruslan Husen 0 komentar
Kamis, Januari 22, 2009
Hutan Nagari atau Hutan Desa
Oleh: Nurul Firmansyah, SH.
(Penulis adalah Koordinator Program Pembaruan Hukum Dan Kebijakan pada Perkumpulan Qbar, Padang (www.Qbar.or.id)]
Hak ulayat bagi nagari tidak dipandang dari sisi ekonomi belaka, namun merasuk pada relung sosial dan budayanya. Keberadaan hak ulayat menjamin ikatan sosial dan budaya, seperti yang tersirat dalam adigium adat; Sako Pusako, yang bermakna; keutuhan struktur sosial masyarakat nagari berbanding lurus dengan keutuhan hak ulayat. Sikap ini kemudian melahirkan kesadaran kolektif masyarakat nagari, bahwa; hak ulayat harus dimanfaatkan, di kelola dan dipelihara untuk keberlangsungan antar generasi.
Telah jamak dipahami tentang eksistensi hak ulayat merupakan bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari nagari. Pendapat ini bukan hanya diusung oleh masyarakat nagari sebagai pemangku hak ulayat, namun juga di pahami oleh pelbagai pihak, termasuk didalamnya, para pengambil kebijakan di tingkat daerah (propinsi Sumatera Barat). Setidaknya, hal ini tersirat dalam Nota penjelasan Gubernur Sumatera Barat pada tanggal 4 February 2003 di hadapan Sidang Paripurna DPRD Sumatera barat dalam proses pembahasan Rancangan Perda Pemanfaatan Tanah Ulayat yang menyebutkan; “Pengaturan tanah ulayat mempunyai keterkaitan yang erat dengan prinsip kembali ke nagari sebagaimana di maksud oleh Peraturan daerah Sumatera Barat No.9 tahun 2000 tentang ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Perda No.9 tahun 2000 merupakan suatu titik tolak yang mendasar untuk dapat mengatur dan mengelola tanah ulayat, karena hidup bernagari mempunyai korelasi yang sangat kuat dengan tanah ulayat dan adat istiadat.”
Realitas Hutan Nagari.
Realitas hak ulayat dalam wacana publik dan konstruksi adat tidak sebanding dengan kenyataan peminggiran hak ulayat oleh kebijakan pengelolaan sumber daya alam terutama kebijakan kehutanan nasional. UU No.41 tahun 1999 tentang kehutanan memposisikan hak ulayat atas hutan (hutan nagari / hutan adat) terabaikan oleh posisi hutan negara yang kemudian diikuti oleh pengikisan sistem pengelolaan hutan nasional terhadap pola pengelolaan hutan secara adat. Proses peminggiran hutan nagari tersebut berawal dari penunjukan sepihak kawasan hutan oleh pemerintah (Departemen Kehutanan) baik itu pada kawasan konservasi, produksi, maupun lindung, yang berakibat pada putusnya hubungan hukum antara masyarakat nagari dengan hutan nagarinya.
Secara empirik, situasi ini diatas menimbulkan pelbagai dampak yang serius bagi nagari dan juga bagi ekosistem hutan. Dari catatan Perkumpulan Qbar di nagari Guguk Malalo, kabupaten tanah datar, dan Nagari Simanau, Kabupaten Solok, dampak-dampak tersebut mencuat, berupa; pertama, hilangnya kearifan lokal (sistem adat) dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat nagari yang tergantikan dengan pola pengelolaan hutan berbasis negara yang sentralistik dan berorientasi ekonomi belaka, kedua, pemiskinan masyarakat nagari akibat hilangnya sumber ekonomi atas hutan, ketiga, deforestasi akibat hilangnya kontrol masyarakat nagari, terutama para pemangku adat ditingkat nagari atas aktifitas pembalakan kayu.
Menggiring Hutan Desa dalam Hutan Nagari
Seraya bergulirnya waktu, Permenhut No. P 49 / menhut – II / 2008 Tentang Hutan Desa (kemudian disebut P49) terbit pada bulan september tahun ini. Bila di telaah dengan cermat, terlihat bahwa P49 lahir dari realitas sosiol ketidakadilan pengelolaan hutan, terutama ketidakadilan bagi masyarakat desa yang hidup di sekitar/dalam kawasan hutan yang notabene adalah masyarakat adat, atau pada lingkup yang lebih kecil yaitu nagari. Semangat diatas terproyeksi dari klausul menimbang dalam permenhut ini, namun sayangnya, P49 belum tuntas mengacu semangat tersebut dalam konstruksi norma-normanya, karena; P49 belum menyentuh persoalan struktural kehutanan disebabkan P49 hanya membuka ruang bagi desa/nama lain (termasuk Nagari) untuk mendapatkan akses pengelolaan hutan di kawasan hutan (produksi dan lindung), dalam artian membuka akses nagari untuk mengelola hutan negara berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam P 49. Artinya kebijakan ini belum tuntas merubah ketimpangan penguasaan hutan (hutan negara atas hutan adat), dan reduksi-reduksi kearifan lokal dalam watak pengelolaan hutan nasional. Kelemahan itu merupakan konsekuensi logis dari logika perundang-undangan yang hirarkis yang mengacu pada perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu; UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang belum mengakui secara utuh hutan adat.
Terlepas dari kendala-kendala yuridis diatas, tentunya akses yang dibuka oleh P 49 terhadap pengelolaan hutan oleh desa / nagari melahirkan peluang sekaligus tantangan bagi masyarakat nagari untuk mengelola hutan secara adil dan lestari. Adapun tantangan utama yang muncul dari pemberlakukan P 49 yakni; pertama, minimnya peran pemerintah terhadap lembaga desa yang mengelola hutan desa, dimana hanya pada fasilitasi teknis dan manejerial hutan desa, sedangkan dukungan pembiayaan pengelolaan hutan desa diserahkan sendiri oleh lembaga desa. Hal ini memberi peluang bagi pemilik modal untuk memanfaatkan keberadaan hutan desa bagi eksploitasi ekonomi belaka yang menggunakan lembaga desa. Kedua, pengelolaan hutan desa mempunyai jangka waktu tertentu, yaitu 35 tahun, artinya pemerintah dapat mencabut atau memperpanjang keberadaan hutan desa.
Di sisi lain, peluang pengelolaan hutan desa atau hutan nagari di sumatera barat bisa terwujud apabila terdapat kesepahaman multipihak antara nagari dengan pemerintah daerah dan masyarakat sipil. Peluang yang diberikan P 49 harus ditangkap dengan memberikan fasilitasi intens dan serius dari pemerintah daerah dan kekuatan masyarakat sipil lainnya dalam mendorong nagari dalam mengelola hutannya. Dukungan tersebut berupa dukungan terhadap pola kearifan nagari, peningkatan kapasitas, maupun pembiayaan pengelolaan hutan sehingga ekses nagatif maupun peluang kegagalan pengelolaan hutan oleh nagari bisa diminimalisir.
Sumber : http://www.legalitas.org
Diposkan Ruslan Husen 0 komentar
Komisi Kejaksaan Terima 424 Laporan
Komisi Kejaksaan (KK) selama 2008 telah menerima 424 laporan yang berisi keluhan terhadap kinerja dan perilaku jaksa. Laporan ini diterima sejak Januari hingga 22 Desember 2008.
Setelah melalui proses pengecekan dan analisis,KK telah menyerahkan 251 laporan kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti. ”Yang paling banyak (dilaporkan) adalah tentang kinerja jaksa, yakni berjumlah 169 laporan, sedangkan perilaku berjumlah 82 laporan,”kata Komisioner KK Maria Ulfa Rombot di Jakarta kemarin. Berdasarkan data KK, laporan pengaduan paling banyak ditujukan terhadap jaksa di Kejati DKI Jakarta sebanyak 88 laporan, disusul Jawa Timur 58 laporan, Jawa Tengah 31 laporan, Jawa Barat 21 laporan, dan Kalimantan Barat 17 laporan. (adam prawira)
Sumber: Koran Sindo
Diposkan Ruslan Husen 0 komentar
Penghalang Pembentukan Serikat Buruh;Pengusaha Terancam Pidana dan Denda
Oleh : Ruslan
Palu, Pengusaha yang menghalang-halangi atau tidak mengizinkan pembentukan serikat buruh dalam perusahaannya, dapat di pidana penjara paling rendah 1 tahun dan maksimal 5 tahun dan denda Rp.100 juta –Rp.500 juta. Hal itu diungkapkan oleh Atong, SH Kepala Seksi Pengupahan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertras Sulteng) pada dialong interaktif RRI Palu Rabu (21/1). “Ancaman tersebut sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 43 UU No.12 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh”. Kata Atong, SH.
Dalam dialog interaktif itu, dengan tema “Pembentukan Serikat Buruh” dan merupakan kerja sama LBH Sulteng dengan LPP RRI Palu menghadirkan narasumber selain dari Nakertras Sulteng juga narasumber dari Serikat Buruh Sulteng Fadlan, dan Badan Pekerja LBH Sulteng Ruslan, SH.
Dalam pemaparannya Fadlan, menekankan bahwa pembentukan serikat buruh adalah hak dari buruh, disamping hak lain semisal mendapatkan upah sesuai dengan UMP, mendapatkan jaminan sosial dan tidak diperlakukan diskriminatif. “Buruh harus berani menuntut apa yang menjadi hak normatifnya, jangan takut. Jika buruh bersatu, maka hak-hak buruh tersebut dapat dinikmati”. Lanjut Fadlan.
Sementara Ruslan, SH, mengkritisi soal ketegasan Nakertras selaku pengawas perusahaan dalam menindak perusahaan yang melarang pembentukan serikat pekerja, termasuk menindak perusahaan yang memberlakukan upah dibawah UMP terhadap buruhnya. “Kita berharap ada ketegasan dari Nakertras selaku dinas terkait dalam menindak pihak perusahaan yang melanggar UU ketenagakerjaan ataupun UU Serikat Buruh. Jangan lagi ada “permainan” antara pengusaha dengan Nakertrans”. Kata Ruslan.
Label: Kegiatan, Ketenagakerjaan
Diposkan Ruslan Husen 0 komentar
Institusi yang Rawan Suap
JAKARTA, — Institusi publik yang rawan terjadinya praktik suap adalah di lingkungan kepolisian. Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tergolong dalam daftar institusi publik yang termasuk rentan suap.
TII (Transparansi Internasional Indonesia) dalam surveinya menjelaskan, dari responden yang berasal dari para pelaku dunia usaha tahu bisnis yang sering berhubungan dengan institusi tersebut menyatakan sering dimintai uang suap dibanding total interaksi untuk masing-masing institusi.
"Yang paling rawan adalah kepolisian. Karena para responden mengaku lebih banyak mengeluarkan biaya jika dibanding dengan kontak yang terjadi," terang Rezki.
Berikut institusi-institusi yang rawan suap:
1. Kepolisian 48 %
2. Bea dan cukai 41 %
3. Kantor imigrasi 34 %
4. DLLAJR 33 %
5. Pemda kota 33 %
6. BPN 32 %
7. Pelindo 30 %
8. Pengadilan 30 %
9. Depkum HAM 21 %
10. Angkasa Pura 21 %
11. Pajak Daerah 17 %
12. Depkes 15 %
13. Pajak Nasional 14 %
14. BPOM 14 %
15. MUI 10 %
Sumber : http://www.kompas.com
Diposkan Ruslan Husen 0 komentar
Pemadaman Listrik di Palu Meluas
PALU, Pemadaman listrik di Kota Palu yang belangsung kurun tiga pekan terakhir ini meluas sehingga merugikan para pelanggan. Sejumlah warga di ibukota Provinsi Sulteng itu mengeluh karena pasokan listrik PLN setempat setiap hari dalam kurun waktu tiga pekan terakhir ini semakin berkurang.
"Pemadaman listrik pada awalnya dilakukan hanya pada malam hari. Tetapi sudah berlangsung sepekan terakhir ini justru siang hari," keluh pengelola usaha wartel da warnet di Jalan Dewi Sartika Palu, Susanto Selasa
Susanto mengatakan, dampak dari pemadaman bergilir yang diberlakukan PLN menyusul salah satu dari sejumlah mesin PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Disel) rusak, adalah usahanya tidak berjalan maksimal.
"Terus terang pendapatan dari usaha wartel dan warnet turun drastis selama kurun Januari 2009 ini sebab kebanyakan tutup daripada buka," katanya dengan nada kesal.
Untuk mengadakan mesin genset sendiri selain biaya cukup mahal, juga menggunakan genset mudah merusakkan perangkat lunak. Humas PLN Cabang Palu Petrus mengatakan, mesin PLTD unit VIII mengalami kerusakan pada sistem turbo sehingga selama diperbaiki, maka otomatis tidak beroperasi menyuplai listrik.
Petrus mengatakan, tim teknis PLN saat ini berusaha memperbaiki mesin PLTD yang rusak tersebut, dan diharapkan dalam waktu dekat sudah kembali normal.
Sumber : http://www.kompas.com/read/xml/2009/01/20/09474715/
Label: Berita
Diposkan Ruslan Husen 0 komentar
Minggu, Januari 18, 2009
Ramai-ramai Galang Dana untuk Palestina
Palu: Aksi solidaritas untuk korban serangan Israel ke Jalur Gaza, Palestina, berlanjut di Tanah Air. Hari ini, massa dari berbagai organisasi, mengumpulkan dana untuk para korban serangan Israel. Akibat serangan Israel, pekan silam, sekitar 400 warga Palestina, tewas dan lebih kurang 2.000 lainnya terluka. Massa meminta pemerintah Indonesia untuk mengirim tentara ke Palestina.
Penggalangan dana untuk korban kesadisan pasukan militer Israel, di antaranya dilakukan mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI MPO) Cabang Palu. Mereka menggalang dana dari para pengguna jalan yang melintas di tengah Kota Palu, Sulawesi Tengah. Seluruh uang hasil penggalangan ini diserahkan untuk korban serangan Israel, melalui Kedutaan Besar Palestina di Jakarta.
Di Tapanuli Tengah, Sumatra Utara, aksi serupa dilakukan kader Partai Keadilan (PK) Sejahtera dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Bersama organisasi kepemudaan dan mahasiswa, PK Sejahtera dan PKNU menyerukan solidaritas bagi Palestina. Di sepanjang jalan yang mereka lalui, massa mengumpulkan uang dari warga setempat.
Sementara itu, seribuan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Balikpapan, Kalimantan Timur, hari ini, turun ke jalan. Mereka berjalan kaki sejauh lima kilometer sambil membentang spanduk dan poster. Massa tak henti-henti mengecam serangan Israel ke Palestina. Mereka juga menyerukan seluruh umat Islam menggalang dana bagi para korban kebiadaban Israel di Jalur Gaza. Massa HTI juga menggelar teatrikal. Massa menyindir pemerintah Amerika Serikat, Inggris dan Mesir yang dinilai hanya menjadi penonton dalam aksi serangan Israel ke Jalur Gaza.(DSY)
Sumber : Metrotvnews.com,Metro Siang / Sosial Budaya / Minggu, 04 Januari 2009 12:18 WIB
Diposkan Ruslan Husen 1 komentar
Guru Pukuli Murid dengan Ikat Pinggang
Palu: Guru seharusnya memberi contoh baik kepada para muridnya. Namun, di Palu, Sulawesi Tengah, seorang kepala sekolah justru melakukan penganiayaan kepada para muridnya. Atas tindakannya itu kini sang Kepala Sekolah, Maksum Jupanda, harus berhadapan dengan aparat penegak hukum.
Maksum adalah Kepala Sekolah SD Al-Khairat Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat. Oleh sembilan muridnya ia dilaporkan ke polisi. Alasannya, Maksum menganiaya mereka. Penganiayaan yang mereka alami terjadi setelah para siswa terlambat masuk sekolah, sehingga tidak mengikuti upacara bendera, Senin (12/1) kemarin. Menurut para siswa, Maksum memukuli mereka dengan menggunakan ikat pinggang, sehingga menimbulkan luka di sejumlah bagian tubuh. Salah satunya Faiz.
Menurut orang tua siswa, saat ditanya tentang penganiayaan ini Kepala Sekolah justru mengancam akan mengeluarkan para siswa yang melapor ke polisi. Atas laporan para siswa ini aparat Polres Palu langsung memeriksa Kepala Sekolah. Ini dibenarkan oleh Kapolres Palu Ajun Komisaris Besar Polisi Bonar Sitinjak.
Kasus ini semakin memperpanjang daftar kekerasan terhadap siswa yang dilakukan para guru mereka. Sebelum kasus ini, kasus serupa terjadi di Gorontalo, Palangkaraya dan Jombang, Jawa Timur. Guru seharusnya menjadi figur teladan bagi para siswanya, bukan sosok menyeramkan yang justru menjadi mimpi buruk yang menakutkan para siswanya.(DOR)
Sumber : Metrotvnews.com
Label: Berita
Diposkan Ruslan Husen 0 komentar
Di Palu, Aksi Menentang Agresi Israel Ricuh
Palu: Aksi menentang agresi Israel berlangsung di bebagai penjuru di Indonesia. Di Palu, Sulawesi Tengah, aksi menentang agresi Israel ricuh. Massa yang terdiri dari mahasiswa dan pelajar menyegel sebuah restoran siap saji di kompleks pertokoan Sultan Hasanuddin, Palu. Aksi dimulai dengan saling dorong antara pengunjukrasa dan polisi. Saat itu, massa mencoba memasuki restoran. Namun mereka tertahan di depan restoran. Mereka pun membakar ban bekas dan atribut Israel dan Amerika Serikat di depan restoran.
Namun akhirnya, pengunjukrasa dapat memasuki restoran. Di dalam restoran, mereka memaksa pengelola restoran untuk tutup. Pengunjukrasa meminta restoran itu ditutup dengan alasan sebagai produk Amerika Serikat. Polisi yang dipimpin Kapolres Palu, AKB Bonar Sitinjak berusaha menghalau pengunjukrasa agar tidak melakuka aksi anarkis. Setelah melalui perdebatan, pengelola restoran bersedia menutup aktivitas penjualan selama satu hari satu malam, sejak Kamis siang hingga Jumat siang.
Aksi serupa juga terjadi di Jakarta. Hari ini, puluhan orang dari Masyarakat Indonesia untuk Kemerdekaan Palestina berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar Mesir, Menteng, Jakrta Pusat. Para pengunjuk rasa yang berasal dari sejumlah organisasi mengutuk keras pembantaian yang dilakukan Israel selama 13 hari di Gaza, Palestina.
Mereka juga mendesak negara-negara Arab membantu secara aktif dengan seluruh kekuatan yang dimiliki untuk menekan Israel. Sebab selama ini, negara-negara Arab tidak memberikan dukungan kepada Palestina. Para pengunjuk rasa juga mendesak Pemerintah Mesir membuka gerbang Rafah agar bantuan bagi warga Palestina dapat didistribusikan. Pemerintah Mesir juga diminta membebaskan warga Mesir yang ditangkap saat berunjuk rasa menentang serangan Isarel.(FHD)
Sumber : Metrotvnews.com
Diposkan Ruslan Husen 0 komentar
Unjuk rasa mahasiswa di Makassar, Sulawesi Selatan, yang menolak Undang-undang BHP
Makassar: Unjuk rasa mahasiswa di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (9/1), yang menolak Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) diwarnai ketegangan. Mereka menolak kedatangan anggota Komisi XI DPR, Anwar Arifin ke Kampus Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar. Anwar datang untuk menyosialisasikan UU BHP.
Mahasiswa yang menamakan Gerakan Mahasiswa Mahassar Tolak Undang-Undang BHP ini semula berunjuk rasa di depan Kampus Poltek Negeri Ujung Pandang. Mereka menutup sebagian jalan dan gerbang kampus. Aksi ini untuk mencegah Anwar Arifin masuk kampus. Mahasiswa sempat memaksa masuk kampus. Kecewa tak menemukan Anwar, mereka kemudian menyandera bus yang dianggap membawa anggota Dewan tersebut.
Aksi mahasiswa membuat berang Pembantu Direktur III Poltek Negeri Ujung Pandang. Ia tak terima dengan cemoohan mahasiswa. Ia membalas dengan cemoohan pula. Ia tak terima dengan cemoohan mahasiswa. Ia membalas dengan cemoohan pula. Mahasiswa mendesak Direktur Poltek Negeri Ujung Pandang menandatangani penolakan pemberlakuan UU BHP. Karena tak juga bertemu direktur, mahasiswa akhirnya menyandera mobil direktur.(BEY)
Label: Berita
Diposkan Ruslan Husen 0 komentar
Mahasiswa Al-Khairat Ancam Boikot Wisuda
Palu: Para aktivis mahasiswa Universitas Al-Khaairat, Palu, Sulawesi Tengah, menuntut dana bantuan yang dijanjikan pihak rektor. Dana yang dituntut berupa bantuan pertemuan mahasiswa perikanan se-Indonesia yang digelar pada awal bulan ini.
Menurut mahasiswa, dana bantuan yang dijanjikan rektorat sebesar Rp 75 juta hanya diberikan Rp 25 juta. Mereka menuding, pihak rektorat menyalahgunakan dana yang diperuntukan bagi mahasiswa. Saat aksi berlangsung, tidak ada satu pun pejabat rektorat yang menemui mereka.
Kesal aksinya tidak ditanggapi, mahasiswa kemudian masuk ke dalam ruangan rektorat mencari pimpinan universitas. Para mahasiswa mengancam, jika tuntutannya tidak ditanggapi mereka akan memboikot acara wisuda yang dijadwalkan berlangsung hari ini.(DOR)
Sumber : Metrotvnews.com
Label: Berita
Diposkan Ruslan Husen 0 komentar
Minggu, Januari 11, 2009
Kamis, Januari 08, 2009
Seminar Pendidikan LPM MATRA
Lembaga Pelajar dan Mahasiswa Mamuju Utara (LPM MATRA) melaksanakan Seminar Nasional. Hadir sebagai Narasumber, diantaranya Prof. Cjaco Thaha, Itho Murtadha, Muh. Jufri (Kadis Pendidikan Matra). Sementara untuk Moderator Seminar adalah Ruslan, SH. Adapun peserta seminar adalah guru-guru mulai tingkatan TK, SD, SMP dan SMA dari seluruh kecamatan dalam Kabupaten Mamuju Utara. Kegiatan ini berlangsung selama satu hari.
Diantara hal yang hangat didiskusikan adalah peran para guru dalam melakukan inovasi cara mengajar di kelas, untuk menjadikan suasana belajar menjadi menyenangkan. Disamping itu juga hal yang banyak disotot adalah ketersediaan fasilitar belajar yang masih terbatas serta kemampuan sumber daya dalam memaksimalkan penggunaan fasilitas yang ada.
Bersama Prof. Cjaco Taha dan Panitia seminar. Prof. Cjaco Taha, sosok guru besar yang bersahaja, bisa bergaul dengan anak-anak muda. Memberi nasihat bijak yang lahir dari kedalaman intelektual.
Label: Kegiatan
Diposkan Ruslan Husen 0 komentar
Rabu, Januari 07, 2009
Rekreasi Tanjung Karang
Memori Tanjung Karang Palu, 3-4 Januari 2008
Label: Kegiatan
Diposkan Ruslan Husen 0 komentar
Reformasi Lembaga Hukum Sebagai Dasar Pelaksanaan Reformasi Hukum Nasional
Oleh: Frans Hendra Winarta
Rakyat Indonesia saat ini harus meniti jalan yang panjang untuk mewujudkan keinginan dalam menegakkan supremasi hukum di Indonesia. Pemerintahan yang akan datang nampaknya, sebagaimana pemerintah sekarang, akan menghadapi setumpuk pekerjaan rumah untuk mengatasi berbagai persoalan rumit bangsa yang terkait dengan hukum seperti pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan ekonomi, masalah narkoba, gangguan keamanan seperti gerakan separatis dan tata kelola negara.
Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mewujudkan supremasi hukum tersebut adalah dengan melakukan perubahan-perubahan di setiap aspek kehidupan bernegara, terutama perubahan dan pembaruan terhadap aspek hukum atau yang dikenal dengan reformasi hukum. Program reformasi hukum tidak bisa tidak harus digulirkan secara bersama-sama oleh seluruh anggota masyarakat.
Perwujudan reformasi hukum ini dapat dilakukan melalui berbagai upaya seperti penyempurnaan dan pembaharuan peraturan perundang-undangan dan pengembangan budaya hukum, pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya. Selain itu, keberhasilan melaksanakan reformasi hukum tentunya juga harus ditunjang oleh kemauan politik, sikap jujur dan transparan dari pemerintahan yang akan datang.
Masalah utama penegakan hukum di negara-negara berkembang khususnya Indonesia adalah bukan pada hukum itu sendiri, melainkan pada kualitas manusia yang menjalankan hukum itu sendiri. Dengan demikian peranan manusia yang menjalankan hukum itu (penegak hukum) menempati posisi strategis seperti yang dikatakan oleh Roscoe Pound berikut ini:
“The law, in its procedural as well substantive aspects, is essentially made and administered by persons, whose views and interpretations are buffeted by the winds of change through the year, so that it has become a “truism that the quality of justice depends more on the quality of the (persons) who administer the law than on the content of law they administer”.
Namun sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah masih rendahnya moralitas aparat penegak hukum (hakim, polisi, jaksa dan advokat ) serta judicial corruption yang sampai dengan saat ini masih sulit diberantas.
Adanya judicial corruption jelas menyulitkan penegakan hukum di Indonesia karena para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum terlibat dalam praktek korupsi, sehingga sulit diharapkan bisa ikut menciptakan good governance.
Penegakan hukum hanya bisa dilakukan apabila lembaga-lembaga hukum (hakim, jaksa, polis dan advokat) bertindak profesional, jujur dan menerapkan prinsip-prinsip good governance.
MEREFORMASI KEKUASAAN KEHAKIMAN
Kekuasaan kehakiman yang independen, tidak memihak dan kompeten merupakan salah satu komponen utama dalam sebuah negara hukum. Sementara itu, kondisi ideal tersebut belum terwujud di Indonesia. Beberapa persoalan yang dihadapi oleh Mahkamah Agung (MA) antara lain seperti MA pada masa lalu tidak terlepas dari intervensi institusi negara lainnya, adanya sorotan negatif dari sebagian pihak mengenai integritas sebagian Hakim dan Hakim Agung, kualitas sebagian putusan MA dikritik karena kurang argumentatif, tidak konsisten dan kadang tidak dapat dieksekusi.
Reformasi di bidang kekuasaan kehakiman haruslah ditujukan pada 5 (lima) hal sebagai berikut:
1. menjadikan kekuasaan kehakiman yang independen;
2. mengembalikan fungsi yang hakiki dari kekuasaan kehakiman untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum;
3. menjalankan fungsi checks and balances bagi institusi kenegaraan lainnya;
4. mendorong dan memfasilitasi serta menegakkan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis guna mewujudkan kedaulatan rakyat;
5. melindungi martabat kemanusiaan dalam bentuk yang paling konkrit.
Salah satu hal penting untuk mendukung independensi badan peradilan adalah adanya jaminan keuangan yang memadai bagi peradilan. Namun sangat disayangkan bahwa sampai saat ini badan peradilan masih belum memiliki pendanaan yang memadai.
Hal ini menyebabkan sarana dan prasarana pengadilan menjadi kurang memadai yang pada akhirnya berimplikasi pada tidak maksimalnya kualitas pelayanan pengadilan kepada masyarakat.
Masalah lain yang harus segera dibenahi adalah mengenai sistem pembinaan sumber daya manusia bagi hakim. Permasalahan tersebut tidak terlepas dari lemahnya sistem dan pelaksanaan pembinaan hakim, mulai dari status, formasi hakim, rekrutmen, mutasi dan promosi sampai dengan mekanisme penilaian kinerja hakim. Sampai saat ini rekrutmen dan karir hakim belum didasarkan pada norma-norma profesionalisme atau integritas hakim yang bersangkutan, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya penyimpangan dalam proses peradilan yang melahirkan putusan hakim yang kurang mencerminkan kepastian hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat.
Pembentukan Komisi Yudisial Sebagai Tool of Legal Reformation
Dalam Program Pembangunan Nasional (UU No. 25 Tahun 2000) dikatakan bahwa pembentukan Komisi Yudisial menjadi salah satu program reformasi hukum yang harus dilaksanakan agar tercipta lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya yang mandiri, bebas dari pengaruh penguasa maupun pihak lain (independent and impartial judiciary).
Lahirnya ide pembentukan Komisi Yudisial diawali oleh adanya komitmen politik untuk pemberlakuan sistem satu atap, yaitu pemindahan kewenangan administrasi, personel, keuangan dan organisasi pengadilan dari Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia ke MA. Keberadaan lembaga ini nantinya diharapkan mampu memainkan peran yang penting dalam konteks mewujudkan penyelenggaraan peradilan yang bersih dan baik di negara ini, sehingga upaya untuk melakukan reformasi kekuasaan kehakiman dapat terwujud.
MEREFORMASI ADVOKAT – MENJAWAB TANTANGAN MASA DEPAN
Fungsi/peran profesi advokat tidak dapat kita kesampingkan dalam sistem peradilan dan penegakan hukum . Hal ini disebabkan karena profesi advokat sering bersinggungan dengan pencari keadilan, polisi, jaksa dan hakim.
Oleh karena itu tinjauan atas profesi advokat harus selalu memperhatikan posisinya berhadapan dengan aparat penegak hukum lainnya (polisi, jaksa, hakim). Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Code of Conduct for Lawyers in the Euoropean Union sebagai berikut:
“In society founded on respect for the rule of law lawyer fulfils a special role. His duties do not begin and end with the faithful performance of what he is instructed to do so far as the law permits. A lawyer must serve the interest of justice as well as those whose rights and liberties he is trusted to assert and defend and it is his duty do not only to plead his client’s cause but to be his adviser. A lawyer’s function therefore lays on him a variety of legal and moral obligation (sometimes appearing to be in conflict with each other) towards :
• The client;
• The courts and other authorities before whom the lawyer pleads his client cause or acts on his behalf;
• The legal profession in general and each fellow member of it in particular; and
• The public for whom the existence of a free and independent profession, bound together by respect for rules made by the profession itself, is an essential means of safeguarding human rights in face of the power of the state and other interest in society”.
Namun secara jujur harus diakui pula bahwa profesi advokat juga dapat berperan dalam judicial corruption. Sebagaimana dikatakan oleh salah seorang pembicara Dalam konferensi International Bar Association (IBA) yang mengatakan :
“……a corrupt judiciary cannot exist without the active collaboration of some lawyers and the supine indifference of other lawyers to the phenomenon of judicial corruption”.
Untuk menjawab tantangan di masa depan yang semakin berat, maka sudah merupakan suatu keharusan bagi advokat di Indonesia untuk menyiapkan diri menghadapi arus globalisasi tersebut. Kualitas sumber daya manusia, khususnya sarjana hukum harus mengikuti permintaan pasar dunia. Para advokat di Indonesia harus bisa bersaing dengan para advokat asing yang saat ini banyak hadir dengan berlindung di bawah law firm lokal. Untuk itu beberapa hal yang patut dipertimbangkan sebagai bahan perbaikan antara lain:
1. Kurikulum pendidikan Fakultas Hukum Indonesia
Pendidikan hukum tidak saja berkaitan dengan materi ilmu hukum saja, tetapi juga termasuk pembinaan mental dan cara berpikir. Pendidikan tentang nilai (values) dan etika profesi harus menjadi perhatian serius sehingga dapat menghasilkan para sarjana hukum yang tidak bermental mau menang sendiri, materialistis dan koruptif.
2. Pemberian jasa advokat
Kualitas pemberian jasa advokat di Indonesia saat ini masih terbilang kurang memuaskan masyarakat. Hal ini disebabkan karena masih lemahnya pengaturan mengenai advokat dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), dan tidak adanya organisasi advokat di Indonesia yang solid dan berwibawa.
Salah satu kelemahan para advokat Indonesia adalah tidak dimilikinya organisasi advokat yang solid yang dapat menghimpun dan mengatur perilaku dan sepak terjang seluruh advokat yang berpraktek di Indonesia.
Saat ini masyarakat juga sudah antipati terhadap kejujuran dan kedisiplinan seorang advokat dalam menerapkan keahlian dan pengetahuan hukum serta etika profesinya. Hal ini disebabkan antara lain karena tidak adanya otoritas organisasi advokat atas para anggotanya, terpecahnya organisasi advokat, tidak adanya kerjasama dengan pemerintah untuk menindak advokat yang melakukan malpraktek, tidak adanya proses seleksi dan rekrutmen advokat yang bermutu, tidak adanya pelatihan yang memenuhi standar internasional serta adanya pengaruh KKN dalam sistem peradilan kita.
Selama ini beberapa faktor yang menyebabkan kondisi rendahnya kualitas pengemban profesi hukum adalah sebagai berikut :
1. tidak berjalannya kontrol dan pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh organ masyarakat;
2. organisasi profesi tidak menyediakan sarana dan prosedur yang mudah diakses oleh masyarakat untuk menyampaikan keluhan; dan dewan-dewan kehormatan yang ada juga tidak tanggap menerima keluhan masyarakat;
3. rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai substansi kode etik profesi hukum akibat buruknya sosialisasi dari pihak profesi itu sendiri;
4. belum terbentuknya budaya dan kesadaran dari para pengemban profesi hukum itu sendiri untuk menjaga martabat luhur dan profesinya;
5. tidak adanya kesadaran etis dan moral antara para pengemban profesi bahwa menaati keputusan dewan kehormatan profesi merupakan salah satu faktor penting dalam menjaga martabat profesi.
Guna mewujudkan kemandirian sistem peradilan di negeri ini, maka komponen-komponen penegak hukum (hakim, jaksa dan advokat) harus melaksanakan pembaruan (reformasi) dalam dirinya masing-masing, sehingga peradilan yang bersih, berwibawa dan bebas dari praktek KKN dapat terwujud, sehingga supremasi hukum di negeri ini dapat – yang merupakan tujuan dari reformasi hukum – dapat terwujud.
Apapun yang direkomendasikan oleh Komisi Hukum Nasional tentang reformasi lembaga hukum sebagai dasar pelaksanaan reformasi hukum nasional tanpa kontribusi dan kesadaran lembaga hukum itu masing-masing, maka program reformasi hukum nasional hanya diatas kertas saja dan tidak bisa diwujudkan. Untuk itu diperlukan political will yang kuat dari pemerintah untuk mewujudkan program reformasi hukum nasional.
Label: Artikel
Diposkan Ruslan Husen 0 komentar
Kemerdekaan dan Hak Asasi Manusia
Oleh: Imran Nating, SH.
Keberadaan hukum sebagai satu diantara asas pembangunan nasional, harus dapat menunjukkan kewibawaannya untuk menjaga ketertiban dalam mewujudkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara lahiriah dan kepuasan batiniah guna mendorong terciptanya pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya dalam mencapai kehidupan yang adil dan sejahtera.
Setengah abad lebih Indonesia lepas dari belenggu penjajahan, kemerdekaan telah kita raih pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta, tampil memproklamirkan kemerdekaan kemerdekaan Republik Indonesia di Pegangsaan Timur dan untuk itu kepada mereka atas nama ibu pertiwi, kita memberi gelar kehormatan tertinggi dalam sejarah Republik Indonesia sebagai “Proklamator Kemerdekaan”.
Masyarakat adil dan sejahtera yang dicita-citakan oleh para pejuang kemerdekaan hanya akan tercapai ketika insan manusia dalam posisi dan kedudukan apapun, tetap menghargai kemederkaan dan hak-hak asasi manusia. Para pejuang kemerdekaan telah mempertaruhkan segenap harta, jiwa dan raganya untuk memperjuangkan kemerdekaan dan hak asasinya yang telah diberikan oleh Sang Pencipta, demi kedamaian dimuka bumi ini.
Manusia sebagai khalifah di muka bumi, berhak untuk menikmati kemerdekaan dan hak asasinya, karena itu sudah merupakan kodrat kemanusiaan.
Kemerdekaan pada hakikatnya tidak hanya terbatas pada terlepasnya satu kaum atau bangsa dari belenggu penjajahan yang mengorbankan sekian banyak nyawa dan harta benda, tapi pada kondisi kekinian kemerdekaan harus diartikan secara luas, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia seperti kemerdekaan, berpikir dan menyatakan pendapat. Kemerdekaan ini dimiliki bebas dari tekanan dan paksaan dari pihak manapun, termasuk dari pemerintah sekalipun. Namun harus dipahami bahwa kemerdekaan manusia baik selaku pribadi maupun kelompok atau bahkan negara, terkait dengan berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat yang harus dihargai.
Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum merupakan satu diantara hak dasar yang dijamin secara konstitusional penggunaannya di Indonesia, yang masih belum berjalan sepenuhnya sebagaimana diharapkan terutama selama rezim orde baru. Dalam pemerintahan reformasi sekalipun hal ini bisa saja terjadi. Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum telah di atur dalam Undang-undang Nomor 9 tahun 1998. Undang-undang ini, selain sebagai alat kontrol terhadap pemerintah juga sebagai penyalur aspirasi, meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat.
Dalam fungsi kontrol sosial dan penyaluran aspirasi, kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dalam bentuk koreksi atau kritik pada hakekatnya berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah yang kemungkinan menyimpang dan melanggar hak-hak asasi manusia.
Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana dinyatakan dalam pasal 28 yang berbunyi :
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Konstitusi Republik Indonesia mengatur hal tersebut sebagai konsekuensi kedaulatan. Kemerdekaan dan kebebasan serta perlindungan terhadap hak-hak warga negara merupakan ciri yang harus ada dinegara demokrasi. Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum merupakan salah satu aspek kebebasan manusia yang harus di jamin oleh undang-undang.
Dalam negara demokrasi yang berdasarkan hukum atau negara hukum yang demokratis, rakyat dan hukum mempunyai hubungan timbal balik dan harus saling mendukung. Hukum diciptakan oleh rakyat untuk mengatur kehidupan bernegara, hukum dilahirkan oleh rakyat juga untuk tampil sebagai jaminan bagi perlindungan kepentingan rakyat, serta untuk memediasi penggunaan hak dan kebebasan yang dimiliki setiap individu, kelompok dan negara demi untuk mewujudkan keadilan bagi semua pihak.
Negara demokrasi dengan rakyat adil dan sejahtera akan tercapai ketika hukum lahir untuk mendukung aktifitas kehidupan rakyat guna memakmurkan negaranya dan hukum lahir untuk menjamin hak setiap individu. Tidak ada pribadi atau kelompok yang merugikan orang lain, merusak norma-norma sosial yang hidup dalam masyarakat tanpa diberi sanksi hukum.
Hukum harus lahir untuk menjamin kemerdekaan dan kebebasan dengan tetap menghargai norma-norma sosial yang hidup dalam masyarakat.
Mengapa kebebasan begitu penting tentu tak lain karena kebebasan merupakan syarat kemajuan, syarat untuk tumbuh,dan syarat dinamika. Kebebasan akan mendorong setiap orang untuk berusaha memperbaiki kehidupan, baik diri sendiri maupun melalui tukar pikiran secara bebas. Tidak kalah penting, kebebasan memungkinkan terwujudnya fungsi pengawasan dan kendali dalam berbagai hubungan dan kegiatan masyarakat untuk mencegah kesewenang-wenangan dan berbagai tindak kekerasan. Tanpa pengawasan dan kendali dapat terjadi kesewenang-wenangan yang akan merusak kehidupan individu maupun masyarakat pada umumnya.
Walaupun demikian, kebebasan bukan berarti bisa berbuat sekehendak hati tanpa batas. Meskipun bebas, tetap ada batasannya. Secara filosofis sering disebutkan, batas kebebasan seseorang adalah kebebasan orang lain dan batas hak adalah hak orang lain.
Label: Artikel
Diposkan Ruslan Husen 0 komentar
Senin, Januari 05, 2009
Pendidikan Hukum Untuk Pemberantasan Korupsi Di Era Transisi Demokrasi Indonesia
Oleh : Ruslan H. Husen, SH
(Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Lembaga Bantuan Hukum Sulawesi Tengah)
1. Pendidikan Hukum
Realitas penegakan hukum saat ini tidak dapat dipisahkan dari pendidikan hukum yang di bangun terhadap generasi pekerja hukum atau mahasiswa hukum. Peran institusi pendidikan dalam menunjang peningkatan potensi intelektual, spiritual dan emosional sangat penting. Dari institusi pendidikan-lah di seleksi dan di bina calon-calon pemimpin masa depan, khususnya para pekerja hukum. Ketika orentasi pendidikan yang diterapkan keliru (bersifat pragmatis), akan sangat berpengaruh pada out put alumni institusi dari sisi kualitas dan orentasinya ketika berkarya di masyarakat, yang pada nantinya berpengaruh pada produktifitas keadilan yang dihasilkan.
Institusi pendidikan sebagai “dapur-mekanik” calon-calon pemimpin masa depan, dituntut untuk memberikan dasar-dasar pengetahuan dan ilmu praktis yang akan menjadi modal alumninya. Demikian pula fakultas hukum, mestinya mengorentasikan nilai-nilai pendidikan untuk menunjang penegakan hukum, dengan merancang suatu kebijakan strategis guna mencapai tujuan hukum yakni keadilan, ketertiban dan kesejahteraan.
Bahwa, pendidikan hukum bukan di rancang untuk menghasilkan generasi yang menjalani kehidupan dengan menjual hukum, yang bertopengkan keadilan semu dan berpraktek dimeja pengadilan. Orentasi kepentingan meteri dengan melegalkan segala cara di dalam proses pengadilan. Badan-badan hukum yang bekerja demi penghasilan dan kesejahteraan anggota, tanpa memperhatikan tujuan hukum yang substansial, dengan menggunakan logika, tafsiran dan argumentasi dari pasal-pasal normatif hukum. Walhasil, pendidikan hukum bukan di rancang untuk menghasilkan generasi pragmatis yang bersifat apatis dan berfikir sempit dalam mencapai tujuan hukum. Salah satu arah pendidikan hukum yang ideal adalah memerangi pelaku mafia peradilan.
Demikian pula pendidikan hukum bukan mengarahkan mahasiswa atau pekerja hukum hanya untuk menghafal pasal-pasal kitab hukum hasil kodifikasi. Dengan menyatakan mahasiswa berprestasi adalah yang mampu menghafal hasil mata kuliah dari Dosennya, walaupun tidak harus kritis. Padahal arah berfikir dan paradigma dari ilmu-ilmu hukum selalu berkembang, seiring dengan perkembangan zaman yang melingkupi ruang dan waktu sosial masyarakat. Olehnya arahan pendidikan mesti menunjang kreatifitas peserta didik, yang memberikan kebebasan berfikir secara bebas dan bertanggung jawab. Tanpa harus terkurung dalam jeruji logika otoritas dosen maupun otoritas lainnya.
Pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai akademik yang dikembangkan dan di terima dari institusi pendidikan akan sangat berpengaruh terhadap daya pikir seorang pekerja (penegak) hukum. Atau dengan perkataan, sikap dan sepak-terjang seorang akan dipengaruhi oleh sosio-kultural dunia pendidikan, disamping konsistensi sikap yang telah berakar dalam benahan jiwanya. Jika arah pendidikan formal terus saja bersifat pragmatis yakni tidak ada upaya kritis evaluatif terhadap nilai dan penegakan hukum, maka kedepannya penegakan hukum dengan nilai keadilan masih akan susah tercapai, bahkan bisa semakin memperburuk citra institusi penegak hukum.
Berdasarkan hal itu, arah pendidikan mesti lebih mengutamakan tinjauan, analisis, evaluasi kritis penegakan hukum ketimbang menghafal pasal-pasal secara normatif saja. Darinya mesti dilihat dengan dasar apa suatu pasal-pasal peraturan perundang-undangan dirumuskan dengan redaksi tertentu. Nilai sosial-politik apa yang melingkupinya, serta kemana orentasi pasal tersebut. Dengan adanya landasan pijak berfikir seperti itu akan lebih menjamin daya kritisme generasi pekerja hukum ketika terjun langsung di dalam masyarakat. Dengan dilandasi suatu kesadaran kritis konstruktif, bahwa hukum diperuntukkan buat manusia yang menjamin keadilan, kesejahteraan dan ketertiban. Hukum bukan diperuntukkan untuk hukum itu sendiri, yang melahirkan kekacauan dan pembunuhan keadilan.
Demikian pula hukum tidak pernah melindungi pelaku korupsi yang telah merugikan keuangan dan perekonomian negara. Walaupun adakalanya hukum digunakan oleh oknum tertentu untuk membebaskan pelaku korupsi. Tetapi hukum akan menjamin nilai-nilai kultural yang hidup dan berkembang dalam setiap diri manusia.
2. Pemberantasan Korupsi
Sub tema ini seolah menjadi utopia belaka, kenapa tidak? tema itu begitu akrab di dalam ingatan masyarakat dengan tunjangan maraknya pemberitaan media massa. Disamping itu, adanya upaya sosialisasi dan kampanye anti korupsi dari institusi pemerintah, LSM/NGO, Ormas yang konsen untuk pemberantasan korupsi juga tidak ketinggalan. Semua pihak seolah berpaju dalam ruang dan waktu dalam menghadapi tantangan penyakit sosial (korupsi) yang begitu menyakitkan ini. Namun harapan untuk segera bebas dari korupsi yang melilit bangsa ini, seolah begitu jauh untuk digapai. Bahkan jika sebelum reformasi 1998, korupsi bersifat terpusat, sekarang malah menggurita dan menyebar ke daerah-daerah. Korupsi seolah telah membudaya ditingkatan pelaksana kekuasaan negara.
Ketika ditilik lebih jauh, pemberantasan korupsi menjadi tema sentral dinamika penegakan hukum khususnya di Indonesia. Bahwa perilaku korup, bukan hanya dapat ditemui ditingkatan nasional yang diperankan oleh elit-elit nasional, tetapi kini sudah merambah ke daerah-daerah yang melibatkan elit-elit lokal. Seolah-olah tindakan korupsi, sudah menjadi budaya yang menggurita dan telah berhasil “merontokkan” kultural bangsa yang beradab ini. Semuanya seolah tidak malu-malu lagi dalam melakukan tindakan yang berimbas pada kesengsaraan masyarakat, yang terpenting dalam pikiran mereka adalah bagaimana cara dalam menggapai hidup sejahtera.
Proses penegakan hukum juga menjadi sorotan utama guna pemberantasan korupsi. Kerugian negara begitu nyata, kemiskinan dan kemelaratan semakin meraja-lela, proyek-proyek tender bermasalah, akses informasi institusi publik semakin berbelit-belit dan sejuta permasalahan lain yang menjadi indikasi meraja-lelanya pelaku korupsi. Tetapi sangat ironis, sangat sedikit koruptor yang berhasil mendekam di ruang pesakitan ataupun hotel prodeo. Mafia peradilan masih menjadi rahasia umum di meja hijau pengadilan. Siapa yang memiliki modal atau bayaran besar serta jaringan yang kuat, masih bisa berharap untuk bebas dari segala tuntutan hukum. Institusi penegak hukum masih lebiih tunduk dari kekuasaan uang (materi) ketimbang panggilan hati nurani dalam memberantas korupsi.
Kembali hukum tidak berdaya menghadapi kekuatan para koruptor. Peran institusi penegak hukum diantaranya yang menjadi penyebab tidak berdayanya hukum. Para hakim, jaksa, polisi yang diharapkan menjadi pilar penegak hukum malah menjadi institusi pelanggar hukum. “Persekongkolan jahat” terus terjadi menjadikan bangsa semakin hancur, dan pelaku korupsi semakin banyak, menjadikan rakyat semakin susah dan miskin. Keprihatinan semakin menjadi-jadi atas keterpurukan hukum, guna mendambakan keadilan Indonesia.
Dari itu bermunculan inisiatif-inisiatif dan semangat perlawanan terhadap koruptor, mafia peradilan yang semakin sistematis dan meluas, baik yang dipelopori oleh akademisi, politisi, NGO/LSM, Organisasi masyarakat dan Organisasi kemahasiswaan. Dari itu pula dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan UU No. 30 Tahun 2002, Komisi Yudisial (KY) dengan UU No. 22 Tahun 2004 serta lembaga-lembaga independen lain yang konsen terhadap penegakan hukum untuk pemberantasan korupsi.
a. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Sebelum lebih jauh membahas tentang korupsi, ada baiknya diketahui dahulu makna tindak pidana. Oleh pembentuk undang-undang menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana. Pengertian dari perkataan straafbaarfeit banyak dikemukakan para ahli. Menurut Simons straafbaarfeit adalah “tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat di hukum.”
Menurut Moeljatno straafbaarfeit adalah “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakukan orang, sedang ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan.
Straafbaarfeit dapat diartikan setiap tindakan melanggar aturan (hukum) yang didasarkan atas kehendak yakni sengaja atau lalai, yang oleh peraturan perundang-undangan tidak boleh dilanggar dan apabila dilanggar harus dipertanggung-jawabkan dan dapat dikenakan sanksi. Penjatuhan sanksi terhadap pelaku tindak pidana hanya dapat dijatuhkan jika sudah ada putusan tetap dari pengadilan.
Maka dengan itu unsur-unsur tindak pidana dapat dikategorikan menjadi dua (2) bagian yakni unsur subjektif dan unsur objektif. Pertama, unsur subjektif. Unsur ini ada secara internal kepada diri pelaku tindak pidana, yakni kesengajaan atau kelalaian, maksud dari suatu percobaan (misalnya dalam Pasal 35 (1) KUHP), berbagai maksud tindakan pelaku, merencanakan lebih dahulu. Kedua, unsur objektif. Unsur ini berhubungan dengan tindakan pelaku dialam nyata (peristiwa hukum) dalam melakukan tindak pidana, yakni sifat melawan hukum, kualitas dari pelaku, kausalitas (sebab-akibat).
Untuk menjerat pelaku dari suatu tindak pidana, maka seluruh unsur-unsur (subjektif dan objektif) dari pasal yang didakwakan kepadanya harus terpenuh secara keseluruhan. Ini adalah pandangan positivisme hukum, bahwa hukum merupakan perangkat undang-undang yang bekerja secara mekanik.
Setelah kita memiliki pandangan singkat tentang tindak pidana, sekarang penting memahami apa itu Korupsi. Dalam ensiklopedia Indonesia korupsi berasal dari bahasa latin : corruption =penyuapan; corruptore =merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidak beresan lainnya.
b. Intervensi dan Kebijakan Politik
Penegakan hukum lahir dari kerja sistem hukum sesuai dengan fungsinya. Artinya hukum tidak akan tegak tanpa adanya sokongan dari komponen sistem hukum, yakni struktur hukum, substansi hukum, kultur hukum dan sarana-prasarana. Sistem hukum itu dituntut untuk mandiri dan independen, walaupun ada intervensi dari pihak lain. Hal itu menjadi konsekwensi dari upaya penegakan hukum, yang kadang harus berhadapan dengan tantangan.
Misalnya struktur hukum yang terdiri dari Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat dituntut untuk mandiri dalam menghasilkan keputusan hukum yang adil walaupun ada intervensi dari pihak kapital (pemodal) dan dari penguasa represip. Walhasil dalam upaya mandiri dan independen itu, tentu berhadapan dengan sejumlah resiko dan tantangan. Tetapi, hal itu menjadi konsekwensi penegakan hukum.
Otoritas struktur hukum dipertaruhkan ketika berhadapan dengan pihak pemodal dan pemilik kekuasaan otoriter. Integritas, harkat dan martabat adalah jaminannya guna menghadilkan keputusan hukum yang adil. Konsepsi mandiri dan independen bagi struktur hukum ini tidaklah mudah. Tetapi, bukan berarti hal itu tidak pernah ada. Akan selalu ada golongan di era sekarang ini yang berusaha menegakkan kebenaran dan keadilan. Semoga.
Kekhawatiran yang sangat dalam penegakan hukum adalah, ketika sistem hukum tidak mandiri, lalai menjalankan fungsinya yang suci. Malah menjadi pendukung terjadinya pelanggaran hukum, atau lebih memihak kepada pihak pemodal dan penguasa yang otoriter. Sebab darinya tipis harapan terwujudnya negara hukum yang adil. Malah yang ada praktik mafia peradilan yang meraja-leja. Prosedur persidangan hanya menjadi langkah formalitas yang menipu, meja-hijau digelar untuk melegalkan kesalahan atau malah menyalahkan yang benar.
Oleh karena itu dalam berbagai konsepsi, institusi penegak hukum harus independen dengan bekerja berdasarkan harkat, martabat dan keluhuran moral. Berusaha menggali dan menemukan nilai-nilai kebenaran yang ada didalam masyarakat. Termasuk memberantas korupsi dengan sungguh-sungguh. Bahwa korupsi menjadi salah-satu biang-kerok keterpurukan di negara ini.
Tindakan korupsi tidak akan pernah memperoleh legalitas dari mana-pun, selain dari mereka yang serakah dan tamak. Korupsi adalah musuh bersama yang mesti dibasmi. Termasuk yang sangat berperan di dalamnya adalah dukungan politik. Dukungan politik ini utamanya diharapkan datang dari eksekutif, dengan mengeluarkan kebijakan untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Makanya tidak ada ampun bagi koruptor.
Eksekutif dapat menjalankan fungsinya dengan baik adalah cita-cita negara demokrasi. Menjadi pilar penggerak perubahan, guna membawa tatanan negara ke arah yang berpradaban –humanis. Pemberantasan korupsi mutlah ada dukungan dari eksekutif, dengan tidak mendukung atau melindungi kroni-kroninya yang terlibat korupsi. Artinya pemberantasan korupsi mesti tidak pandang-bulu, siapa-pun yang terindikasi korupsi mesti diproses dan ada kebijakan politik yang mendukung itu.
Terakhir, kinerja para penegak hukum mesti mandiri dan independen agar menghasilkan keputusan hukum yang objektif dan adil. Makanya dalam menjalankan fungsinya itu para penegak hukum harus bebas dari intervensi, termasuk dari eksekutif. Yang dibutuhkan disini adalah kebijakan politik dalam menjalankan fungsi secara baik guna pemberantasan korupsi.
Aplikasinya bukan hanya pelaku korupsi di daerah-daerah yang dijaring, tetapi juga oknum disekitar istana negara, mantan Presiden Soeharto juga mesti disentuh. Harapan ini menjadi realistis, guna harapan penegakan hukum yang tidak pandang bulu. Sebab sudah beberapa kali tampuk Presiden berganti orang-orang disekitar istana susah tersentuh oleh hukum, apalagi kasus korupsi Soeharto.
3. Penegakan Hukum
Untuk penegakan hukum dalam hal ini pemberantasan korupsi, setidaknya sistem hukum yang terlibat aktif didalamnya harus dipastikan berjalan dengan baik. Sistem hukum tersebut-lah yang menentukan produktifitas keputusan hukum, apakah adil atau tidak. Sebab jika salah satu komponen dalam sistem hukum tersebut terganggu atau tidak maksimal dalam menjalankan fungsinya, maka akan mempengaruhi komponen lain dalam sistem hukum, yang pada akhirnya mempengaruhi produktifitas hukum.
Tawaran perubahan dan pembaharuan dalam bidang hukum terus bergema dengan kondisi keterpurukan hukum. Baik dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi-organisasi massa rakyat, akademisi dan politisi, yang kesemuanya prihatin dengan sistem hukum yang ada. Reformasi sistem hukum menjadi wacana hangat yang patut di sambut baik demi perbaikan kondisi bangsa ini. Sebab semuanya sepakat hukum menjadi salah satu penentu perbaikan bangsa di atas moralitas dan kepribadian masyarakat.
Keterpurukan hukum di Indonesia di sebabkan sistem hukum yang bekerja di dalamnya mengalamai dis-orientasi gerakan dan tujuan. Artinya ada kecenderungan yang lebih kuat dan bersifat eksternal dari dirinya guna pemenuhan kebutuhan material. Penyebab tersebut berasal dari sistem hukum, dimana sistem hukum yang memiliki unsur-unsur membentuk sistem ini saling kait-mengkait antara satu dengan yang lainnya dan jika satu komponen unsur terganggu akan mempengaruhi komponen unsur lainnya.
Sistem hukum yang dimaksud dan perlu diperbaiki adalah, struktur, substansi dan kultur hukum serta sarana prasarana. Struktur di ibaratkan sebagai mesin yang di dalamnya ada institusi-institusi penegakan hukum, seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Dan substansi adalah apa yang di kerjakan dan dihasilkan oleh mesin itu, yang berupa putusan dan ketetapan, aturan baru yang mereka susun, substansi juga mencakup aturan yang hidup dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang. Sedangkan kultur hukum menyangkut apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan, yang mempengaruhi suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalah--gunakan. Sementara sarana dan prasarana merupakan segala sesuatu (alat) yang digunkan dalam penegakan hukum dan menciptakan aturan hukum sesuai dengan kultur masyarakat dan perkembangan zaman.
Secara umum jika ingin keluar dari keterpurukan hukum maka sistem hukum perlu diperbaiki secara keseluruhan dan di—isi oleh komponen yang betul-betul ingin memperbaiki hukum dan bukannya mencari keuntungan dan menyalamatkan kepentingan diri dan kelompoknya. Usulan penerapan asas pembuktian terbalik, dengan pembersihan secara besar-besaran terhadap institusi penegak hukum pada jajaran kepolisian dan kejaksaan dari personil-personil yang termasuk kategori “sosok-sosok sapu kotor”. Sebab tidak mungkin mereka dapat melaksanakan tugasnya dengan baik jika menegakkan hukum dengan cara melanggar hukum. Membersihkan lantai kotor dengan lantai kotor.
Serta yang tidak kalah pentingnya adalah komponen-komponen sistem hukum mampu keluar dari dan membebaskan diri dari belenggu positivism. Karena kalau hanya mengandalkan teori dan pemahaman hukum secara formal-legalistik yang hanya berbasis pada peraturan tertulis belaka, maka kita tidak akan mampu menangkap hakikat kebenaran.
Paradigma positivism, mengharuskan seseorang terdakwa/ tersangka dinyatakan bersalah apabila telah ada putusan tetap, putusan hakim yang telah menentukan itu, berdasarkan asas legalitas yang di anut di negara ini. Sekalipun dia telah merampok uang rakyat, membunuh dan membantai jutaan jiwa manusia, tetapi jika hakim karena tekanan politik dan telah di suap tidak memutuskan bersalah maka menurut paradigma positivism ia tidaklah bersalah dan bukan penjahat. Mereka menganggap hukum semata-mata undang-undang belaka, yang di lakukan institusi pengadilan hanya melaksanakan undang-undang saja tanpa harus mempertimbangkan unsur-unsur yang lain jika undang-undang tersebut tidak mengatur perbutan hukum yang di lakukan tersangka, dalam artian berusaha menemukan hakikat hukum yang sebenarnya, sebab walaupun tidak divonis bersalah karena tidak di atur dalam undang-undang belum tentu ia tidak berdosa.
Berhubungan dengan fenomena tersebut kita semua sudah paham tentang kondisi bobroknya dunia peradilan saat ini. Oleh sebab itu jika kebenaran sepenuhnya diserahkan pada pengadilan yang di sangsikan itu, jelaslah hukum tidak akan tegak dan bersentuhan dengan keadilan. Jadi ide kepastian hukum yang sering di teriakkan oleh kaum positivism tidak selalu benar kepastian hukum, sebab kemungkinan ia hanyalah kepastian undang-undang. Sementara hukum tidak identik dengan undang-undang belaka, yang secara ilmiah dapat di katakan adalah tidak benar kepastian hukum segera muncul begitu ada peraturan hukum yang dibuat.
Jadi, salah syarat untuk keluar dari keterpurukan hukum ini adalah dengan memperbaiki dan mengisi sistem hukum dengan unsur yang profesional dan bertanggung jawab menemukan hukum yang sebenarnya dengan tetap memperhatikan hukum yang berkembang di tengah masyarakat. Serta mampu lepas dari hegemoni positivism apabila suatu perbuatan yang dilakukan seseorang dengan telah merugikan negara, kepentingan publik, tidak diatur dalam undang-undang, maka institusi pengadilan harus tetap menemukan esensi hukum yang sebenarnya.
4. Hukum progresif; Sebuah Utopia Kemasa-depanan
a. Pengantar
Penegakan hukum yang diharapkan, dari hari-kehari semakin tidak jelas. Hal ini didasarkan masih terkesan tebang-pilihnya penegakan hukum dan terus mengguritanya praktek mafia peradilan. Olehnya, mesti ada terobosan baru dalam upaya penegakan hukum itu, kalau perlu melabrak positivisme hukum, yang menganggap hukum itu semata-mata hanya ada dalam undang-undang.
Gagasan radikal itu lahir sebagai respon dari keterpurukan hukum yang terus terjadi. Konsepsi hukum progresif menjadi alternatif dalam mengatasi keterpurukan itu. Berbeda dengan legalisme yang berpusat pada aturan, hukum progresif menawarkan jalan lain. Paradigma dibalik. Kejujuran & ketulusan menjadi mahkota penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan keadilan, menjadi roh penyelenggaraan hukum.
Kepentingan manusia (kesejahteraan dan kebahagiaannya) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir hukum. Para penegak hukum menjadi ujung tombak perubahan. Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan. Perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Aksi perubahan pun bisa segera dilakukan tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law), karena pelaku hukum progresif dapat melakukan pemaknaan yang progresif terhadap peraturan yang ada.
Menghadapi suatu aturan, meskipun aturan itu tidak aspiratif misalnya, aparat penegak hukum yang progresif tidak harus menepis keberadaan aturan itu. Ia setiap kali bisa melakkan interpretasi secara baru terhadap aturan tersebut untuk memberi keadilan dan kebahagiaan kepada pencari keadilan.
Konsepsi ini mesti diyakini sebagai langkah alternatif dalam mengatasi keterpurukan hukum, yang nantinya bisa saja terjadinya perilaku hadap-berhadapan vis a vis antara positivisme hukum dan hukum progresif. Bahwa substasi hukum berupa peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) masih banyak kekurangan dan kelemahannya.
Pengadilan progresif mengikuti maksim, "hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya". Bila rakyat adalah untuk hukum, apa pun yang dipikirkan dan dirasakan rakyat akan ditepis karena yang dibaca adalah kata-kata Undang-Undang. Dalam hubungan ini, pekerjaan hakim menjadi lebih kompleks. Seorang hakim bukan hanya teknisi UU, tetapi juga makhluk sosial. Karena itu, pekerjaan hakim sungguh mulia karena ia bukan hanya memeras otak, tetapi juga nuraninya.
Menjadi makhluk sosial akan menempatkan hakim di tengah hiruk-pikuk masyarakat, keluar dari gedung pengadilan. Malah ada yang mengatakan, seorang hakim sudah tidak ada bedanya dengan wakil rakyat. Bila ia berada di tengah masyarakat, berarti ia berbagi suka-duka, kecemasan, penderitaan, harapan, seperti yang ada di masyarakat. Melalui putusan-putusannya, hakim suka disebut mewakili suara mereka (rakyat) yang tak terwakili dan kurang terwakili.
Hakim yang berpikiran progresif, menjadikan dirinya bagian masyarakat, akan selalu menanyakan, "Apakah peran yang bisa saya berikan dalam masa reformasi ini?" Apa yang diinginkan bangsa dengan reformasi ini? Dengan demikian, akan menolak bila dikatakan pekerjaannya itu hanya mengeja UU. Hakim progresif akan selalu meletakkan telinga ke degup jantung rakyatnya. Merasakan letupan-letupan emosional rakyat.
b. Nilai-Nilai Hukum Progresif
Sudah tentu, untuk mewujudkan pembaruan mendasar seperti ditawarkan hukum progresif itu, butuh sokongan kerangka keyakinan baru berupa sebuah model rujukan yang dapat memandu perubahan yang hendak dilakukan. Keperluan akan model seperti itu didasarkan pada tiga pertimbangan. Pertama, karena hukum progresif berusaha menolak keberadaan status quo – manakala keadaan tersebut menimbulkan dekadensi, status korup, dan semangat merugikan kepentingan rakyat.
Keterpurukan sosial masyarakat, yang salah satu penyebab dengan merajalelanya korupsi, yang berimbas pada kemiskinan dan keterbelakangan rakyat. Keadaan itu tidak terus dipertahankan berdasarkan konsepsi nilai hukum progresif, walaupun ada pihak, golongan yang diuntungkan. Hukum progresif kemudian melakukan “pemberontakan” terhadap keterpurukan masyarakat. Tidak ada kata mendukung status quo dengan keterpurukan hukum.
Kedua, dalam hukum progresif melekat semangat “perlawanan” dan “pemberontakan” untuk mengakhiri kelumpuhan hukum melalui aksi kreatif dan inovatif para pelaku hukum. Institusi penegak hukum diharapkan menghasilkan karya baru yang kritis dalam mengatasi keterpurukan hukum. Darinya ada peran jaksa progresif, hakim progresif dan pelaksana hukum lain.
Terobosan institusi penegak hukum dalam mewujudkan keadilan dengan melahirkan keputusan yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan, walaupun harus menerobos hukum tertulis. Konsepsi hukum progresif ini akan berbenturan vis a vis dengan kekuatan penganut paham positivisme hukum, yang menganggap hukum semata-mata dalam berbentuk undang-undang.
Ketiga, kehadiran sebuah eksemplar atau contoh/model, akan dapat menyatukan kekuatan-kekuatan hukum progresif pada satu platform aksi, karena exemplar selalu menyediakan tiga “perangkat lunak” yang dibutuhkan sebuah gerakan (movement): (1) Landasan ideologis atau filosofis yang mendasari gerakan yang diperjuangkan. (2) Masalah yang dianggap relevan dan penting untuk diperjuangkan dan dikerjakan, serta (3) Metode dan prosedur yang tepat dan efektif untuk menyelesaikan masalah dimaksud. Kejelasan mengenai tiga hal itu, per teori, akan merekatkan kekuatan-kekuatan potensil hukum progresif dalam satu agenda dan garis perjuangan. Dengan begitu, harapan bersatunya kekuatan hukum progresif seperti diserukan Satjipto Rahardjo lebih mudah terwujud.
Label: Opiniku
Diposkan Ruslan Husen 0 komentar